Part 14

4.7K 316 49
                                    

Setelah makan siang, Dzaki membawaku ke masjid yang ada di dalam pesantren. Kedatangan kami di sambut oleh para santri, mereka mengucapkan salam lalu mencium tangan Dzaki dan juga aku. Walaupun bukan bagian dari keluarga atau pengajar di sini, mereka tetap menghormatiku.

Dzaki menceritakan tentang pesantrennya serta peraturan yang ada di sini. Sistematis dan mendidik. Aku pikir pesantren hanya mendalami ilmu agama saja, ternyata tidak, anak-anak juga belajar pengetahuan umum bahkan punya jadwal khusus bicara menggunakan Bahasa asing seperti Bahasa inggris dan arab. Aku tertegun, jika suatu saat aku punya anak sepertinya pesantren bisa di jadikan tempat untuk mereka bersekolah. Lagi-lagi khayalanku sudah melayang kemana-mana.

Selvia, nama itu kembali teringat. Aku mengambil hp dan mengetik pesan padanya. Bingung harus menulis apa, aku basa basi untuk menanyakan keadaannya. Ini adalah perjuangan untuk menjadi seorang pemimpin dalam keluarga. Terus terang ada kekhawatiran dalam hati, aku takut seseorang merampasnya dariku, dengan cara yang baik ataupun buruk.

'Jaga diri! jaga hati!' sebenarnya ini yang aku tekankan padanya.

Dzaki memperkenalkan para kyai dan ustadz yang bertugas di pesantren. Mereka menyambut baik niatku. Selama di sini, Dzaki akan fokus membimbingku setiap hari, dua puluh empat jam penuh.

Aku tinggal di sebuah rumah kecil yang terdiri dari ruang tamu, kamar tidur dan kamar mandi. Bangunan yang terbuat dari kayu ini begitu menyejukkan ditambah dengan bunga yang menghiasi taman. Aku memasuki kamar, kamar ini dilengkapi ranjang ukuran besar, lemari dan sebuah meja yang terbuat dari kayu jati.

"Kita akan tinggal di sini selama seminggu ke depan," ujar Dzaki.

"Kita? Kamu juga akan tidur di sini bersamaku?"

"Ya, karena aku akan membimbingmu setiap hari, karena kita tidak punya banyak waktu."

"Bagaimana dengan istrimu?"

"Aku sudah ijin dengan Aisya, kamu tenang saja."

Tanpa membuang waktu, Dzaki membawaku ke ruang tamu. Kami duduk bersila dilengkapi meja bundar dan beberapa buku agama di atasnya.

"Sebelum memulai, ada baiknya kamu meluruskan niat terlebih dahulu," ucap Dzaki.

"Maksudnya?"

"Jangan sampai kamu hijrah tujuannya hanya karena gadis itu, tapi karena Allah. Sesungguhnya segala amalan itu tergantung pada niatnya. Jika kamu berniat karena Allah maka akan berbuah pahala, tapi karena mengharapkan seorang wanita, maka hanya itu yang akan kamu peroleh. Berniat pada Allah akan membuat kamu ikhlas dan sabar walaupun apa yang akan menjadi ketetapan-Nya kelak."

Aku menarik nafas, kemudian memejamkan mata sejenak, mengosongkan hati untuk meluruskan niat ternyata tak mudah. Benar kata Dzaki, aku hijrah hanya karena ingin mendapatkan Selvia.

Dzaki membimbingku dengan memberikan tausiah tentang pentingnya sebuah niat dalam beribadah agar berbuah pahala. Ku bulatkan tekad untuk meluruskan tujuan karena Allah. Walaupun Dzaki telah menjelaskan bahwa Allah telah menentukan siapa jodohku semenjak dalam kandungan, tapi tak ada salahnya jika aku tetap berharap gadis itu adalah Selvia.

"Kalau tidak terlalu penting, jangan menghubungi gadis itu dulu, lagi pula dosa berhubungan dengan seorang wanita yang belum halal baik memikirkannya, merinduinya ataupun menghayalkan yang tidak-tidak."

Ya allah, aku baru mengetahuinya, jika hal yang menurutku biasa saja termasuk dosa lalu bagaimana dengan berpegangan tangan? berciuman bahkan sampai pada perbuatan yang sudah sering dilakukan dan dianggap hal biasa oleh pemuda sekarang. Astagfirullah.

Dzaki mengajariku dengan cara yang mudah kumengerti, setiap hal yang aku lakukan dikaitkan dengan tuntutan agama, mulai dari bicara, makan, minum, berpakaian, mandi bahkan sampai pada tidur. Dari sini aku menyakini bahwa islam adalah agama yang sempurna.

KETIKA TAKDIR MENYAPA (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang