Teruntuk Ayna Nabila yang entah sejak kapan membuatku jatuh cinta.
Ketika kamu menerima surat ini, mungkin aku sedang berada di meja operasi dan sudah terbang ke luar negeri. Aku nggak mungkin memegang secangkir kopi dan berada dalam keadaan baik-baik saja, Ayna. Sejak lahir, hidupku selalu berada di ambang hidup dan mati. Bahkan mampu membuka mata tiap pagi itu merupakan keajaiban bagi seorang Zayn.
Tujuh tahun, orang tuaku menunggu kelahiran anak pertamanya. Dan aku terlahir ke dunia setelah penantian dan kesabaran yang lebih dari diuji. Namun sayangnya, aku terlahir dengan jantung yang tidak sempurna. Aku kecewa dengan diriku sendiri.
Rasanya menyiksa melihat senyuman yang merekah dari Mama dan Papa seolah aku anak yang normal, tapi ketika mereka berbalik, senyuman itu berubah jadi isakan tangis. Mereka tak benar-benar tersenyum. Ada retakan kekecewaan dari tiap senyumannya yang tak pernah mereka bisa ungkapkan, tapi bisa aku rasakan. Bukan hanya aku yang perlu ikhlas menerima, tapi juga kedua orang tuaku.
Sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi Zayn yang lebih kuat. Menjadi seseorang yang lebih dari seorang boneka kesayangan orang tuanya. Menjadi seseorang yang diakui oleh orang lain. Menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain.
Aku memutuskan kuliah karena aku iri dengan anak sepantaranku yang bisa belajar dan bermain bersama teman-temannya. Aku cuma bisa melihat kebiasaan mereka lewat film yang sering aku tonton. Dan aku tak menyangka, aku bisa bertemu dengan kamu, Ayna.
Berkat kamu, aku bisa merasakan bagaimana rasanya mencintai seseorang. Rasanya merindukan sampai sesak. Rasanya membenci seseorang yang kamu beri senyuman manis. Bahkan rasanya mengikhlaskan sesuatu yang tidak berjalan sesuai keinginan.
Aku tahu aku sudah kalah sejak awal. Kamu sudah menolak aku dengan lantang, tapi aku yang memaksa untuk berdekatan dengan kamu.
Aku nggak pernah menyesal bertemu dengan kamu, walaupun pada akhirnya aku nggak pernah bisa mengucapkan selamat tinggal dengan benar.
Aku harap, kamu baik-baik aja dan bertemu seseorang yang kamu sayangi. Selama itu bukan cowok seperti kamu-tahu-siapa, aku bisa ikhlas.
Aku nggak tahu apa aku masih sanggup membuka mata atau tidak saat kamu membaca surat ini.
Orang-orang sepertiku, selalu ingin meninggalkan tanda bahwa kami pernah hidup. Kamu sedikit mengerti mengapa sifatku seperti tidak ada rasa takutnya, kan? Karena bagiku, hidup hari ini adalah hidup terakhirku, jadi aku tidak akan menyesal telah melakukan apapun itu.
Awalnya aku bahagia telah hadir di ingatan banyak orang, tapi setelah menghabiskan waktu bersama kamu, aku mengerti bahwa hal yang aku lakukan selama ini adalah sia-sia. Aku memang cepat hadir di ingatan mereka, tapi secepat itu pula mereka bisa melupakan aku. Sejak aku bertemu denganmu, aku ingin dicintai lebih dalam bukan lebih luas. Tapi yang menyedihkan, hanya aku yang mencintai saat kamu mendamba yang lain.
Aku nggak akan melupakan kamu. Bila semesta masih mengizinkan, aku akan datang menemuimu, Ayna. Walaupun tanganmu sudah digenggam lelaki lain, aku akan tetap mencari kamu. Untuk memastikan kamu benar-benar sudah bahagia.
Program cinta yang kamu tanam di hati aku, nggak pernah bisa diformat atau ditutup paksa. Programnya akan terus berjalan tanpa henti selama aku masih inget nama kamu. Karena nggak ada syarat yang harus dipenuhi agar program itu berhenti.
Karena aku cinta sama kamu tanpa syarat.
Aku nggak berharap kamu akan membalas cinta dari orang yang sekarat, tapi aku akan sangat bahagia kalau kamu akan mengingat aku yang pernah jadi bagian dari hidup kamu, Ayna.
"Setidaknya sesekali, tolong ingat aku," ucap Ayna mengakhiri surat yang ia baca.
Ayna tersenyum lebar sembari melipat surat yang hampir tiga tahun tidak pernah ia buka. Surat yang Ayna yakin bisa menghancurkan harapannya saat itu. Ayna tidak menyesal membaca surat ini terlambat karena Ayna tidak akan kuat bila mengingat sosok Zayn sebagai orang sekarat di dalam ingatannya.
"Udah baca suratnya?"
Lingkaran tangan itu melingkar di bahu Ayna. Tangannya semakin kurus daripada terakhir kali yang mampu Ayna ingat, tapi kali ini tangan itu semakin kokoh tak lemah seperti sebelumnya. Gadis itu pun menoleh, lantas mengangguk pada Zayn yang duduk di sampingnya dengan senyum merekah.
"Ke mana aja kamu selama ini?" tanya Ayna sebelum menjatuhkan pandangan pada cincin yang melingkar di jarinya. Cincin sama yang tersemat di jari Zayn.
Zayn benar-benar menepati ucapannya untuk menikahi Ayna.
Sebelum Zayn mendatangi Ayna ke villa, dia lebih dulu meminang Ayna di hadapan Pak Faza. Dengan membawa segala kemungkinan terburuk bahwa dia akan ditolak dan acara pernikahan yang telah dia siapkan jauh-jauh hari berujung kerugian, Zayn bisa mengembuskan napas setengah lega begitu Faza menyerahkan segala keputusan pada putrinya.
Ragu atas perasaan Ayna yang bisa saja melebur karena waktu kian terkikis seiring Zayn yang mendatangi Villa. Teman-temannya yang terkejut atas kedatangan Zayn sontak mendorong-dorong Zayn untuk segera menghampiri Ayna. Mereka berkata, Ayna sudah menunggu lama. Lalu tepat setelah Ayna diwisuda, sore harinya dia sah menjadi istri Zayn.
Zayn sudah takut namanya akan dicoret dari kartu keluarga karena menghabiskan uang untuk menyewa gedung, dekorasi, katering, pakaian, mc, dan beragam persiapan acara pernikahan lain padahal belum ada kejelasan dari calon mempelai. Hanya berdasarkan insting bahwa gadis itu masih menunggunya, Zayn membuat orang tuanya percaya untuk mendukungnya. Dan ketika Ayna mengatakan, 'ya' luruh sudah segala beban di pundak Zayn.
"Nekat banget, sih!" komentar Ayna mengetahui rencana Zayn.
"Tapi kamu suka," balas Zayn, membuat Ayna mendecih geli.
Ketika resepsi pernikahan, banyak yang menyayangkan Zayn tidak lulus bersama-sama dengan anak kelas. Namun banyak pula yang bersyukur bahwa Zayn masih dikaruniai kesehatan. Mereka hanya tahu Zayn sakit parah, bukan sakit dari lahir.
Zayn dan Ayna duduk di taman luar hotel tempat mereka mengadakan resepsi. Gaun dan jas pengantin warna putih masih melekat di tubuh mereka dilengkapi wajah lelah yang kentara sebab menyambut tamu, yang didominasi dengan anak kampus.
"Aku berjuang untuk bisa duduk di samping kamu saat ini, Ayna."
Ayna tersenyum getir. Zayn tidak diizinkan untuk melanjutkan kuliah. Lagipula, Zayn sempat koma beberapa waktu karena perkelahiannya dengan Nata. Betapa terkejutnya Soraya melihat puteranya datang ke rumah sakit dengan mobil ambulance. Tanpa banyak kata, Erik dan Soraya pun membawa Zayn ke Singapura untuk pengobatannya karena mereka rasa Zayn hanya bertindak gegabah bila tetap di Indonesia.
"Makasih udah jadi sehat buat aku, Zayn. Makasih berkat kamu, aku jadi ngerti kalau Allah memang tidak pernah salah menempatkan takdir. Allah menempatkan aku di jurusan ini, kayaknya bukan hanya agar aku bisa menimba ilmu dan sekarang bisa kerja di kantor ayah aku, tapi juga untuk bertemu sama kamu, Zayn."
Ayna genggam tangan Zayn erat. Tangan yang tampak lebih kurus dari ingatannya. Membayangkan betapa banyak tenaga yang telah Zayn habiskan untuk bisa bertahan di dunia ini, membuat mata Ayna memburam. "Kamu adalah takdir yang nggak pernah aku sesali."
Zayn tersenyum dan balas mengecup tangan Ayna sekian detik sebelum merengkuh tubuh mungil gadis itu. "Ada banyak hal yang harus kamu syukuri, Ayna. Nggak perlu hal yang besar. Cukup kamu bisa memandang aku dengan mata sejernih seperti sekarang. Cukup ingat kamu bisa bernapas dengan paru-paru yang sehat. Atau cukup ingat kamu bisa duduk dengan Zayn yang gantengnya kelewatan."
Ayna melonggarkan pelukan Zayn lalu memukul sebelah lengan cowok itu. "Tetep aja narsis!" rutuknya sembari tersenyum geli.
"Dua puluh tahun, Ayna. Dua puluh tahun aku nunggu donor jantung yang cocok. Dan aku bersyukur ternyata jantung aku yang sekarang cocok buat aku. Walaupun aku nggak sehat sepenuhnya, tapi aku jauh lebih kuat dari sebelumnya," ucap Zayn sembari tersenyum tipis.
Ayna mengangguk. Ia pandangi wajah Zayn yang tampak berbinar. Bola mata hitam pekat Zayn mengunci tatapan Ayna, menenggelamkan, membuat dada gadis itu mengembang sempurna. Ayna pun balas tersenyum manis. "Aku nggak pernah tahu kamu setampan ini," cibir Ayna.
Sontak Zayn mencebik sembari melotot. "Kamu udah periksain mata kamu, 'kan? Jangan-jangan kamu rabun dekat lagi."
Ayna tertawa. Tawa yang menular hingga Zayn mencubit pipi Ayna gemas.
Ayna tak pernah menyangka salah jurusan akan membawanya pada waktu di mana kisah cinta tragis romantis dimulai. Sebelumnya ia pikir masa kuliah hanya masa untuk mewujudkan cita-cita atau jembatan menuju pekerjaan yang diinginkan. Tapi kini ia mengerti, cita-cita tak sepenuhnya tentang pekerjaan atau penghidupan yang layak. Cita-cita tak pernah sesempit itu.
Melihat Zayn begitu tangguh melawan penyakitnya yang bisa saja merenggut seluruh kekuatannya, ketika ia melihat Zayn yang mampu tertawa bahkan mengajak orang lain tertawa, Ayna merasa cita-cita cowok itu baru saja tercapai. Sesederhana tarikan napas, cowok itu mampu merasa bahagia tak ternilai.
Begitupun Ayna yang berhasil mengerjakan program yang logikanya sulit dipahami, berhasil mengalahkan sikap kekanakannya yang sulit menerima perbedaan, bahkan sanggup berjuang tanpa menyerah menyelesaikan kuliah, Ayna merasa cita-citanya tercapai.
Tuhan menempatkan Ayna di jurusan yang tak ia mengerti, mungkin bukan untuk menyiksanya justru memperkenalkan pada dirinya bahwa tidak perlu jauh-jauh untuk melihat masa depan, karena lima menit kemudian juga bagian dari masa depan. Pilihan-pilihannya sekarang adalah benih yang akan dipetik di masa mendatang.
Dan untuk pertama kalinya, mungkin Ayna ingin mewujudkan cita-cita kecilnya. Cita-cita untuk menggenggam tangan pemuda di sampingnya hingga keriput. Karena bukan hanya Zayn yang merasa hidup, tapi juga Ayna yang kini mengerti apa yang harus ia lakukan untuk masa depannya. Ayna memutuskan untuk berhenti jadi air gunung yang hanya mengalir mengikuti arus. Ia memantapkan hati untuk mengambil jalur hidupnya sendiri atas pilihan-pilihannya. Dan Zayn, telah menjadi bagian dari masa depan Ayna.
⌛
.
.
.Huaaaa gimana kesan pesannya?
Senang kan ceritanya happy ending?
Jangan sider ya! Aku pengen tau gimana respon kalian tentang ceritaku ini.
Terima Kasih telah membaca Times New Romance :)
Salam sayang, Zayn, Ayna, dan Nata.
Sampai jumpa di cerita lainnya!
Ampuni Zayn yang malah gombalin dan bikin Ayna emosi mulu sepanjang cerita. Ya gimana ya Zayn nggak sesoleh itu😂
Aku lagi suka banget sama karya kak Sinta Yudisia penulis Polaris Fukuoka, Sirius Seoul, dll. Di mana tulisan beliau tokohnya pasti berhijab, tapi tidak menjadikan cerita itu kaku dan terbatas hanya bisa dibaca orang muslim aja. Secara ga langsung lewat cerita itu ada tingkah laku seorang muslim yang ditampakkan, tanpa menggurui, dan tidak mendominasi, jadi bisa dibaca siapapun.
Menurutku itu keren. Secara halus penyampaiannya.
Maka dari itu, mungkin cerita ini jauh kalau dikata cerita spiritual karena emang romance, tapi semoga masih ada nilai-nilai positif yang bisa diambil ya.
Kalau diliat lagi, Ayna sama Zayn itu nggak pernah berduaan yang bener-bener berdua aja, kecuali di mobil, itu pun izin dulu ke ayah Ayna. Pasti mereka ngobrol di tempat ramai dan ini isu penting bagi aku yang ingin diangkat di cerita versi terbaru ini.
❤
Post: Mei 2020
Revisi: 2 Januari 2021