XIII

4.2K 586 89
                                    

Karena gue udah terlalu khawatir sebelum gue melakukannya, maka ketika pada akhirnya gue memberitahu orang tua gue, respon mereka bisa sangat gue antisipasi. Bapak yang tetap optimis bahwa dia masih bisa punya cucu kalau gue menikah dalam waktu dekat, ASAP. Dan Ibu yang berkesah sedih lalu mengingatkan gue bahwa nenek gue, yaitu ibunya Ibu, juga punya kondisi yang sama terkait rahim.

"Ini pasti turunan Mbah Uti kamu, Nduk. Kamu kan, tau, Ibu nggak punya saudara lagi ya, karena almarhum Mbah Uti kamu juga begini." Ucapnya dengan nada sedih. Gue meremas tangan Ibu, nggak seharusnya apa yang gue punya ini menjadi salah siapa-siapa. Sekalipun faktanya memang ada kemungkinan hal seperti ini terjadi karena faktor genetik, apa boleh gue menyalahkan orang tua-orang tua di keluarga gue begitu saja?

"Bu, Raya nggak apa-apa. Kan, Mbah Uti juga tetep sehat dan seneng meski anaknya cuma Ibu, toh?" Ibu tersenyum mendengar tanggapan gue. "Raya ngasih tau ini bukan berarti Raya mau nyalahin siapa-siapa. Yang namanya manusia kan emang bisa sakit sama sembuh."

Sesungguhnya gue udah mau nangis tiap gue membicarakan hal-hal seperti ini sama Ibu. Ya, selayaknya anak-anak nusantara aja deh, gimana. Pasti asing kan, mengekspresikan perasaan apalagi yang deep begini ke orangtua sendiri?

Gue nggak bisa berkata-kata lebih banyak lagi waktu melihat mata Ibu berkaca-kaca dan beliau mengalihkan perhatian dengan mengupaskan apel untuk gue dan Bapak.

Maafin Raya, ya, Pak, Bu.

~

Gue pikir-pikir lagi, memberitahu Bapak dan Ibu tadi, enggak lebih susah daripada memberitahu Mika beberapa minggu lalu. Malam waktu kita masih di Padang itu. Gue adalah tipe orang yang akan lebih dulu membuat 1001 prediksi apa tanggapan orang atas apa yang gue lakukan.

Dan Bapak dan Ibu benar-benar sesuai dugaan gue. Tipikal orang tua aja kalau buah hatinya lagi berbela sungkawa.

Tapi tanggapan Mika malam itu....

Gue refleks memegang bibir. Gue udah dua juta persen yakin Mika mencium gue hanya karena momennya pas aja. Mika mengasihani gue yang baru saja mendapat fakta tentang kondisi gue yang nggak sehat, dan kami nggak tahu lagi bakal ketemu kapan. So he did. The kiss.

Ada nggak sih, kecup-kecup persahabatan gitu?

Ada kali, ya? Mikasa Iskandar pelopornya.

Kami masih saling menghubungi setelah malam itu. Meski nggak ada pembicaraan yang gimana banget masalah perasaan gue atau perasaan Mika. We just casually catch up with each other, I guess. Dengan gue yang ceriwis bertanya ini itu, dan Mika yang cuma membalas singkat atau paling panjang kalau dia mendeskripsikan kuliner khas daerah yang sedang mereka kunjungi. Rangkaian tour konser Rebound masih akan berakhir dua minggu lagi, jadi gue pun nggak berani bertanya, kapan gue bisa bertemu Mika lagi.

Kangen nggak sih, gue sama Mika? Gue bahkan takut mengakuinya jadi gue repress aja semua ini dengan anggapan, he's just trying to be nice. Karena memang hanya Mika yang tahu kondisi gue sejauh ini. Biar bagaimanapun kami pernah dekat, dan gue rasa Mika masih menghargai sisa kedekatan itu, atas nama Raihan atau siapapun.

It's Mika's birthday two days ago. Dan sampai dua hari lalu gue nggak tahu kado apa yang pantas gue berikan pada Mikasa. At least untuk menyaingi kado ulang tahun yang dia berikan pada gue. Tapi gue nggak menemukan jawabannya. Lagian Mika susah banget dihubungin kalau bukan dia duluan yang menghubungi gue, jadi dia baru merespons ucapan selamat ulang tahun gue barusan. Setelah lewat dua hari.

Dia menelepon gue setelah gue mengabarkan kalau gue ada di rumah orang tua gue sekarang.

"Kamu di mana?"

Das wird dir gefallen

          

"Denpasar, Ra." Gue mendengar keriuhan di balik suara Mika. "Ini di Seminyak, tapi besok Ino maksa ke Canggu sebelum balik ke Jakarta. You know, the birthday bash."

Dan seperti biasa. Suara Mika terdengar lelah. Seperti dia ingin mengakhiri semua pembicaraan, semua kegiatannya hari ini dan drop dead tidur sampai besok. Gue bahkan bisa membayangkan mata pandanya yang udah unjuk rasa menuntut istirahat.

Harusnya Mika excited karena gue yakin Rebound sudah merayakan ulang tahun Mika dengan meriah. Baik yang diadakan manajemen mereka atau dari fans, pasti Mika udah kenyang sama perayaan, kado dan ucapan syukur. I can't beat any of that.

"Bagus tuh Canggu. Bisa bikin kamu bobo nyenyak."

"Kayak bakal bisa bobo aja kalau Ino yang jadi ketua panitia." Mika lalu terkekeh. Gue menunggu Mika bertanya bagaimana tanggapan orangtua gue tapi dia nggak kunjung menanyakan. "Kamu sampai kapan di sana? Bapak Ibu kamu sehat, kan?"

"Iya. Besok, Mik. Aku siang ada kerjaan."

"Hmm ... kamu mau sempetin ke makam Raihan, ya?"

Gue terdiam. Karena sama sekali nggak pernah gue bilang ke siapa-siapa kalau gue memang selalu menyempatkan ke makam Raihan di pagi hari, sebelum gue kembali ke kota gue. Dan selalu sendirian, karena gue masih enggan datang ke sana dengan orangtua gue dan membarengi kesedihan mereka. Gue masih nggak sanggup menghadapi kesedihan mereka yang selalu sangat kentara, meski sudah bertahun-tahun berlalu.

"Iya..."

"Kalo lagi ulang tahun gini, aku keinget Raihan, Ra.Inget dia selalu kasih kado album musik lawas. Terakhir aku dapat Copeland. Gila. Padahal tuh album rilis pas aku SMP apa masih SD ya, Ra?" Gue tersenyum mengingatnya. Fakta bahwa Mika mengingat semua yang Raihan lakukan di hari ulang tahunnya terasa manis. Padahal kan ... terakhir kali kado itu datang dari Raihan adalah bertahun-tahun lalu.

"Copeland? Sunshine?"

"You Are My Sunshine." Gue tersedak sekilas. Oke, itu judul album lengkapnya. "Kayaknya kalau tour kelar, aku boleh ya, ke sana?"

"Ke sini?"

"Iya. Kangen juga nyetir jarak jauh sendirian."

Gue tertawa mendengar keinginan Mika. "Bapak sama Ibu aku pasti kaget deh, kalo kamu tiba-tiba dateng. Kebayang."

"Ya ... sama kamu aja kalo gitu. Masa iya aku main ke sana sendirian." Mika berdeham gugup, suaranya semakin samar entah karena sinyal kami atau apa. "Kalo kamu ada waktu."

God damn, Mikasaaa!!!

Kalau dia melibatkan gue terus seperti ini, apa lagi yang bisa gue lakukan selain memberikan seluruh waktu gue untuk Mika lagi???

"Aku enggak sesibuk gitaris band tenar kok. Lagian aku juga sering pulang, Mik."

"It's a date, then."

Gue udah siap menjerit, paling enggak sewotin Mika karena dia bikin keikhlasan gue tentangnya kembali menguap. Tapi apa daya, gue cuma bisa berkesah pelan. "Jangan pas aku PMS lagi ya, Mik."

Gue kira dengan gue mengungkit hal ini lagi Mika akan membatalkan rencananya dan membangun jarak yang jelas lagi di antara kami. Tapi enggak! Mika memutuskan untuk jadi brengsek lagi!

"Justru karena aku udah pengalaman sama kamu yang PMS kaya kemarin, Ra. Kamu nggak usah khawatir lagi." jawabnya. Background suara di tempat Mika semakin riuh ketika dia menggumamkan tawa. "Tunggu aku balik, ya?"

Settle for HalfWo Geschichten leben. Entdecke jetzt