Jangan Pergi

221 1 0
                                    

Pagi-pagi buta berlarian kesana kemari mencari bahan ini itu untuk menu sarapan pagi ini. Begitulah ibu. Tidak pernah tidak memasak. Bahkan jika kami berangkat pagi buta pun ibu siap menyiapkan bekal untuk kami bawa selama perjalanan. Pagi itu tidak terlalu sibuk untuk kami. Selagi aku merebahkan tubuhku diatas kasur di depan tv yang menyala. Biasanya acara tv di pagi hari penuh dengan kartun dan animasi. Itu kesukaan kami.

Brem brem ...

Itu suara motor Bapak. Ibu sudah selesai berbelanja. Kami segera menuju kedepan pintu membantu Ibu membawa beberapa kantong plastik yang berisikan aneka ragam buah, sayur dan tentu lauk mentah. Selagi Ibu memasak, kami bersiap-siap untuk mandi karena ini hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang. Bukan apa-apa, tapi rasanya masih ingin berlibur meskipun hanya dirumah tapi semua lengkap dan sehat itu sudah lebih dari cukup. Aku yang tahun ini memasuki kelas 2 SMP, sedangkan adikku baru masuk SD tahun ini. Adikku yang lebih kecil dia masih belum cukup umur karena usianya yang belum genap satu tahun. Kami tiga bersaudara dari Ibu dan Bapak yang sangat luar biasa. Mereka membantu kami memahami lingkungan di sekitar tempat tinggal kami juga memperingati kami akan bahaya lingkungan di luar sana. Mereka pula yang mengajarkan kami pentingnya membaca sejak dini. Maka dari itu, Bapak menyiapakan satu lemari khusus untuk dibuat kan perpustakaan mini. Walaupun isi buku nya tidak terlalu lengkap, tapi itu cukup untuk menambah wawasan kami yang belum tau apa dan bagaimana hidup ini berjalan.

" Ayo sarapan dulu " nada khas Ibu setiap pagi sebelum kami berangkat sekolah. Segera kami menuju ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan sarapan.

Pukul 07.00 kami berangkat dari rumah. Adikku akan diantar Bapak menuju SD nya yang baru sedangkan aku menunggu angkutan umum yang biasanya datang lebih awal. Selama perjalanan aku bisa membayangkan raut wajah adikku yang baru kali pertama memasuki SD, lucu sekali. Seragam yang dia gunakan tadi begitu cocok dikenakan di tubuh mungil nya. Waktu tak terasa secepat ini berlalu. Begitu juga dengan angkot yang ku naikki, tiba-tiba saja sudah sampai di depan gerbang. Padahal aku ingin sekali menikmati udara segar dekat sungai tadi. Kami memang tinggal di sebuah kota yang asri. Tidak banyak polusi dan hiruk pikuk. Kami bersyukur bisa bertempat tinggal disini

Sesampainya di gerbang sekolah aku sedikit terkejut karena sekolah begitu sepi.

"Wah jangan-jangan telat nih" gumamku sembari memperhatikan sekitar seraya berjalan menuju kelas ku yang baru.

"Loh, arasha kamu ngapain disini ?" tiba tiba suara Pak bejo (pembersih kebun sekolah) mengagetkan lamunan ku

"Lah pak bukanya hari ini masuk sekolah ya? Setelah libur kemarin" sautku penuh keheranan

"Ha ha ha bagaimana kamu ini sha. Haduh, ini kan masih libur. Guru-guru sekolah sedang dalam acara penyambutan di Balai Kota"

"Hah? Serius pak? Kenapa Arasha bisa engga tau?"

"Loh sudah diedarkan suratnya melalui Pos kok nak. Apa kamu tidak mendapat suratnya ?"

"Hah ? Enggak Pak. Arasha engga dapat apa-apa dari sekolah "

"Coba di cek lagi. Ini masih libur nak. Kamu semangat sekali berangkat hari ini" jawab Pak Bejo sembari membidikku dengan tatapan miris.

Rasanya aku masih bingung. Ibu tidak memberitahuku tentang surat pos. Setelah berpamitan dan mengucapkan terimakasih, Pak Bejo mengantarku menuju jalan raya untuk menunggu angkutan yang searah dengan rumahku.Selama perjalanan pulang aku masih tidak habis pikir dimana surat itu. Bahkan tidak pernah ada pak pos yang mengantarkan surat ke rumah.

Sesampainya dirumah, lagi-lagi aku dibuat heran. Kenapa pintu rumah terkunci ? Dimana Ibu? Si Mbak ?

Setelah beberapa menit tiba tiba Pakde datang.

"Assalamualaikum Pakde. Ibu sedang tidak dirumah. Daritadi Arasha nunggu Ibu belum dateng"

"Waalaikumsalam nduk. Tadi Pakde ke sekolah mu nduk, kamu pulang naik apa tadi ?"

"Loh, Pakde ke sekolah? Arasha naik angkot Pakde, ternyata sekolah masih libur"

"Ikut Pakde ke Banjarsari yuk. Disana ada adik juga. Si Mbak juga disana dengan si bungsu. Ibu lagi ada urusan sebentar, tadi Ibu meminta Pakde menjemput Arasha " jawab Pakde dengan nada berbeda

Ada apa ini, kenapa Pakde tidak seperti biasanya. Dimana Ibu ?

Setibanya dirumah Pakde. Si Mbak langsung memelukku erat. Raut wajah Si Mbak berbeda. Seperti habis menangis sesenggukan.

" Mbak, bungsu baik-baik aja kan? Kenapa mbak menangis ?" tanya ku sembari memegang kuat tangan Si Mbak

"Baik. Bungsu sedang bermain di taman dengan adik. Arasha, kamu ingat pesan Bapak sama Ibu soal manusia kan ?"

"Iya ingat. Manusia itu diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepadaNya. Dipantau oleh Allah supaya manusia tidak lalai. Dan Dipanggil lagi untuk Allah ketika waktunya sudah habis"

"Pintar sekali. Betul. Sekarang, ingat tidak waktu Ibu dan Bapak berpesan tentang kepunyaan kita di dunia ?"

"Iya ingat. Semua ini milik Allah. Ketika Allah berkehendak, maka akan terjadi "

" Sekali lagi. Ingat tidak waktu Arasha berebut mainan dengan si bungsu ?"

"Iya ingat. Ibu melerai dan meminta Arasha untuk ikhlas karena itu bukan milik Arasha tapi milik Allah juga"

"Masya allah semoga allah limpahkan rahmatNya untukmu nak. Arasha, Bapak -- "

"Bapak kenapa ?" potongku

"Bapak waktunya sudah habis nak" sahut si Mbak dengan tangis

Tangis ku meluap. Berkata satu pun aku tidak sanggup. Bagaimana bisa Bapak. Semalam Bapak masih mengobrol dengan ku. Bapak tertawa. Bapak tidak sakit. Bapak sehat. Kenapa tiba tiba Bapak pergi. Kenapa sekarang. Aku masih butuh Bapak. Kami membutuhkan Bapak. Ibu dimana. Aku ingin memeluk Ibu. Ini semua seperti mimpi.Tangisku kencang begitu kencang. Adik dan si bungsu pun heran dengan ku, tapi biarlah waktu yang menjelaskan kepada mereka. Sekarang aku tidak sanggup berbagi kesedihan ini denganya. Terutama adik yang begitu dekat dengan Bapak.

Si Mbak lalu mengendong si bungsu dan mengajak adik untuk melanjutkan permainanya di taman. Selagi aku mengatur nafas dan tangis ku. Tidak percaya sama sekali. Mungkin itu salah. Mungkin itu bukan Bapak. Pakde yang sedari tadi menahan tanganku yang terus memukul mukul dada pun tegar menahan tangis. Budhe yang sudah sedari tadi menangis juga tak menduga secepat ini.

"Kenapa bisa Bapak ?" tanyaku masih dalam tangis

"Bapak mengalami kecelakaan tadi pagi. Mulanya tidak apa-apa, tapi setelah dibawa ke dokter Bapak tidak sadarkan diri, lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Itulah mengapa tadi Pakde bilang Ibu ada urusan. Ibu mengurus administrasi rumah sakit dibantu Om dan Pakde Anjas. "

"Nduk, Pakde tau ini menyakitkan. Tapi, jawabaanmu tentang pertanyaan Si Mbak tadi sudah mewakili nasehat Pakde kali ini. Allah tau Arasha, Ibu, bungsu dan adik yang bisa dan kuat menjalani cobaan ini. Maka dari itu Allah pengen kasih hadiah ke Arasha. Kepergian Bapak ini akan Allah ganti dengan hal yang lebih besar dan bermanfaat nilainya untuk Arasha. Tapi, Allah belum kasih sekarang. Allah mau lihat dulu keikhlasan dan ketabahan Aarasha. Kalau Aarsha kuat, Allah kasih berlipat lipat hadiah nantinya, tapi kalo Aarasha lemah dan malah membenci Allah, nanti Allah bukanya memberi hadiah tapi musibah lagi. Jadi, sekarang Arasha boleh menangis. Tapi jangan lama-lama. Aarasha harus tetap berdo'a supaya Ibu, arasha, adik dan bungsu kuat menjalani ini. Pakde, Bude, Si Mbak, Om dan Pakde Anjas akan bantu berdo'a untuk Aarasha"

"Tapi, Arasha masih ndak percaya Pakde. Arasha ndak bakal pernah ketemu Bapak lagi. Ndak bakal dipeluk lagi. Ndak bakal diajak jalan-jalan lagi. Ndak bakal dibeliin Bapak buku lagi. Ndak bakal dinasehatin Bapak lagi. Arasha ndak sanggup jalanin ini tanpa Bapak. Siapa yang nglindungin Aarasha kalo temen cowo Aarasha nakal. Siapa yang anter Aarasha kalo telat sekolah. Siapa yang anter Ibu belanja kalau pagi " Tangis ku pecah sejadi-jadinya.

TO BE CONTINUE

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ayah TerimakasihWhere stories live. Discover now