32 : Limit

3.4K 483 22
                                    

 Gadis itu terus berjalan ke depan, tak peduli jika sedari tadi ada pria bertubuh besar dan jangkung memanggil namanya berulang kali.

"Ay."

"Sayang."

"Cutie, baby."

"Aye, dengerin Kakak dulu."

"Ayesha!"

Sentak si lelaki menahan tangan gadis yang dari nafasnya saja terlihat tengah menahan amarahnya.

Ayesha, gadis yang dipanggil menatap lawan bicaranya tajam. Matanya memerah, ingin menangis namun dia tahan. Hatinya kini terasa sangat sesak sekali. Ia tidak ingin melihat lelaki dihadapannya ini. Rasanya menyakitkan sekarang. Ia tidak sanggup.

"Dengerin Kakak dulu, kamu jangan pergi gitu aja dong?"

Gadis itu diam, tak berniat menjawab. Ia membuang muka, tak sudi menatap lelaki dihadapannya ini.

"Hanna--"

"Hanna, Hanna, Teh Hanna terus, aku gimana?!"sentak Ayesha menatap si lelaki lantang.

"Kak Hanif sadar enggak sih? Udah berapa kali Kak Hanif kaya gini? Sekali aku maklum, dua - tiga laki aku ngerti, ke empat dan lima kali aku coba paham, seberapa berartinya Teh Hana buat Kakak ..." Ayesha memenjamkan matanya sejenak.

"Aye tahu, selamanya Aye gak akan pernah ngalahin Teh Hanna buat Kak Hanif. Kita baru kenal 11 bulan, baru ngejalanin hubungan ini sebentar. Enggak sebanding dengan seluruh waktu yang Kak Hanif habisin bareng Teh Hanna."

Suara Ayesha sudah serak.

"Teh Hanna akan selalu jadi prioritas Kakak, dan aku akan tetap ada di bawah bayang - bayang Teh Hanna. Bagi Kak Hanif, Teh Hanna selalu lebih pentin 'kan? "

"Aku ngerti, aku selalu coba buat ngerti."

Suara yang biasanya terdengar riang ditelinga Hanif kini mulai melemah.

"Tapi kapan Kak Hanif juga mau ngerti perasaan aku?"

Mata Ayesha sudah berkaca - kaca.

"Sebenernya, aku ini apa buat Kakak? Suka sama aku? Sayang? Pengen terus bareng dan liat aku? Yakin bukan sama Teh Hanna?"

"Sayang, aku sama Hanna itu keluarga. Maaf kalau Aku tadi tiba - tiba bilang mau pergi, aku panik, Hanna gak berani tidur kalau mati lampu. Kalau kamu enggak mau aku pergi, aku bakal telfon Wendy buat temenin Hanna. Aku gak jadi pulang," jelas Hanif panjang lebar.

Tangan kecil gadis itu melepas paksa tangan Hanif dari lengannya. Setelah melepas lengan Hanif, Ayesha menatap Hanif kembali, mencoba lebih tenang.

Gadis itu memaksakan senyum terukir di wajahnya.

"Enggak apa - apa, Kak Hanif pergi aja. Kasian Teh Hanna sendiri di rumah. Aku bisa pulang sendiri, gak perlu nyusahin Dana buat jemput aku."

Ayesha sudah berbalik hendak pergi, tapi kemudian berhenti dan menatap Hanif lagi.

"Oiya, Kita gak perlu ada kata putus kan? Jadi Aye rasa gak perlu ngomong apapun."

Mata Ayesha terpejam. Menahan isakan yang bisa kapan saja lolos dari bibirnya.

"Makasih udah baik sama Ayesha."

Senyum terakhir diberikan gadis itu pada Hanif.

Sebelum akhirnya benar - benar pergi dari hadapan Pemimpin Pers Kampus yang mengerang frustasi.

Sementara itu Ayesha terus berjalan cepat, menghindari tatapan dan kejaran Hanif di belakangnya. Ia memutuskan bersembunyi di balik sebuah pohon besar di Alun - Alun kota Bandung, bersembunyi di antara keramaian.

You'll also like

          


Getaran ponsel terasa, ada sebuah panggilan masuk,

"Dana ngeselin'

Jadi kontak yang tertera di layar ponsel Ayesha.

"Halo?" jawab Ayesha dengan suara paraunya, masih mencoba menahan tangis.

"Aye? Naskah advertorial kemaren udah beres belom? Mau gue sirkulasiin nih, kirim link dong."

Hanif memang sempat berkata akan menelfon Dana untuk meminta anak itu mengantar Ayesha pulang, karena dirinya merasa harus segera pulang untuk menemani Hanna yang rumahnya mati lampu dan sendirian. Untuk kesekian kalinya.

Tapi belum sempat Hanif menelfon Dana, Ayesha keburu berjalan pergi dan terjadilah pertengkaran tadi. Kebetulan sekali sekarang Dana malah menelfon Ayesha.

"Dan ..."

Suara Ayesha semakin parau saja, dari jauh Dana bisa tahu jika gadis itu akan menangis.

"Lo di mana? Send loc, gue otw."

Telfon terputus, selang 5 menit, Dana sampai dengan motor vario warna putihnya. Mirip dengan unicorn milik Wishaka.

Dana menghela nafasnya begitu melihat Ayesha jongkok di bawah pohon seorang diri, menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang tertekuk.

Jemari tangan kanan anak perusahaan itu mengetuk puncuk kepala Ayesha. Membuat si empunya mengadahkan pandangannya pada Dana yang berdiri jangkung sekali.

"Ayo pulang,"ajak Dana, tanpa bertanya apapun.

Ayesha menurut, ia mengenakan helm yang dibawa Dana.

Di jalan gadis itu diam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Dana juga diam, tidak bertanya apapun, membuat Ayesha heran.

"Lo gak mau nanya, kenapa gue kaya gini sekarang?"

"Gue penasaran, tapi dibanding rasa penasaran gue, perasaan lo lebih penting. Kapan - kapan aja gue nanyanya, sekarang tenangin diri lo dulu."

Reporter Redaksi itu melihat ponsel yang Ia genggam di tangan kirinya, menampilkan puluhan miscall dan chat dari Hanif yang sengaja ia mute.

Ayesha lelah.

Dia ingin beristirahat.

Hanif selalu seperti ini.

Ini bukan yang pertama kali.

Bukan pula hanya terjadi dua - tiga kali.

Saat mereka kencan, Hanif akan memilih pulang membantu Hanna merakit lemari baru yang dipesannya dari olshop.

Saat Ayesha menunggu jemputan Hanif, tak sekali dua kali Hanif telat hampir setengah jam, karena tiba - tiba harus mengantar Hanna praktikum yang bertepatan saat itu Sanan sibuk. Kekasih Hanna itu memang super sibuk, maklum saja, calon dokter. Sehingga Hanif lah yang tetap harus mengantar - jemput Hana.

Lebih sering dibanding Hanif mengantar - jemput Ayesha.

Meski sudah memesan makanan di rumah makan, Hanif akan tetap pulang dan berkata akan memakan masakan Hanna saja, 'Kasian, Hanna suka sedih kalau gak ada yang makan masakannya,' cerita Hanif kala itu. Membuat Ayesha harus makan seorang diri, dengan Hanif yang hanya akan mencicipi sedikit dari makanan yang tersaji.

Okey. Ayesha selalu mencoba mengerti semua itu.

Ia pahami, jika Hanif dan Hanna memang hanya memiliki satu sama lain. Keluarga keduanya sama sama super sibuk sehingga sedari kecil, mereka tumbuh bersama dengan saling mengandalkan.

Pers Kampus ✔Where stories live. Discover now