Karena gue udah terlalu khawatir sebelum gue melakukannya, maka ketika pada akhirnya gue memberitahu orang tua gue, respon mereka bisa sangat gue antisipasi. Bapak yang tetap optimis bahwa dia masih bisa punya cucu kalau gue menikah dalam waktu dekat, ASAP. Dan Ibu yang berkesah sedih lalu mengingatkan gue bahwa nenek gue, yaitu ibunya Ibu, juga punya kondisi yang sama terkait rahim.
"Ini pasti turunan Mbah Uti kamu, Nduk. Kamu kan, tau, Ibu nggak punya saudara lagi ya, karena almarhum Mbah Uti kamu juga begini." Ucapnya dengan nada sedih. Gue meremas tangan Ibu, nggak seharusnya apa yang gue punya ini menjadi salah siapa-siapa. Sekalipun faktanya memang ada kemungkinan hal seperti ini terjadi karena faktor genetik, apa boleh gue menyalahkan orang tua-orang tua di keluarga gue begitu saja?
"Bu, Raya nggak apa-apa. Kan, Mbah Uti juga tetep sehat dan seneng meski anaknya cuma Ibu, toh?" Ibu tersenyum mendengar tanggapan gue. "Raya ngasih tau ini bukan berarti Raya mau nyalahin siapa-siapa. Yang namanya manusia kan emang bisa sakit sama sembuh."
Sesungguhnya gue udah mau nangis tiap gue membicarakan hal-hal seperti ini sama Ibu. Ya, selayaknya anak-anak nusantara aja deh, gimana. Pasti asing kan, mengekspresikan perasaan apalagi yang deep begini ke orangtua sendiri?
Gue nggak bisa berkata-kata lebih banyak lagi waktu melihat mata Ibu berkaca-kaca dan beliau mengalihkan perhatian dengan mengupaskan apel untuk gue dan Bapak.
Maafin Raya, ya, Pak, Bu.
~
Gue pikir-pikir lagi, memberitahu Bapak dan Ibu tadi, enggak lebih susah daripada memberitahu Mika beberapa minggu lalu. Malam waktu kita masih di Padang itu. Gue adalah tipe orang yang akan lebih dulu membuat 1001 prediksi apa tanggapan orang atas apa yang gue lakukan.
Dan Bapak dan Ibu benar-benar sesuai dugaan gue. Tipikal orang tua aja kalau buah hatinya lagi berbela sungkawa.
Tapi tanggapan Mika malam itu....
Gue refleks memegang bibir. Gue udah dua juta persen yakin Mika mencium gue hanya karena momennya pas aja. Mika mengasihani gue yang baru saja mendapat fakta tentang kondisi gue yang nggak sehat, dan kami nggak tahu lagi bakal ketemu kapan. So he did. The kiss.
Ada nggak sih, kecup-kecup persahabatan gitu?
Ada kali, ya? Mikasa Iskandar pelopornya.
Kami masih saling menghubungi setelah malam itu. Meski nggak ada pembicaraan yang gimana banget masalah perasaan gue atau perasaan Mika. We just casually catch up with each other, I guess. Dengan gue yang ceriwis bertanya ini itu, dan Mika yang cuma membalas singkat atau paling panjang kalau dia mendeskripsikan kuliner khas daerah yang sedang mereka kunjungi. Rangkaian tour konser Rebound masih akan berakhir dua minggu lagi, jadi gue pun nggak berani bertanya, kapan gue bisa bertemu Mika lagi.
Kangen nggak sih, gue sama Mika? Gue bahkan takut mengakuinya jadi gue repress aja semua ini dengan anggapan, he's just trying to be nice. Karena memang hanya Mika yang tahu kondisi gue sejauh ini. Biar bagaimanapun kami pernah dekat, dan gue rasa Mika masih menghargai sisa kedekatan itu, atas nama Raihan atau siapapun.
It's Mika's birthday two days ago. Dan sampai dua hari lalu gue nggak tahu kado apa yang pantas gue berikan pada Mikasa. At least untuk menyaingi kado ulang tahun yang dia berikan pada gue. Tapi gue nggak menemukan jawabannya. Lagian Mika susah banget dihubungin kalau bukan dia duluan yang menghubungi gue, jadi dia baru merespons ucapan selamat ulang tahun gue barusan. Setelah lewat dua hari.
Dia menelepon gue setelah gue mengabarkan kalau gue ada di rumah orang tua gue sekarang.
"Kamu di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Settle for Half
ChickLitMikasa bilang konsep jodoh seperti perdebatan kusir tentang gelas yang berisi setengah penuh atau setengah kosong. Enggak ada yang mau dicap hanya separuh selama belum saling menemukan. Padahal Raya dan Mika tidak pernah utuh sedari awal. Tidak pern...