Bab 8: Laksamana

225 27 8
                                    


Sebelumnya, gue harus ke meja gue terlebih dahulu. Karena gue udah menyiapkan kardus pindahan, yang tinggal gue lakukan cuma masukin alat tulis dan laptop ke kardus dan menyeret badan gue yang rapuh dan tak bertenaga ini ke lantai 17. Andai saja gue bisa mengulur waktu lebih lama lagi, tapi sayangnya barang-barang gue emang enggak sebanyak itu.

Apakah gue pengin berkarier di bidang CSR?

Gue cukup menikmati event CSR yang diselenggarakan RNB sejauh ini, tapi gue enggak paham kenapa semua program kerja yang sifatnya mulia tersebut ditangani oleh seseorang yang literally baru saja membumihanguskan departemennya sendiri. Sejak awal, Departemen Corporate Sustainability bukanlah departemen yang besar.

Oh, f*ck .... Gue baru sadar ....

Hanya akan ada gue dan Pak Laksamana di Corporate Sustainability. Semoga Pak Laksamana bakal menarik lebih banyak karyawan lagi. Tapi, gue merasa itu bakalan kayak Lucifer menawarkan apel kepada Adam. Dan, gue termasuk daftar mereka yang telah menerima apel tersebut, menggigitnya, memasukkannya ke usus dua belas jari, dan menunggu ekskresi. Semua demi 20%. Apakah ini sepadan?

Kemudian, gue langsung terjebak nostalgia. Ketika gue masih fresh graduate dan harus kirim ratusan CV, mengaku 'fasih berbahasa Rumania' agar gue kelihatan spesial di mata perekrut?

Masih sepadan daripada harus mengulang kembali, November.

Gue mendesah panjang sambil terhuyung-huyung ke lift.

Setidaknya, apa ada hal positif yang bisa gue lihat dari Pak Laksamana? Harusnya ada, ya?

Satu hal saja.

Well, doi emang masih lumayan muda. Setahu gue belum menginjak kepala tiga. Belum kepala tiga, tapi udah jadi Head of Department. Katanya dia lulusan Columbia atau semacamnya. Produk impor emang beda kualitasnya. Gue rasa itu cukup menginspirasi.

Apa lagi, ya?

Gue denger Corporate Sustainability dapat tambahan budget hampir 50% buat tahun ini. Emang sih semua event mereka diliput di mana-mana. Gue rasa itu prestasi yang keren.

Setidaknya satu lagi, Nov ....

Fashion sense Pak Laksamana juga oke. Kayak model Hugo Boss. He looks so good in glasses. Gue pengin bilang dia tampan, tapi gue sulit tertarik sama cowok yang hanya punya satu ekspresi wajah: murka.

"Ada yang bisa dibantu?" sapa resepsionis lantai 17.

"Saya ditugaskan buat jadi anak bawah Pak Laksamana mulai hari ini," jawab gue.

"Oke. Kamu lurus aja, terus belok kiri sampai mentok. Sarang Naga ada di sana."

"Terima kasih banyak, Mbak."

Kelihatannya, lantai 17 ini udah enggak buang-buang tenaga lagi untuk mempermanis kenyataan. Gue membetulkan postur gue dan menggotong kardus menuju Sarang Naga.

Halilintar ketiga mengejutkan semua orang kecuali gue. Iya, gue paham! Gue bakal menderita! Pertanda lo udah enggak ada gunanya! bentak gue kepada alam semesta.

Gue tiba di Sarang Naga. Ruang kantor pribadi dengan plakat perak bertorehkan "Laksamana Viktor. Head of Corporate Sustainability". Mari kita mulai kolaborasi yang menyakitkan ini, Viktor.

Gue membuka pintu.

Gue mendapati punggung telanjang yang panjang dan lebar. Lekuk otot yang halus tapi kasat mata memberikan aksen bahwa ini bukanlah punggung biasa. Tentu saja bukan. Dengan lukisan naga berwarna hitam di atas kulit yang cerah-agak-cokelat itu, sudah jelas ini bukan punggung biasa.

Punggung tersebut membalikkan dirinya, kini menawarkan mata gue dada paling bidang dan otot perut paling berdosa yang pernah gue saksikan—nyata maupun pasca Photoshop. Ternyata lukisan naga tersebut menjalar dalam bentuk kepala sang naga, beristirahat di atas dada kirinya. Gue enggak bisa menentukan apakah garis halus di sekitar lengannya juga tato atau urat otot.

Laksamana mengamati wajah gue dengan sorot mata yang menakutkan. Tapi, gue enggak merasa takut. Gue emang merasakan sesuatu, tapi jelas bukan rasa takut.

"Kenapa kamu nggak ketuk pintu dulu?" desisnya dingin, tapi enggak berpengaruh apa-apa buat hati gue yang sudah kepalang panas.

"Saya November, karyawan baru Bapak ...." Gue melongo tanpa membalas kontak matanya. "Naganya ... keren ...."

Gue bilang apa barusan?

Laksamana tampak agak gusar. "Kemeja saya basah kena hujan," jelasnya, sembari berhenti memelototi gue. Gue enggak bisa menerka ke mana dia akan mengarahkan sorot matanya. Gue enggak bisa menerka ke mana gue akan mengarahkan sorot mata gue. "Tunggu saya di luar," lanjutnya.

"Oh, oke ...." Gue masih melongo. "Saya akan tunggu di luar. Mohon permisi, Legenda Naga Hitam—eh, maksud saya Pak Laksamana."

Gue memaksakan diri keluar dari ruangan tersebut. Apakah tadi itu alasan kenapa kantor ini dijuluki Sarang Naga? Atau, cuma kebetulan belaka? Atau, sudah tersebar rumornya tapi enggak ada yang tahu kecuali ... kecuali ...

... kecuali gue?

Mungkin gue enggak akan semenderita yang gue kira. Itu orang masih Iblis, tapi setidaknya dia Iblis yang enak dilihat.[]

FELIX MARTUA - NOVEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang