By Yani Prabakti
Episode: Fenomena Mama-Papa
Teringat saat aku masih remaja, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ya, itu masa-masa paling bahagia bagi remaja yang mulai mengenal rasa.
Usiaku saat itu tiga belas tahun, kelas dua SMP. Anak gadis yang sangatlah polos, tak mengerti pacaran itu seperti apa. Tentunya sangat berbeda dengan jaman sekarang.
Dulu, untuk mengungkap rasa saja malu-malu kucing, jinak-jinak merpati. Apalagi sebagai seorang gadis rasa jual mahalnya tinggi melampaui pagar gedung sekolah.
Perkenalanku dengan cinta pertamaku, yang mungkin juga cinta monyet namun tumbuh hingga menjadi kera baboon itu saat semester awal kelas dua. Sekolah dimix sehingga bertemulah dengan teman-teman baru.
Waktu itu, pemilihan ketua kelas. Salah satunya adalah nama dia, Devi. Dalam bayanganku nama 'Devi' adalah perempuan, tapi nyatanya bukan. Ia sosok cowok tinggi dan cakep bagi netra kaum hawa yang menatap.
Perkenalanku dengannya tak baik, dia membully-ku dengan kata-kata kasar. Semakin sering ia berkata kasar, maka aku semakin berani dan membalas makiannya. Entah darimana sikap dia mulai melunak dan sering mencari perhatian dariku, namun aku masih tak mengerti isyarat darinya.
Taukah kalian? Rasa itu ada namun tak pernah terucap. Hanya terpendam tanpa tersampaikan gelora muda sang gadis remaja. Ya, pada masa itu. Karena norma yang mengikat kita harus mampu mengerem setiap tindakan.
Lalu kini? Masa itu berubah. Anak SD sudah mulai tertarik dengan lawan jenis, hingga panggilan mama-papa. Anak SMP sudah berani melakukan hal-hal yang melampaui batas norma.
Prihatin? Pasti. Lagi-lagi orangtua yang dilanda kegundahan ketika putra-putrinya beranjak remaja. Kekhawatiran demi kekhawatiran memenuhi relung hatinya.
Pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah seakan tak mempan menghadang arus yang menggerus norma. Kekuatan gadget begitu luar biasa, mampu mengubah bocah polos menjadi lepas kontrol.
Kembali ke orang tua, sebagai penanggungjawab arah masa depan sang buah hati. Bagaimana kita mengupayakan yang terbaik untuk menjaga amanah dari Tuhan sebagai bentuk ikhtiar. Memilihkan pendidikan terbaik untuknya dan juga menerapkan pola asuh yang baik tanpa merampas hak dan kebahagiaan mereka.
Semoga kita menjadi orang tua yang mampu menjadi role model bagi putra-putri kita dengan menjaga lisan dan juga perilaku kita. Aamiin ....