19 : Then, I'll Be Your Daddy

Mulai dari awal
                                    

"DIH!"

Ayesha langsung menoleh dan melotot tak terima. Hanif tertawa. "Akhirnya nengok juga."

"Kalau aku ada salah, bilang, jangan tiba-tiba ngambek gini dong."

Gadis kecil itu hendak membuang muka lagi, tapi tiba-tiba tangannya ditahan Hanif. Membuatnya kembali menoleh pada Hanif.

"Aye nggak ngambek, siapa yang ngambek sih?!" cetus Reporter Redaksi itu.

"Terus kenapa nggak ke sekre? Nggak liputan?"

"Kan udah izin sama Kak Wishaka, Aye ada tugas kuliah sama kurang enak badan."

Tubuh lelaki itu refleks berpindah ke seberang meja, tempat Ayesha duduk. Menyudutkan Ayesha ke dinding sudut ruangan. Tangan Hanif terulur menyentuh kening Ayesha. Tubuh mereka kini dekat sekali, hampir menempel.

"Nggak panas tuh?"

Jantung Ayesha rasanya mau copot sekarang, wajah Hanif dekat sekali!

Gadis itu bahkan bisa merasakan nafas Hanif di wajahnya!

"Y-ya emang udah nggak panas. Cuman kecapean aja, udah baikan kok."

Hanif tersenyum lega. "Syukurlah."

Kepala Ayesha kembali diusak tangan besar Hanif. Untuk kesekian kalinya hati Ayesha berantakan lagi.

"Terus kalau ngambek sama aku? Itu kenapa?"

"Udah dibilangin nggak ngambek!" kesal Ayesha.

"Ok, nggak ngambek," putus Hanif, ngeri juga kalau malah memancing amarah Ayesha.

"Pas ToD bilang suka aku, tapi terakhir di Sekre, bilang nggak suka. Jadinya kamu suka aku atau nggak?"

Halo? Apa kabar jantung Ayesha sekarang?

Hanif menahan kepalanya dengan tangan kiri bertumpu di atas meja, menatap Ayesha yang tersudut mentok di dinding kayu. Mengerjap lucu, dan bingung mau menjawab apa.

"Emang apa pentingnya aku suka atau enggak sama Kak Hanif? Toh Kak Hanif sukanya sama Teh Hanna."

Sial. Ayesha keceplosan. Habisnya, dia masih kesal melihat pemandangan Hanna dan Hanif yang berpelukan di Parkir Atas tempo hari.

"Maksud kamu?"

"Semua orang juga tahu Kak Hanif suka dan sayang Teh Hanna."

"Kamu tahu aku suka dan sayang Hanna?"

"Tahu," jawab Ayesha lesu, tak usah diulang dua kali.

"Tahu juga nggak kalau Hanna itu udah aku anggap keluarga aku? Udah kaya saudara meski tanpa ikatan darah?"

Mata bulat gadis itu menatap Hanif. "Keluarga?"

Hanif mengangguk. "Kakak anak tunggal, Papa sibuk kerja. Mama juga sibuk ke sana-ke sini jadi sukarelawan. Sering banget ninggalin aku sendirian di rumah. Semenjak Hanna jadi tetangga, aku akhirnya gak ngerasa kesepian. Aku akhirnya punya keluarga, seorang adik dan kakak yang selama ini aku dambakan."

"Aku pikir Kak Hanif—"

"Nggak salah, aku emang suka Hanna kok. Tapi sekarang kamu tahu alasannya kan?"

Ayesha mengangguk. Sedikit banyak ia jadi mengerti kenapa hubungan Hanif dan Hanna terlihat serumit itu.

"Kamu tahu aku suka Hana, tapi kamu tahu hal ini nggak?"

"Apa?"

"Tahu kalau aku suka kamu?"

Ini telinga Ayesha tidak salah dengar kan?

Pers Kampus ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang