Aku berdiri seketika dan nafasku jadi bergetar tak keruan dan, amarahku memuncak.
Pada awan mendung yang mulai menghilang di singgasana langit Makassar yang benderang ini, kurasakan Batara Kala merasuki kosmik dan menghasutnya.
"Ngapain kau di sini?" tanyaku ketus.
Aku tak menyangka akan bertemu sialan ini pada waktu yang tak terduga; alasan kenapa Asati menamparku beberapa waktu lalu, alasan kenapa Nuari membenciku, alasan kenapa aku dikenal seantero sekolah sebagai lacur yang merebut cowok sahabatnya sendiri dan, alasan kenapa aku menasbihkan masa SMA sebagai masa yang kubenci.
Dan dia adalah Pijak, yang berdiri di hadapanku dalam seragam sekolah yang berbeda, sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Jadi kamu masih marah sama aku, Marauleng?" katanya, mencondongkan tubuh mendekatiku dan, aku mundur menggeser kursi di belakangku.
"Jangan deket-deket!" resahku.
Pijak memiringkan kepala, mengernyit dan, tersenyum lalu menatapku dalam pandangan penuh ... sesal? Aku tak mengerti dan, kubentuk kerut-kerut pada keningku yang resah dan bertanya-tanya; apa yang direncanakan saraf-saraf Pijak yang bersenandung riang di kepalanya? Apa yang mengalir di sungai yang ada dalam dirinya? Lantas, pada angin-angin yang meniup lembut rambutku di balkon tengah, kulihat Pijak mengembuskan nafas dan bilang:
"Begini, Marauleng. Eum, sebenernya aku expect something more dari kamu karena kukira, kamu bakal seneng liat aku dan nyambut dengan ramah. Tapi, nyatanya, there's no warm voice sang by your red lips when it whispering into my ears. Kenapa, Marauleng? Aku cuma mau datang untuk minta maaf sama kamu."
Aku mendengus. "Gak usah sok ramah sama aku, deh, Pijak. Kau harusnya minta maaf sama Nuari, bukan sama aku!"
Pijak terkekeh. "Oke, aku turut menyesal karena hubungan kamu dengan Nuari rusak gara-gara aku, Marauleng, tapi-"
"Berhenti, berhenti panggil aku Marauleng!" repetku, berkata dalam nada rendah yang ditekan, menunjuk Pijak tepat di depan hidungnya dan bernafas kasar.
Dan sebagai rekasi, Pijak hanya diam menatapku, dengan pandangan yang aneh, dan mata yang mengernyit kecil, dan tatapan yang tajam. Lalu Pijak mengembuskan nafas, mundur satu langkah, dan melipat tangan di dada.
"Alright, what should I call you, then? Honey? My girl? Hmm? Atau Aramba aja?"
Aku terkekeh, mengalihkan pandangan dari Pijak, lalu berkacak pinggang dan menyisir rambutku dengan jari-jari. "Kau gak ngerti-ngerti, ya, Pijak? Kita pada dasarnya memang tak pernah ditakdirkan untuk saling kenal, tapi kau melanggar hukum yang ada dan terjadilah kekacauan. Mustahil Nuari membenciku pada awalnya, dan kau datang bertandang ke hatinya karena sebuah insiden, dan kau mempermainkan perasaan Nuari demi mendekatiku, dan kau hancurkan perasaannya!"
Pijak membasahi bibirnya dengan lidah, nampak tak nyaman dan bilang, "Tapi seharusnya itu kesalahan Nuari, dong? Aku gak pernah membuka hati untuk dia, aku-"
"Tapi kau jadikan dia pelarian!" bentakku, dengan nafas yang memburu, dan tubuh yang bergetar, dan kaki yang mulai goyah.
"Dan seharusnya kita tak pernah bertemu kembali!" lanjutku berapi-api. "Harusnya setelah kubayar lunas guci kau yang tak sengaja kupecahkan di pasar lama, kita saling mengabaikan keberadaan satu sama lain ketika kita bertemu kembali di festival rakyat malam itu! Kita gak lebih dari orang asing satu sama lain, Pijak! Tapi, setelah simpul sederhana yang mengikat kita terputus, satelit kau memasuki atmosferku dengan sangat, sangat disengaja! Apa tujuanmu?!"
Pijak menatapku dalam-dalam, "Karena kamu udah narik perhatianku sejak awal, Aramba. I thought, this feeling is just an ordinary example of how do you attracked me, an ordinary representative of words 'I like you', a teenager uncertainly feelings!"
Pijak menoleh ke lain arah, dan bernafas tersengal-sengal, lalu kembali menatapku.
"Ya, Aramba, kukira awalnya rasa ini cuma penasaran biasa aja, tapi makin jauh aku mengenalmu, makin banyak pula yang yang kupelajari. Aku belajar hal-hal secara acak, Aramba, dan diaduk-aduk kayak adonan kue, dan kamu membuatku candu, dan aku berusaha memasuki hidupmu dengan cara turut mengenal orang-orang terdekat kamu termasuk Nuari, Rinjani, Asati, semuanya. Tapi Nuari menyalahartikan tindakanku, dan demi dapetin kamu, aku rela memacari Nuari."
Pijak mengusap wajahnya dan menatapku memelas, "Don't, don't just you understand that?"
Aku tertawa lepas mendengar penjelasan Pijak. Terdengar sangat lucu, dan tak masuk akal, dan sangat, sangat kejam, dan aku menetralkan diri lalu berkata;
"Aduh, Pijak," kutatap dirinya dalam pandangan menyedihkan, "kau sangat lucu. Aku gak habis pikir sama kau. Bisa-bisanya kau berbuat sedalam itu hanya demi menaklukan porsi yang bukan takdir tunjukkan padamu."
Aku menunduk, lalu diam sejenak untuk bernafas supaya tenang, dan menatap mata Pijar dengan tajam,
"Tapi yang kau lakukan itu sangat kejam, Pijak. Kau tak memedulikan apa yang dirasakan orang yang menjadi korban hasrat kau, perasaan Nuari, perasaan Asati, perasaan Rinjani, dan perasaanku. Kau memecah ikatan yang sudah sangat kuat! Kau menghancurkan sebuah tanggul raksasa menjadi kepingan-kepingan batu yang gak berarti. Kau-kau," kurasakan mataku mulai memanas, tapi aku tidak mau menangis sekarang, maka kualihkan pandangan menuju lapangan di bawah sana.
Lantas, tanpa disuruh, melalui ekor mata, kulihat Pijak berlutut di hadapanku dan meraih telapak tanganku.
"Aku, aku bener-bener minta maaf atas semua yang kamu alami, Marauleng, aku-"
"CUKUP!" bentakku, menepis jauh-jauh tangan Pijak.
"Kau gak pantes panggil aku Marauleng karena kau adalah manusia yang gak berkemanusiaan! Marauleng cuma disebutkan oleh orang-orang tertentu dan kau gak masuk ke dalam daftar tersebut! Kau adalah manusia yang paling, paling kosmik ragukan! Kau tak murni atas nama ketulusan dan kau penghancur segalanya, Pijak! Kau adalah satu dengan Rahwana dan Duryodana dan Batara Kala! Kau, kau," aku bernafas tersengal-sengal, hampir menangis dan, "hargai aku dengan jauhin aku!"
Lantas, pada ragaku yang bergetar menikmati kegelisahan yang bersorak, aku mundur dan berdiri dengan tangis yang mulai berhujanan, dan berbalik memunggungi Pijak, dan menatap pohon cemara yang tumbuh jumawa di pinggir lapangan upacara di bawah sana dengan perasaan yang, sangat tak keruan.
"Ta-tapi, aku-"
"Farewell, Pijak."
Dan itu adalah dua kata yang kupastikan menjadi yang ucapan terakhirku pada Pijak.
Dan selanjutnya, aku dapat mendengar embusan nafas yang berat dari belakangku lalu terdengar suara;
"Kamu akan nyesel udah sia-siakan aku, Aramba."
Mendengarnya, aku berdecih tanpa sudi berbalik. Dan setelah itu, kudengar ada langkah kaki yang perlahan menjauh.
Dan pada detik itu juga, aku pun tahu bahwa, Pijak telah pergi. Dan aku tak peduli dengan pa pun yang ada dalam dirinya karena, ini adalah pelajaran baginya dan, aku tidak akan menyesal telah memberi pelajaran pada siapa pun.
Dan aku masih menunggu Rinjani.
| ï |
//**//alwiparrado//**//

KAMU SEDANG MEMBACA
lestar-ï-skariot
Teen FictionKatanya, masa SMA adalah manifestasi kebahagiaan yang sesungguhnya. Tapi, bagi jiwa-jiwa yang lain, itu adalah bualan belaka; mereka tersiksa kala, dikata pembalela. Dan meski keduanya selalu dihujani racun, toh nusantara akan tetap menari, Aramba...