Ketika rasa sakit berubah menjadi trauma.
***
Berusaha untuk mengembalikan dirinya yang dulu, Sakura putuskan untuk tetap berangkat ke kampus dan tidak mengingat-ngingat kejadian yang menimpanya selama di sana.
"Lo tau nggak, sih, kejadian pembunuhan enam tahun lalu?"
"Yang mana? Yang istri ngebunuh suaminya sendiri?"
"Iya. Itu ternyata orangtuanya Sakura. Anak Sastra Inggris, satu tingkat di bawah kita!"
"Seriusan lo?!"
"Dua rius. Lo liat, tuh, dia sekarang? Nggak tau malunya, malah berangkat bareng Angkasa."
Cibiran cewek-cewek hitz yang biasa duduk di kursi panjang halaman depan kampus, tentu saja bisa tertangkap oleh pendengaran Sakura. Belum lagi cowok-cowok yang tidak tahunya malah lebih parah.
"Taruhan! Menurut lo sifat pembunuh ibunya nurun ke Sakura apa nggak?"
"Bisa iya, bisa nggak, sih. Ya, fifty-fifty, lah."
"Nurunlah! Kata orangtua dulu, sifat orangtua perempuan itu biasanya menurunnya ke anak perempuan. Hati-hati aja lo―"
Kemunculan Angkasa yang baru mereka sadari dalam sebentar mampu menutup mulut mereka semua. "Coba bicara lagi sama gue, apa yang lo pada omongin barusan." Angkasa yang sejak tadi sudah tidak tahan dirundung emosi, cengkraman kedua tangannya langsung mengangkat kerah baju yang paling terakhir bicara, sampai tubuh anak itu ikut terangkat.
"Sekali lagi lo bicara tentang Sakura, mati lo di tangan gue," kecamnya tiada ampun. Lengkap dengan penuh penegasan pada tiap kata-katanya.
Tidak ingin memperbesar masalah kecil di saat masih banyak masalah lain yang belum terselesaikan, Sakura menahan tangan Angkasa sampai Angkasa benar-benar melepaskan cengkraman tangannya. Mengajak Angkasa untuk menjauh dari orang-orang itu.
Sewajarnya Sakura benar-benar tidak menyalahkan cibiran mereka. Mereka bukan dirinya. Mereka tidak merasakan seperti apa menjadi dirinya. Mereka tidak tahu apapun. Sehingga kini mereka bisa menilai apa saja sesuka hati mereka, dari apa yang mereka saksikan di media mengenai kasus pembunuhan ayahnya.
"Aku udah nebak, kejadiannya bakal kayak gini. Dan seharusnya aku nggak usah kuliah dulu," gumam Sakura.
Namun tiba-tiba ia merasa dirinya seperti baru saja disengat energi, ketika tiba-tiba pula Angkasa menggenggam jari-jemarinya erat.
"Selama ada saya, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Sakura mendapat kecaman psikis dari lingkungan kampus. Semua mengasingkannya, menyudutkannya, karena kasus itu. Semua mengasihani, memandang Sakura miris, karena ibunya sendiri yang membunuh ayahnya.
💕
"Udah selesai kelasnya?" tanya Angkasa, sesaat setelah melihat Sakura keluar dari ruang kelas, yang kemudian disusul oleh mahasiswa-mahasiswa lain.
Sejak sekitar 15 menit yang lalu Angkasa memang sengaja langsung ke gedung Fakultas Sastra, menunggu Sakura di depan kelas gadis itu.
"Udah." Sakura mengangguk.
Angkasa sudah menjulurkan tangannya, berharap Sakura mau memegangnya, sehingga kali berikutnya mereka bisa berjalan bersama.
Akan tetapi tidak sejalan dengan yang Angkasa harap, Sakura malah diam memerhatikan uluran tangannya, bergantian dengan menatap dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Eyes
Romancejudul sblmnya: tentang sakura "Katanya, manusia itu nggak ada yang benar-benar mati. Karena jiwa-jiwa mereka yang udah pergi meninggalkan semesta, semuanya tetap hidup dan diangkat sama Tuhan ke angkasa sana. Sengaja, supaya mereka bisa tetap mengaw...