Dalam gelapnya malam, bulan seakan memandang keberadaanku dari kejauhan. Aku hanya terkejar, kakiku berlari seakan marah pada situasi sekarang. Ketakutan melandaku, dan semua bulu kudukku merinding, ketika berkali-kali batinku terus mengatakan,
'Akashi'
Ia yang terkenal akan iblis, yang akan selalu menemani bulan merah dibeberapa saat sebelum bulan itu tenggelam. Namun selama semalaman, ia akan terus menikmati acaranya. Para manusia yang berlarian, ketika mengingat namanya.
Ia akan membunuhmu, jika kau tidak segera pindah dari satu tempat selama satu menit.
Acara festival malamnya, yang terkenal di seluruh desa.
Bulan merah akan muncul tanpa di duga-duga, maka dari itulah cerita ini tidak bisa hanya sekedar menjadi dongeng. Namun ini sudah jadi peringatan wajib bagi anak-anak yang baru mengetahui, betapa kejam kehidupan di tanah kelahirannya.
Dari waktu ke waktu, orang-orang di semua usia, hanya akan mengadakan satu lomba wajib dan akan langsung diberikan hadiah juga sampai dijuluki sebagai salah satu pahlawan.
Lomba lari.
Hanya karena lari, orang tersebut akan diberi pekerjaan yaitu untuk melindungi kepala desa saat festival bulan merah tiba.
Namun,
Akashi, lebih tahu hal itu.
"Rupanya kalian, mengadakan acara bodoh seperti itu?"
"Yang kuperingatkan ke kalian adalah lari, lari dan lari, pernahkah aku bicara, kalau ada konsep melindungi?"
Tangannya yang ternodai banyak darah, tiba-tiba melepaskan sebuah kepala ke bawah tanah.
Aku berhenti beberapa meter di dekatnya dan bisa melihat dengan jelas, kepala siapa yang ia jatuhkan tadi.
Namun wajahnya, hanya tertimpa tanah. Telingaku bisa mendengar retakannya, hidung dan tulang lain diwajahnya mungkin patah. Wajahnya juga kemungkinan besar tidak dapat dikenali karena banyaknya darah yang muncul dari wajahnya.
"Aku tidak menjatuhkan nya dengan benar.."
"Lagipula, aku tidak suka aromanya"
"Aku tidak perduli"
Mata iblis itu tajam, rambut dan matanya berwarna merah darah. Kalau dia bukan seorang pemangsa, wajahnya mungkin tampan untuk ukuran manusia.
Tidak ada yang bisa dilakukan tubuhku, kecuali melihat wajahnya. Kakiku sudah terlalu lelah untuk lari dan tubuhku hanya mengigil hebat karena kehadiran iblis itu di dekatku.
"Kau sudah lelah?"
"Hah..hah...hah..."
Tidak ada yang dapat keluar dari bibirku, kecuali helaan nafas yang tertahan, detak jantung yang cukup keras terdengar, dan hawa dingin yang saat ini kuat sekali kurasakan.
Akashi, ia tersenyum ketika melihatku dalam keadaan seperti itu. Ia berjalan dengan perlahan kearahku, dentuman sandal kayunya juga gesekan yukata merahnya bergema di gendang telingaku. Semua suara itu bagaikan berjalan tepat di daun telinga.
Sungguh membuat tubuhku tidak berdaya. Aku terlalu takut menghadapi nya, atau terlalu sakit untuk berlari lagi.
Akashi, senyumnya hilang, ia tiba-tiba saja sudah berada tepat dihadapanku. Kakiku hanya bisa terkulai lemas dan aku terjatuh di hadapannya.
Sekuat itulah keberadaan di dekatku, tubuhku hanya bisa pasrah jika dia memang ingin membunuhku.
Sebelum itu, aku hanya bisa merasakan..
Kalau mataku sudah terpejam, dan aku tidak sadarkan diri.
---------------------------------------
Dalam sadarku, mataku hanya terasa sukar sekali untuk terbuka. Padahal sinar mentari sudah terang sekali menembus kelopak mata, tubuhku juga rasanya sangat sakit dan aku seakan ditindih sesuatu.
Lama sekali aku dalam keadaan seperti itu, aku hanya merasakan ketakutan yang lain. Aku tidak bisa mendengar suara apapun, orang-orang tidak juga menghampiri tubuhku. Aku hanya mengalami ketakutan yang lain itu.
Apakah, mereka semua mati?
Apakah, aku juga sebenarnya mati?
"Benar, kau sudah mati, tuan"
"Apakah sesulit itu untuk membuka mata? Setidaknya, anda harus berterima kasih kepada seseorang"
Suara itu, aku belum pernah mendengarnya. Bukan juga suara Akashi atau juga suara para warga desa yang kukenal.
Namun aku... Benar-benar sulit untuk membuka mata.
"Haruskah saya, membukakan mata untuk anda? Jangan salahkan saya, kalau bola mata anda lepas dari posisi awal"
Mataku terbuka, sentuhan dari jarinya benar-benar lembut, dan merupakan kebalikan dari apa yang ia katakan. Dan juga sedikit terasa dingin.
Aku bisa melihat seseorang yang sudah membantuku membuka mata. Ia terduduk membelakangi cahaya. Mata dan rambutnya sewarna biru langit dan ada beberapa udara misterius yang membingkai tubuhnya.
"Anda benar-benar tidak bisa bangun?"
"Sebenarnya shock macam apa yang baru anda alami..?"
Nada bicara pemuda biru ini begitu pelan dan lembut, terdengar seperti sedang merendahkan dirinya di hadapanku.
Sementara mataku, tidak bisa melihat kearah lain selain dirinya. Kepalaku, rasanya sangat sakit untuk kugerakkan dan melihat sekeliling.
Aku perlahan, mengangkat bibirku. Ada suatu hal yang ingin kutanyakan padanya untuk pertama kali.
Namun ternyata tidak bisa.
Yang kulakukan hanya melihatnya saja yang membelakangi cahaya.
"Shock anda parah sekali, Tuan"
"Saya akan membawa anda, sampai anda pulih"
Tangannya meraih tubuhku, ia membawaku dalam gendongannya.
"Anda bahkan tidak bisa bicara"
"Tertidur disini.."
Ia terdiam begitu lama dalam langkahnya. Aku berharap dia terus bicara padaku dan mengatakan apa yang kumau.
---------------------------------------
Setelah Akashi datang kearahku, dia sepertinya tidak membunuhku. Namun tubuhku semuanya jadi mati rasa karenanya.
'Apa perjalanannya masih jauh?' batinku setelah lamanya laki-laki biru muda ini berjalan.
Dia sangat diam, seperti membaca isi hati, tiba-tiba dia bicara.
"Kita sampai, Tuan"
Dalam diamku, aku hanya bisa melihat beberapa sisi dari posisi awal leherku yang kaku.
Banyak sekali cahaya temaram diatapnya, sewarna langit senja yang berwarna jingga. Dan rasanya tempat ini sangat hangat.
Dalam langkahnya yang bergema, sepertinya lantai ini terbuat dari kayu dan juga ia mengenakan yukata yang panjang, karena aku bisa mendengar nya bergesekan.
Yukata panjangnya, mirip seperti yukata yang dikenakan Akashi.
Ketika aku menghela nafas, aku tersadar kalau mulutku sudah bisa kembali digerakkan.
"Sepertinya disini, memang cocok untuk anda"
Dia tiba-tiba menurunkanku, dan menopang punggungku agar duduk.
Tepat setelah itu, tanganku sudah kembali dapat digerakkan.
"Tidak adakah yang ingin anda katakan, Tuan?"
Kepalaku hanya menggeleng dan tersenyum. Aku dengan yakin mencoba untuk berdiri dengan dia yang menyusul untuk bangkit dari duduknya.
"Terima Kasih" kataku, setelah sekian lama ingin berbicara.
Aku ingin sekali melihat sekeliling, jadi kepalaku hanya fokus untuk melihat tempat ini. "Benar-benar tempat yang indah," gumamku. Namun pria ini masih dapat mendengarku.
"Berikutnya, tujuan kita, kearah sana, Tuan"
"A-Aku berterima kasih.. Tapi siapa..?" Kataku, aku tergugup. Pemuda ini tampan dan fakta kalau dia sudah menolongku, membuatku semakin merasa rendah terhadapnya.
"Saya? Apakah anda menanyakan jenis saya atau nama saya?"
"Apa maksudnya?"
Dia tersenyum tiba-tiba, tatapan matanya juga terlihat benar-benar lembut.
"Saya Tetsuya, Yuki Onna"
Pernyataan nya yang terakhir, membuat kedua alis mataku menggeryit. "Yuki Onna?"
Yuki Onna, adalah cerita legenda mengenai seorang wanita pembawa musim dingin sama saja dengan Ame Onna. Namun yang ada dihadapanku saat ini merupakan seorang pemuda..
"Apa kamu, wanita?"
Ia terkekeh sangat pelan, ia menghela nafas kecil sebelum berkata,
"Bagaimana kalau anda ikut saya, Tuan?" Ucapnya sambil tersenyum.
---------------------------------------
Ketika aku sampai hingga menginjak lantai ruangannya, aku dikejutkan dengan sebuah singgahsana yang benar-benar mewah dan juga merah. Semua warna hampir semuanya di dominasi oleh warna merah. Dan warna itu...
Mengingatkanku pada Akashi..
"Tuan!"
Sepertinya, aku kembali melemah dan mataku seakan memaksaku untuk tertutup. Seketika saja, pikiranku kosong dan suara Tetsuya si Yuki Onna, mulai menghilang dibalik pikiranku..