Alfan memandangi sosok di hadapannya.
Bocah yang kini bukan bocah lagi itu tengah terlelap di atas tempat tidurnya yang serba hitam. Bagas hanya tertidur setelah berkali-kali meminta maaf padanya dengan airmata yang terus mengalir di pipi gembulnya.
Itu sama sekali tidak termasuk ke dalam semua yang telah Alfan rencanakan. Tidak ketika ia melihat airmata itu jatuh mengalir dari mata indah milik Bagas.
Sepertinya Alfan memang telah gagal untuk menepati janji kepada pemimpin keluarga Dirgantara. Janji yang bahkan menyebutkan untuk melindungi dan tidak menyakiti sosok Bagas. Dan sekarang Alfan telah melakukannya.
Ia menghela nafas dalam-dalam.
Alfan mengusap pipi gempal milik Bagas sebelum akhirnya beranjak. Ia melangkah menuju kamar mandi miliknya dan melepas semua pakaiannya di sana. Air dingin dari shower mengguyur tubuh proportionalnya.
Ia berharap bahwa ia bisa segera mengetahui apa yang membuat Bagas terganggu dan bersikap seperti kemarin padanya tapi dengan berakhirnya seperti ini, Alfan hanya berharap bahwa ia bisa memutar ulang waktu. Ia ingin mengulang dimana seharusnya ia meminta Bagas untuk bicara padanya secara baik-baik. Bukan dengan cara Alfan yang mengabaikannya bahkan sampai membuatnya menangis seperti ini.
Alfan hanya tidak bisa menerima ketika Bagas mengabaikannya bahkan bersikap seperti ia tidak telihat. Alfan terbiasa untuk menerima atensi dari seluruh celah di dunia ini dan ketika ia tidak menemukan hal itu dari sosok favoritnya, Alfan hanya merasa sangat terganggu.
Ini terkesan sangat childish dan Alfan merasa bahwa tidak ada gunanya untuk menyesal sekarang.
Diraihnya sebuah handuk bersih dan dililitkannya pada pinggangnya. Alfan keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan basah kuyup. Rambutnya turun dan hampir menutupi kedua mata hitamnya. Tapi tubuhnya terpaku di depan pintu kamar mandi saat matanya menangkap sosok Bagas yang tengah terduduk di atas tempat tidurnya; menatapnya dengan kedua matanya yang memerah dan bengkak.
Alfan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Satu-satunya orang yang telah membuat Bagasnya seperti itu tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang sebelumnya telah menyebutkan akan melindungi sosok itu dengan kemampuannya.
Alfan tidak bisa bertahan lebih lama lagi untuk tetap melihat Bagas dalam keadaan seperti itu. Ia memilih untuk mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju almari besar miliknya. Membuka benda tersebut ketika ia merasakan tatapan Bagas tertuju pada punggungnya. Alfan menghela nafas kasar dan meraih sebuah kaos secara asal dan memakainya ketika ia merasakan sebuah tubrukan pada punggungnya.
Kedua tangan mungil terlihat melingkari pinggangnya dan tentu saja Alfan sudah bisa menebak siapa pemilik tangan-tangan itu.
Ketika tidak ada kata terucap, mereka tetap terdiam pada posisi itu. Alfan sendiri merasa tidak mempunyai ide akan apa yang harus dilakukannya. Tapi pada akhirnya, Alfan tersentak ketika merasakan kaosnya basah di bagian punggungnya.
Alfan mengumpat dan segera membalikkan badannya.
Pemandangan dimana Bagas kembali menangis dengan tatapan takut, sedih dan penuh dengan kesakitan seperti terasa mengurangi udara yang berada di sekitar Alfan. Itu adalah hal yang ingin ia temukan terakhir kali di dunia ini.
Alfan segera membawa Bagas ke dalam pelukannya dengan nafas terengah dan rasa ketidak percayaan yang luar biasa. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa semuanya menjadi seperti ini?
Bagas menangis, lagi. Dan Alfan merasakan bahwa dadanya seperti terhimpit saat mendengar tangisan itu. Ia ingin Bagasnya berhenti menangis. Ia ingin Bagasnya berhenti bersikap seperti ini. Ia ingin Bagasnya berhenti melakukan hal ini padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Happens Pt. 2 [END]
General FictionCerita tentang Alfan yang memberikan semua moment 'pertama kali' miliknya hanya untuk Bagas dan Bagas yang menerima begitu banyak perasaan dengan level yang tidak pernah ia temui sebelumnya dari seorang Alfan. When Love Happens Pt. 2 © sllymcknn