Lembar satu.

47 10 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sabtu, 10 September 2019.

Yang aku ingat, Yoo Chan suka sekali senja. Ia akan senang saat saksikan swastamita sambil rasakan cahaya keemasan terpa wajahnya. Ia akan tersenyum sepanjang baskara berpamitan. Yoo Chan sering sekali tersenyum, tetapi tak pernah selebar seperti acap kali senja tandangi langit. Sebab, siang tak se amikal itu pada Yoo Chan. Entah ia benci Yoo Chan atau bagaimana, tapi siang sering lukai Yoo Chan sambil hasut baskara untuk bakar kulitnya. Yoo Chan jadi harus pakai pakaian serba tertutup dan sembunyi sebisa mungkin dari cahaya.

Begini, kalian pernah dengar cerita vampire? Pernah 'kan? Aku juga pernah, sering malah. Kalau di dongeng-dongeng, vampire itu makhluk menggoda penghisap darah yang takut matahari. Aku rasa, Yoo Chan adalah bentuk absolut dari vampire. Yoo Chan itu tidak boleh terkena panas matahari, atau kulitnya akan terbakar.

Aku pernah sekali melihat gadis itu menangis diam-diam saat kelas tambahan. Saat itu, Yoo Chan duduk di bangku ujung dekat jendela. Padahal waktu itu baskara sedang terik-teriknya. Musim panas bulan Mei.

"Channie." Aku ingat pernah panggil ia sambil topang dagu di loteng kamar, pandangi Yoo Chan yang asik teropong medalionnya bergelantungan di langit.

"Iya?" Yoo Chan jawabi panggilanku dengan resamnya yang selalu selembut seorang puteri.

"Apa tidak bosan kau terus pandangi mereka? Kau selalu pandangi bintang-bintang itu seolah mereka akan lari saja," kataku saat itu.

Yoo Chan tersenyum samar, dan dibawah temaram cahaya candra, ia kembali gerakkan labiumnya, "Sesungguhnya mereka tak pernah pergi. Tapi kalau pagi datang, mereka tak akan terlihat 'kan? Lalu apa bedanya dengan mereka berlari pergi?"

Aku berteman dengan Yoo Chan cukup lama, dan aku rasa, aku jadi hafal satu hal---Yoo Chan selalu tentang resamnya yang lemah lembut. Ia jadi periang setiap hari, bahkan kalau kesakitan. Tapi apa kalian pernah dengar, kalau sekalipun seluruh tubuhmu berbohong, ada dua bagian yang tak pernah mau diajak kompromi. Namanya hati, yang selalu jadi perasa, dan kadang buat manusia jadi bodoh. Lantas yang satu lagi, pemilik manik indah seindah jagat raya, matamu. Dan yang aku lihat dari Yoo Chan adalah matanya yang tak pernah sinkron dengan air mukanya. Bahkan sekalipun gadis itu tersenyum, matanya menyendu. Kelopak indah itu tak pernah terlihat indah karena maniknya yang seindah sodalite itu tak pernah terlihat senang.

"Kau benci kalau pagi datang, ya?" Aku teguk segelas cokelat panas yang semula disuguhkan Yoo Chan untukku.

Yoo Chan kini alihkan pandangannya padaku. Disini gelap karena lampu kamar dimatikan, jadi aku hanya bisa lihat sedikit wajah Yoo Chan---meski aku juga tahu, Yoo Chan masih stagnan pada senyumannya. "Tidak juga," katanya saat itu, masih terputus karena aku rasa ia butuh menyiapkan kata yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Aku tidak benci apapun. Kau tahu, Papa dulu selalu bilang kalau tuhan ciptakan semesta ini dengan penuh berkatnya. Dan apa-apa yang lahir dari tangannya pastilah berguna. Seperti pagi yang berikan dedaunan minum dengan undang embun-embun naik pada muka daun, atau siang yang berikan cahaya bagi tanaman agar bisa fotosintesis. Maka kau tahu, tidak ada yang pantas dibenci di dunia ini."

「𝘽𝙇𝙐𝙀 𝙎𝙄𝙇𝙃𝙊𝙐𝙀𝙏𝙏𝙀」° ꜰᴛ. ᴋɪᴍ ʏᴏʜᴀɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang