Chapter 5. Alfan

3.9K 426 160
                                    

Alfan memandangi sosok di hadapannya.

Bocah yang kini bukan bocah lagi itu tengah terlelap di atas tempat tidurnya yang serba hitam. Bagas hanya tertidur setelah berkali-kali meminta maaf padanya dengan airmata yang terus mengalir di pipi gembulnya.

Itu sama sekali tidak termasuk ke dalam semua yang telah Alfan rencanakan. Tidak ketika ia melihat airmata itu jatuh mengalir dari mata indah milik Bagas.

Sepertinya Alfan memang telah gagal untuk menepati janji kepada pemimpin keluarga Dirgantara. Janji yang bahkan menyebutkan untuk melindungi dan tidak menyakiti sosok Bagas. Dan sekarang Alfan telah melakukannya.

Ia menghela nafas dalam-dalam.

Alfan mengusap pipi gempal milik Bagas sebelum akhirnya beranjak. Ia melangkah menuju kamar mandi miliknya dan melepas semua pakaiannya di sana. Air dingin dari shower mengguyur tubuh proportionalnya.

Ia berharap bahwa ia bisa segera mengetahui apa yang membuat Bagas terganggu dan bersikap seperti kemarin padanya tapi dengan berakhirnya seperti ini, Alfan hanya berharap bahwa ia bisa memutar ulang waktu. Ia ingin mengulang dimana seharusnya ia meminta Bagas untuk bicara padanya secara baik-baik. Bukan dengan cara Alfan yang mengabaikannya bahkan sampai membuatnya menangis seperti ini.

Alfan hanya tidak bisa menerima ketika Bagas mengabaikannya bahkan bersikap seperti ia tidak telihat. Alfan terbiasa untuk menerima atensi dari seluruh celah di dunia ini dan ketika ia tidak menemukan hal itu dari sosok favoritnya, Alfan hanya merasa sangat terganggu.

Ini terkesan sangat childish dan Alfan merasa bahwa tidak ada gunanya untuk menyesal sekarang.

Diraihnya sebuah handuk bersih dan dililitkannya pada pinggangnya. Alfan keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan basah kuyup. Rambutnya turun dan hampir menutupi kedua mata hitamnya. Tapi tubuhnya terpaku di depan pintu kamar mandi saat matanya menangkap sosok Bagas yang tengah terduduk di atas tempat tidurnya; menatapnya dengan kedua matanya yang memerah dan bengkak.

Alfan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Satu-satunya orang yang telah membuat Bagasnya seperti itu tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang sebelumnya telah menyebutkan akan melindungi sosok itu dengan kemampuannya.

Alfan tidak bisa bertahan lebih lama lagi untuk tetap melihat Bagas dalam keadaan seperti itu. Ia memilih untuk mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju almari besar miliknya. Membuka benda tersebut ketika ia merasakan tatapan Bagas tertuju pada punggungnya. Alfan menghela nafas kasar dan meraih sebuah kaos secara asal dan memakainya ketika ia merasakan sebuah tubrukan pada punggungnya.

Kedua tangan mungil terlihat melingkari pinggangnya dan tentu saja Alfan sudah bisa menebak siapa pemilik tangan-tangan itu.

Ketika tidak ada kata terucap, mereka tetap terdiam pada posisi itu. Alfan sendiri merasa tidak mempunyai ide akan apa yang harus dilakukannya. Tapi pada akhirnya, Alfan tersentak ketika merasakan kaosnya basah di bagian punggungnya.

Alfan mengumpat dan segera membalikkan badannya.

Pemandangan dimana Bagas kembali menangis dengan tatapan takut, sedih dan penuh dengan kesakitan seperti terasa mengurangi udara yang berada di sekitar Alfan. Itu adalah hal yang ingin ia temukan terakhir kali di dunia ini.

Alfan segera membawa Bagas ke dalam pelukannya dengan nafas terengah dan rasa ketidak percayaan yang luar biasa. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa semuanya menjadi seperti ini?

Bagas menangis, lagi. Dan Alfan merasakan bahwa dadanya seperti terhimpit saat mendengar tangisan itu. Ia ingin Bagasnya berhenti menangis. Ia ingin Bagasnya berhenti bersikap seperti ini. Ia ingin Bagasnya berhenti melakukan hal ini padanya.

          

Tapi ketika seberapa besarpun keinginan Alfan untuk melihat Bagas berhenti menangis, pada akhirnya ia tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya bisa mendengarkan bocah itu menangis di dalam pelukannya. Pelukan yang hanya akan ia berikan kepada sosok itu.

Alfan hanya berharap bahwa pelukannya membuat Bagas berhenti menangis; berharap bahwa pelukannya bisa membuat Bagas mengerti tentang perasaannya.

Sampai akhirnya tangisan itu berhenti, Alfan tidak tahu sudah berapa lama mereka berada dalam posisi itu. Alfan tengah duduk di depan almari dengan Bagas yang berada di pangkuan juga pelukannya. Sesekali sosok itu terdengar sesenggukkan, tapi setidaknya Bagas sudah berhenti menangis.

Alfan menghela nafasnya, pelukannya sama sekali tidak merenggang. Ia bahkan semakin merengkuh tubuh milik Bagas. Membaui hidungnya kepada rambut bocah itu yang dipenuhi dengan aroma stroberi.

Ketika melihat pada Bagas, sosok itu tengah menutup matanya. Tangan kanannya meremat erat kaos milik Alfan. Bocah itu pasti lelah karena menangis. Terhitung sudah dua kali Bagas menangis untuk hari ini.

Ayah bocah itu sama sekali tidak akan mengampuninya jika mengetahui hal ini.

Dengan sekali gerakan, Alfan membawa tubuh Bagas ke dalam gendongannya. Ia melangkah menuju tempat tidur dan meletakkan Bagas di sana. Tapi ia mendengus saat Bagas terlihat tidak mau melepaskan pelukannya dengan keadaan kedua matanya tetap menutup. Jadi Alfan masuk ke dalam selimut dan ikut berbaring di samping bocah itu setelah melepas handuk basahnya.

Detik demi detik berlalu dengan keheningan. Alfan masih memeluk sosok Bagas dan ketika ia mengira bahwa bocah itu sudah terlelap, suara milik sosok itu hanya mengagetkannya.

"Bagas nggak mau dianter sama Alfan ke kampus.“

Selain kaget karena mengira Bagas sudah terlelap, apa yang disampaikan bocah itu juga menambah rasa terkejutnya. Kata-kata itu hanya membawa Alfan kembali pada semua yang sudah terjadi dan tentu saja hal itu mulai mengganggunya.

Alfan ingin sekali menyuarakan tentang bagaimana perasaannya ketika di luar dugaan, Bagas bangkit dan bergerak untuk menduduki perutnya. Bocah itu menatap Alfan dengan tatapan terganggu dan tidak nyaman dan... marah?

Alfan tertegun.

"Bagas nggak mau Alfan dateng ke kampus Bagas." Bocah itu menekankan semua kosa katanya dan hanya menambah rasa terkejut Alfan. "Bagas nggak mau Alfan dilihatin sama orang-orang." Tambahnya dan Alfan merasa terkejut dalam tingkatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Bagas nggak suka Alfan ngasih senyum ke orang-orang."

Kali ini suara itu menjadi lebih pelan dan Bagas menundukkan kepalanya. "Bagas nggak suka Alfan dikelilingin cewek-cewek di kampus." Dan suara itu sekarang menjadi cicitan.

"Bagas pikir kalo lebih baik Alfan nggak usah dateng lagi ke kampus jadi Bagas nggak perlu lagi lihat Alfan kayak gitu." Sekarang bocah itu seperti mendumel dan Alfan merasa gemas akan hal itu.

Sampai pada titik ini, Alfan merasa paham. Paham sekali.

Jadi ia mengangkat tangannya untuk meraih kepala Bagas dan begitu wajah bocah itu mendongak, Alfan menikam bibir itu dengan ciumannya; menekan bibirnya dalam-dalam tanpa berniat untuk memberikan sedikitpun kesempatan pada Bagas.

Alfan terus maju hingga ia mengangkat tubuhnya sendiri dan tetap menahan tubuh Bagas untuk berada di pangkuannya tanpa melepas ciuman itu. Ia tidak memedulikan Bagas yang kewalahan karena yang ada di pikirannya saat ini adalah merengkuh sosok itu ke dalam pelukannya.

Ketika Alfan mengubah posisi mereka, ciuman itu terlepas dan pemandangan dimana Bagas menatapnya dengan tatapan sayu pada mata berairnya hanya membuat Alfan bergerak untuk terus maju. Tangan-tangannya bergerak melepas apapun yang berada di tubuh milik Bagas.

When Love Happens Pt. 2 [END]Where stories live. Discover now