Perjalanan dari bandara ke kantor senin pagi ini jauh lebih padat daripada jalanan sepanjang Batu-Malang pada hari Minggu kemarin. Memakan waktu lebih dari 1 jam untuk sampai ke kantor, masih jauh lebih bagus dari pada nggak nyampai. Di kantor, papi seneng banget karena anggrek hitam pesanannya sudah dibawa pulang ke Cibubur oleh pak Adang, setelah menurunkan aku dan mas Dion. Aku khawatir bunganya mati kalau terlalu lama di dalam mobil, apalagi dengan suhu udara Jakarta yang panas.
"Pagi semuanya!" sapaku.
Begitu masuk sambil melihat jam yang sudah hampir tengah hari.
"Hem! Yang betah di Malang," mbak Paula menggodaku, setelah ulahku kemarin mengganggu acara weekendnya.
"Maaf ya!" jujur aku jadi nggak enak.
Tapi aku punya cara jitu untuk menghapus dosa pagiku, yaitu sekantong besar makanan khas kota Malang. Yang langsung disambut senyum lebar sama mbak Paula dan mas Andre.
"Pagi juga Wi!" jawab mereka.
"Sering-sering aja begini Wi, kebetulan kita belum sarapan tadi," timpal mas Andre di tengah derai tawanya, tanpa sungkan langsung memilih sendiri mana yang dia mau.
"Aku paham Mas Andre," ganti aku yang menimpali kelakarnya.
"Wi, nanti kita bicara Shorea ya," lanjutnya.
"Oke, bener ya ada masalah?"
Aku jadi penasaran dengan hasil kunjungannya ke Salatiga.
"Ntar ya, makan dulu," kata mas Andre cuek.
"Okelah!" jawabku lagi, sambil berlalu menuju ke ruang kerjaku sendiri.
Baru saja aku tutup telpon dari ko Chandra yang katanya lagi di tempat mas Dion. Tumben, ada apa ya? Niatku mau ke sana jadi tertunda karena mas Andre masuk dengan setumpuk file di tangannya, sayang kalau dilewatkan begitu saja informasi yang dari minggu kemarin aku tunggu-tunggu. Dengan berbinar-binar, aku berharap ada sesuatu yang menarik dari file-file tersebut.
"Gimana Mas?" tanyaku nggak sabar.
"Sabar Bu," jawab mas Andre melihatku begitu bersemangat, sambil duduk di depanku.
"Oke, oke!" sahutku berusaha sabar.
"Begini, kalau kasus belum ketemu tapi aku sempet bicara langsung sama pak Nugroho," dia diam sebentar, menunggu reaksiku.
"Terus," aku mau dia cepat melanjutkan apa hasil investigasinya.
"Beliau hanya bilang begini, ini laporan bagus, hasilnya selalu profit, tapi waktu dicek ke kas maupun rekening bank, saldonya nggak ada," kalimat mas Andre berhenti di situ sambil mengangkat bahunya.
"Wow! Koq bisa?" lagi-lagi aku jadi kaget, emang bisa begitu ya.
Baru kali ini aku menemui kasus aneh, posisinya benefit tapi nggak ada duitnya.
"Itu yang aku dengar dari pak Nugroho, Wi."
"Aneh bin ajaib!" dua kata yang menggambarkan isi otakku saat ini.
"Aku belum pelajari semua sih."
"Maksudnya nggak ada? Benar-benar nol saldonya?" aku masih nggak percaya.
"Kita bicara saldo kas bank ya Wi, ada tapi nggak wajar," lanjutnya
"Bagaimana dengan stoknya? Tentunya ada donk?"
"Ada sih ada, tapi nggak sebanding dengan nilai benefit yang ada di laporan. Aku curiga di stok Wi," lanjutnya.
"Begitu ya," aku bergumam sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewi Maharani seri : Mafia Semprul (Tamat)
General Fiction"Dewi, aku ingin bertemu denganmu. Aku merindukanmu,"lanjut mas Harifin. "Seharusnya ketika kita bertemu tadi, aku langsung menghampiri dan memelukmu," kalimatku yang datar berhenti disitu, "menanyakan apakah Mas sehat?Bagaimana karirmu?Dan dengan b...