Kosong

6 0 0
                                    




Aku adalah sebagian kecil dari kekosongan yang begitu luas dan beranak-pinak. Kekosongan yang ada setelah melalui pelbagai kekacauan dan kesuraman. Telah kutinggalkan kekacauan di belakangku, memasuki dunia yang begitu kosong.

Dan, tidak jauh lebih baik.

Kekacauan mengumpulkan bising-bising; teriakan, bisikan, tangisan, tawa. Telingamu akan berdengung dan rasanya emosimu selalu saja terpompa hingga kau ingin meledak-ledak. Entah itu karena bahagia, kecewa, atau marah. Apa saja. Yang jelas, kekacauan di belakangku selalu menciptakan perasaan serupa.

Namun kini kumasuki dunia yang teramat kosong. Saking kosongnya, sampai dapat kudengar degupan jantungku sendiri. Kekosongan bukanlah hal yang lebih baik dibanding kekacauan. Sebab, emosimu menjadi berantakan. Apakah aku marah, apakah aku kecewa, atau bahkan bahagia, aku tidak mampu merasakannya hingga titik tertentu.

*

Ia mengulurkan tangannya padaku. Senyumnya begitu meyakinkan. Aku sampai lupa kalau seharusnya aku marah-marah di hadapannya. Mencaci-maki dan meninggalkannya dengan rasa puas.

Atau tidak?

Buktinya, kala ia tersenyum ke arahku, amarahku segera meluap. Pun kala tangannya terulur. Aku terlalu gatal untuk menolak uluran tangannya.

"Sebagai permintaan maaf. Sekaligus, sebagai penebusan hal-hal yang selama ini melukaimu."

"Kamu sungguh-sungguh?"

Aku sempat ragu, tentu saja. Ia pernah melukaiku hingga menyisakan luka menganga yang perihnya minta ampun. Namun kali ini, layaknya sang ahli yang akan merawat lukaku, ia menutup secara hati-hati luka itu. Membersihkannya, hingga tertutup dengan rapat.

Satu pun kata yang mengandung unsur janji tak pernah terucap dari mulutnya. Karena aku dan dia sama-sama percaya, bila ada janji maka ada ingkar.

*

Kupijakkan kakiku pada dunia yang serba kosong nan luas ini. Tentu saja, ada yang salah dengan apa yang baru saja kulakukan. Untuk beberapa detik hingga minggu kudiami dunia ini, kekacauan di belakangku masih berdenging tepat di telinga. Memanggil-manggilku dengan berteriak. Kalau saja aku masih berada di dunia yang serba kacau itu, aku mungkin akan marah hingga berteriak pula. Namun, aku sedang berada di dunia yang kosong. Emosiku dipermainkan habis-habisan. Dengan sisa-sisa kekacauan yang masih senantiasa mengisi indera pendengaranku, kuisi sudut-sudut kekosongan tersebut semampuku.

Hingga aku nyaris marah.

Sudut-sudut kekosongan itu tak dapat diisi oleh apapun.

Aku nyaris marah, karena aku tak akan pernah sampai benar-benar marah. Amarahku terlanjur bercampur aduk dengan rasa bahagia akibat kebebasan.

*

Kucium bibirnya sore itu. Kala matahari sudah semakin merunduk dan berganti warna jingga. Sisa-sisa cahayanya masih berhasil menyelinap melalui gorden kamarku. Dan aku tengah mencium bibirnya, diiringi dengan gemuruh dalam dada dan juga derum kendaraan bermotor di luar sana.

Ia malu, aku lebih malu. Hingga kurasakan betapa canggungnya kami sore itu.

"Kenapa kamu cium aku?"

"Aku gak tahan. Kamu sih..."

"Kok jadi salahku?"

Nada bicaranya meninggi. Antara kesal dan juga malu. Entahlah, aku tidak begitu peduli. Karena aku pun punya urusan dengan gemuruh yang tak kunjung reda dalam dadaku.

Setelah itu, aku dan ia sama-sama tak membuka mulut untuk memulai percakapan baru. Karena aku ada janji, ia terpaksa pulang. Sungguh, aku tak mengusirnya. Namun janji dengan tamu penting membuatku dan dia mengakhiri pertemuan kami senja itu.

*

Dalam dunia yang kosong itu, perlahan-lahan dapat kurasakan diriku menjadi normal. Aku kembali bernafas layaknya seorang manusia pada umumnya. Aku tak lagi asing dengan kekosongan yang menyelimutiku dari pagi sampai malam. Kekacauan yang lalu biarlah berlalu. Biarlah kebisingan itu terjebak dalam zonanya sendiri.

Aku telah hidup dalam kekosongan ini. Dunia dengan emosi yang acak-acakan.

*

Kami bercumbu setelah satu minggu tak bertemu. Kala itu, langit sudah berubah menjadi gelap gulita. Tiada bintang, hanya ada bulan seorang diri. Di luar sana, derum kendaraan bermotor kian berisik. Sama berisiknya dengan degupan jantungku (pertanda bahwa aku teramat bahagia).

Sesekali suara lenguhan meluncur dari bibirku ataupun bibirnya.

Sialan. Kami begitu menikmatinya, sampai lupa dengan waktu.

Lagipula, apalah arti suatu waktu kalau hati sedang berbunga? Berhenti atau bergulir rasanya tak akan mengusik kami karena kami terlalu bahagia malam itu.

"Aku sayang kamu."

"Ya, aku juga. Sejak dulu, malah."

Kuberi ia pujian, sehingga nafsu kami kembali membara. Kami bercumbu sampai mengantuk.

*

Setelah kurasakan betapa bahagianya aku berada di dunia kosong ini, lantas ada masa-masa di mana suara-suara asing yang tertahan dalam zonanya sayup-sayup memanggilku. Membisikkan kalimat-kalimat yang membuatku kerap berfikir hingga kepalaku terasa sakit. Sudah terlalu sering muncul penyesalan atas keputusanku memasuki dunia kosong ini, namun aku tidak terlalu menyesal.

Karena aku dapat menjadi aku yang sesungguhnya.

Walau, dunia yang kosong ini adalah dunia terlarang bagi mereka yang terlanjur melekat di dunia penuh kekacauan.

"Kamu akan menyesal."

*

Ia hanya terdiam di tepi ranjang. Alur nafasnya berantakan, karena ia sedang susah-payah menahan tangis. Ia tak melihatku yang sesungguhnya lebih parah. Alur nafasku teramat normal, namun dadaku rasanya hancur lebur.

Kalimatnya belum selesai, dan aku membiarkannya sampai tuntas.

Dalam gelapnya kamar, kami kesulitan memeriksa keadaan satu sama lain. Dan itu lebih baik, karena aku tidak perlu repot-repot menghiburnya. Biarlah aku menenangkan diriku sendiri.

"Aku akan menikah."

"Kapan?"

"Kamu gak perlu tau."

Aku tidak perlu tahu, katanya.

Mulutku belum mengeluarkan satu patah kata. Bahkan masih mengatup. Sebab, kalau aku mulai mengeluarkan kata-kata apapun, akan terdengar bergetar. Akibat marah dan kecewa. Namun apalah yang dapat ku lakukan?

Lantas kuingat kala kami bercumbu. Tubuh kami seolah melekat. Sampai kami melupakan bahwa ada sebuah pembatas yang begitu kokoh di antara aku dan dia.

Kami, adalah ketidakmungkinan yang absolut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tanpa JudulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang