~~~***~~~
Dulu, waktu aku SMP, aku selalu berkhayal pingsan saat upacara, kemudian Ketua OSIS SMP-ku membopongku ke UKS dan menidurkanku dengan lembut di brankar. Tapi ternyata mimpi itu tidak jadi kenyataan. Selain karena aku tidak pernah pingsan saat SMP dulu, di sana juga yang pingsan selalu diangkat oleh anak PMR yang bertugas. Mimpiku pupus sudah.
Hari ini mimpiku jadi nyata, tapi bukan Ketua OSIS yang membawaku ke sana. Dia, Anta. Si ketua kelas gila yang super duper aku tidak suka! Jujur, dia memang tidak pernah mengatakan dia membenciku, atau dia tidak suka keberadaanku di kelas yang dipimpinnya. Dia hanya selalu memarahiku saat aku sudah mulai ekspresif saat menceritakan Kak Fadil. Katanya, aku terlalu banyak bermimpi—juga terlalu banyak berteriak. Aku juga harus tes psikologi atau paling tidak mengunjungi guru BK untuk mengecek kesehatan jiwaku. Maka dari itu aku selalu tidak suka saat dia sudah mulai ada di sisiku, karena dia selalu menceramahiku semaunya.
Tapi, kini pandanganku berbeda. Sepertinya dia mulai meluluh, cowok itu kini sedang duduk di dekat P3K UKS menyiapkan obat mag cair untukku. Dia berbalik kemudian mendekat padaku dengan tatapan lembutnya.
"Bangun," katanya dengan suara pelan kemudian mengangkat punggungku dari sandaran. Entah kenapa aku menurutinya dan mengikuti setiap perintahnya.
"Kamu kenapa sih pake acara makan-makanan pedas segala? Aku khawatir, Ky, aku takut kamu kena apa-apa. Gimana kalau lambungmu enggak kuat dengan tingkat pedas itu dan berlanjut kamu sakit tifus? Aku enggak mau," katanya lagi setelah aku menelan cairan manis hangat itu.
Kini aku rasa perutku masih mulas. Ah! Aku menyesal meminta Bi Iyam memenuhi piringku dengan sambal cabainya.
"Ky! Bangun, Ky! Kamu ngapain sih pakai acara makan pedas segala? Lihat nih siapa yang repot? Aku kan? Nyusahin sih!" Ah, ini apa lagi? Aduh, aku kenapa sih? Jadi tadi itu cuma mimpi? Kenyataannya aku baru membuka mata mendapatkan Anta di depanku yang sedang bertolak pinggang.
"Bagus! Mau nyusahin anak PMR sekaligus ketua kelas kamu?" Kali ini Anta kembali melotot. Kepalaku mundur takut. "Minum nih!" Anta menyerahkan satu pil pereda mag dengan segelas air hangat.
"Aku enggak mau ah!" rengekku malas, kenapa sih dia nangani pasien harus sekasar itu? Pecat aja kalau bisa relawan yang kaya gini, bikin pasien sakit makin parah, tahu!
"Ta, Rizky enggak kenapa-napa?" Terdengar ada suara di depan pintu. Pasti Nada khawatirkan aku! Aku harus balas dendam sama dia, dia sudah mencuekkan aku berhari-hari. Nada, lihatlah ini.
"Rizky kayanya mag parah, harus banyak istirahat. Sekarang dia juga lagi tidur." Itu jawaban Anta yang aku dengar. Astaga! Aku bermimpi atau gimana sih? Jadi Anta memang belum tahu aku sadar? Dia juga belum ngasih aku obat gitu? Lalu khayalan apa yang muncul itu? Mimpi kok dua kali? Sial! Perutku melilit lagi, refleks aku mengaduh sembari memeluk perut. Aku meringkuk seperti bayi.
"Ky?" Tibalah Anta datang. Ah aku enggak akan percaya, jangan-jangan ini mimpi lagi. "Kamu kenapa?" tanyanya lagi. Ah, ini nyata ya? Buktinya perutku masih saja serasa pakaian yang diperas.
"Kamu enggak sadar dua puluh menit. Aku sudah panik." kata Anta sambil duduk di sampingku dengan kotak obat yang dia bawa. "Sering minum obat mag apa? Takutnya kalau aku sembarang kasih kamu enggak cocok. Enggak ada pengurus PMR yang bisa dihubungi. Semuanya lagi KBM dan enggak bisa diganggu," katanya lagi menjelaskan, seakan aku akan mengomel karena dia yang menanganiku.
"Obat mag ya?" Aku menatapnya bodoh. Sejujurnya aku enggak pernah minum yang seperti itu. Berhubung biasanya perutku enggak kenapa-napa dan aku enggak pernah memberi sambel di makanan sebanyak itu. Perutku sakit lagi, aku meringis sambil berusaha memasang cengiran ke Anta, dapat aku tangkap Anta mengerti dengan kekudetanku terhadap obat.
"Aku kasih kamu obat cair dulu, ya? Nih, minum," ucapnya sambil menyodorkanku sendok berisi cairan hangat itu. Seperti mimpi. "Tadi ada yang nyari kamu."
"Siapa? Nada? Bilang aku masih pingsan dan enggak bakal sadar," jawabku bertanya balik secara refleks dengan nada ketus.
"Bukan, yang nyari kamu itu Syara, katanya dia panik takut kamu kenapa-napa, kan kamu jajan di ibunya. Kamu enggak berniat laporkan Bi Iyam ke pihak sekolah kan?"
Aku tertawa, otomatis Anta mengangkat alisnya. Ide gila! Kalau begitu sama saja aku laporan bahwa aku enggak nurut buat bawa bekal makan jam istirahat, sama saja aku bilang bahwa aku melakukan percobaan bunuh diri dengan sambal akibat patah hati. Bukan hanya Bi Iyam yang terpengaruh, imejku juga akan meluruh.
"Kenapa?"
"Ah, aku pikir itu Nada."
"Oh... Nada ya? Bukan Kak Fadil?"
Pertanyaan Anta itu berhasil membuatku terdiam. Aku lupa bagaimana aku bisa bahagia seperti saat tertawa tadi.
"Ky ...," Anta menatapku lama, kemudian dia melanjutkan, "Kamu udah enggak kenapa-napa? Atau mau ke kelas? Atau mau ke kamar kecil? Ayo aku antar." Anta bertanya secara beruntun, pertanyaan keduanya pun membuatku ingin membantingnya dengan bantal di punggung. Seandainya bantal itu sekeras batu!
"Aku mau ke kelas Ta, ayo!" kataku mulai bangkit, dengan segera Anta menahanku agar tidak terjatuh kemudian memapahku sampai ke kelas. Saat itu aku tahu, Anta yang aku kenal bukan sepenuhnya Anta yang nyata. Dia Anta yang masih belum aku ketahui bagaimana sifat aslinya.
~~~***~~~
Pulang sekolah sekarang aku lupa bahwa aku ini harusnya ikut ekskul Jurnalistik dulu. Saat bel berbunyi aku langsung berlari sekuat tenaga ke gerbang utama. Belum langkahku melewati paving block halaman sekolah, aku teringat aku sempat pingsan karena sakit perut, sakit perut karena sambal Bi Iyam, sambal Bi Iyam karena aku yang amarah, amarah karena aku melihat mereka, dan mereka itu Kak Fadil dan Kak Lala.
Sialnya aku ingat mereka sehingga aku melangkahkan kakiku ke ruang Jurnalistik. seperti biasa, aku mendapati keduanya tengah bercengkrama. Omong-omong, peminat ekskul ini ada dua puluh lebih, tapi aneh sekali saat mereka yang datang hanya itu-itu saja. Lebih banyaknya sih mereka berdua, yang mungkin ... niatnya buat pacaran aja. Lama-lama aku keki sendiri ngeliat mereka. Aku malas. Ingin aku berbalik saat melihat mereka tengah tertawa sambil pegangan tangan (saling tahan agar dirinya tidak diserang lawan) aku jadi enggan mengganggu. Aku enggak tahu sejak kapan rasa malasku itu menumpuk.
"Eh, Rizky, sini Ky!" Itu suara Kak Fadil yang tiba-tiba melihatku memandangnya cengo, mungkin mengira tidak ada yang melihat keduanya tengah romantisan. "Masuk, masuk!" katanya lagi sambil merapihkan beberapa kursi di ruangan ini yang acak-acakan. Tapi tidak membantu sama sekali.
"Kak, aku izin ya?" Ah, itu pertanyaanku yang spontan, aku tidak berniat mengatakannya, tapi aku merasa tidak ingin mereka berdua lagi. Aku muak.
"Emang mau ke mana, Ky?" Kini Kak Lala mengalihkan pandangannya kepadaku setelah pura-pura sibuk dengan laptopnya.
"Lagi enggak enak badan Kak," jawabku berusaha menjawab dengan lemas, tapi tetap saja, aku gagal. Harusnya aku berguru sama Nada yang anak teater.
Tuh kan, Nada lagi!
Kak Fadil mengangkat bahu seolah tak acuh kemudian tersenyum, "Ya sudah, mau gimana lagi? Lekas sembuh, ya." Seharusnya aku senang mendapat doa dari Kak Fadil, tapi kok rasanya hambar, ya?
"Hm, makasih Kak," balasku kemudian pamit pergi.
Kayanya Nada benar, aku enggak pantas buat dekati Kak Fadil, selain aku enggak pantes dilirik cowok seganteng dia, dia juga punya Kak Lala yang selalu setia ada di sisinya. Kak Fadil menekan tanda love di instagramku mungkin cuma sebatas balas budi karena aku juga menekan tanda love di instagramnya, Kak Fadil memegang tanganku saat membuat kompos mungkin hanya kejahilan semata dari kakak kelas untuk adiknya, Kak Fadil menggendongku saat jatuh dari pohon mungkin karena dia memang kasihan melihatku kesakitan.
Aku bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi siapa-siapa. Seandainya apa yang Nada katakan itu aku percayai, mungkin saja aku enggak akan sepatah hati ini.
Aku terlalu percaya diri untuk terbang, padahal sayap saja tidak punya. Bodohnya aku berharap lebih sama Kak Fadil. Bodohnya aku.
"Eh, kok kamu nangis?" Dimas yang sedang duduk di kursi taman bertanya kaget saat aku turun tangga. Aku langsung menghapus cairan hangat itu. Sial! Aku kedapatan nangis di hadapan si Dimas, bisa-bisa aku jadi bulan-bulanan kelas selama satu bulan!
Aku menggeleng, kemudian berlari sekuat tenaga, aku enggak mau ada anak-anak SMA ini melihatku dalam keadaan kacau karena ngerasa dibohongi diri sendiri, apalagi kalau didapati kelas sebelas atau dua belas, bisa-bisa aku dikatakan adik kelas cengeng yang kaya anak kecil.
Obat mag dari Anta ampuh juga. Aku tidak merasakan sakit di perutku, tapi sakit itu beralih pada dadaku, tepatnya di hatiku. Kutepuk dada ini dengan kepalan tangan, siapa tahu saja rasa sakit itu terkalahkan dengan pukulan. Bodohnya, rasa sakit itu malah buat aku sesak.
Saat itu aku sadar, keberadaan Nada memang dibutuhkan.
~~~***~~~