DUA PULUH DELAPAN

514 31 0
                                    

'Sejujurnya ingin kukatakan saja dari hati ini kumencintaimu. Kuharapkan kau mengerti dan percayakan hatimu. Semuanya kini terserah padamu.' – Adera ft. Nadiya Rawil, Dengarkan Hatiku



***


Jakarta, Maret 2019

"KAMU enggak suka aku di sini, ya?"

Suara berat Kian menyusup masuk; memblokir pikiranku untuk terus berkelana. Aku mengerjap mendapati telapak tangan lelaki itu bersarang di pipi kiriku. Hangat. Selalu hangat. Sepasang mataku masih menyesuaikan objek yang ditangkap saat Kian tahu-tahu memusnahkan jarak di antara wajah kami dengan begitu anggunnya. Dia mengecupku. Pelan. Mengalirkan getar samar. Mengantar hawa hangat di sisi-sisi wajahku. Sungguh, Kian tak pernah berubah. Dia dan rasanya masih sama.

Namun, mengapa tiba-tiba—

Aidan!

Wajah sahabatku tahu-tahu muncul di antara kecupan Kian yang semakin mendalam. Sekonyong-konyongnya aku menarik satu langkah mundur. Melepas cengkeramanku di lengan kiri kekasihku. Kian sepertinya sama terkejutnya denganku. Lelaki itu menatapku dengan ekspresi cemas yang menggemaskan. Sayangnya kotak tertawaku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tawaku kering. Jelas-jelas dipaksakan. Aku menggigit bibir, tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Aku pulang aja." Kian mengusap kepala belakangku, lantas berbalik.

Tidak ada kecupan selanjutnya. Tak pula ada salam perpisahan yang biasa dia lepaskan di keningku. Kian berlalu begitu saja. Aku tahu benar dia bersikap seperti itu karena penolakan secara tidak langsung dariku.

"Ki." Aku menangkap sebelah tangan kekasihku sebelum dia sempat menjauh. Kurangkul sisi tubuhnya. Bibirku berbisik pelan, "Maaf."

"It's okay." Kian memutar tubuh ke arahku. Kami berdiri berhadap-hadapan. "Kamu pasti capek. Hari ini teman-teman kamu sudah menyabotase seluruh waktumu. Aku seharusnya tahu diri. Gimana bisa aku malah nambah-nambahin dengan berkunjung sampai selarut ini." Kian tersenyum tipis. "Aku cuma kangen."

Oh, Kian ..., andai aja kamu tahu. Aku juga rindu kamu. "Kita ketemu besok?" Aku menatapnya dengan penuh harap. Mengabaikan gejolak aneh di dasar hatiku.

"Gampang aja. Kalau aku kangen, aku main ke sini, kok. Sekarang kamu istirahat, dan aku pulang. Oke?" Belum sempat aku menjawab, Kian menambahkan, "Enggak perlu antar aku ke bawah. Aku bisa sendiri."

"Oke."

"Oke," Kian mengulang. Kali ini, lelaki itu merundukkan sedikit tubuhnya untuk mengecup dahiku. "Selamat tidur, Sayang," katanya, kemudian meninggalkan balkon, menghilang di anak-anak tangga yang mengantarnya ke lantai bawah.

Samar-samar kudengar Kian berpamitan pada Papa. Rumah ini sudah seperti rumahnya. Kian bebas masuk kapan saja dia mau. Ke mana saja yang dia inginkan, kecuali satu: kamarku. Mama cukup tegas dengan aturan satu itu. Meskipun kedua orangtuaku teramat memercayai lelaki itu, tetap saja tak ada yang ingin mengambil risiko. Siapa yang bisa menjamin dua orang yang tengah dimabuk cinta seperti kami tidak melakukan macam-macam jika hanya ditinggalkan berduaan di ruang tertutup. Meskipun, ya, aku tak juga pernah berpikir macam-macam. Kian pun kurasa demikian. Untuk apa, kami toh hanya perlu menunggu tiga pekan lagi sampai akhirnya kami sah di mata agama dan negara.

Benar, hubunganku dan Kian memang sudah sejauh itu. Kami berpacaran dua tahun terakhir. Sebulan lalu, Kian ke Yogyakarta. Mengunjungiku. Hanya satu malam, tetapi dia berhasil mengguncang duniaku dengan kalimatnya yang memintaku untuk mengizinkannya menjadi teman hidupku di masa-masa mendatang. Aku tak memiliki alasan untuk mengatakan tidak. Aku tahu Kian mencintaiku. Kian pun tahu aku mencintainya. Kami partner yang hebat. Tadinya.

REWINDWhere stories live. Discover now