38. cold

28.7K 6.7K 1.8K
                                    

Entah sebenarnya aku mabuk atau demam karena masuk angin akibat kurang tidur dan semalaman di pinggir sungai. Konyol juga kalau mabuk. Kandungan alkohol pada bir kalengan yang dibawa Renjun kemarin sangat rendah. Tapi aku memang sudah lama berhenti minum alkohol sih.

Perdebatan Jeno dan Renjun yang tadi hanya kudengar sekilas, terbawa sampai ke mimpi. Aku mimpi Jeno sangat marah karena mengira Renjun melakukan yang tidak-tidak padaku. Dia menghajar Renjun, menggigit lehernya sampai koyak. Darah Renjun muncrat ke mana-mana, kepalanya hampir putus, lalu aku bangun dengan nafas terengah-engah.

Untung cuma mimpi.

Aku masih merasa dingin dan panas di saat yang sama. Tapi ini sedikit lebih baik. Sambil mengumpulkan akal sehat aku bisa merasakan keningku ditempeli fever patch. Ini di ruang tengah rumahku. Di sofa yang sering kupakai tidur siang. Selain itu, ada selimut flanel. Dan sepasang lengan kekar merengkuhku ke dadanya yang keras. 

Lee Jeno.

Rasa kesal langsung merayapiku. Aku mendengus, berusaha berkelit dari kekangan Jeno. Tapi nyatanya tubuhku terlalu lemah, dan Jeno sadar aku bergerak-gerak.

"Udah bangun?" tanya Jeno dengan suara agak serak.

Sebelum akal sehatku kalah, aku menggeliat lagi. "Minggir. Aku mau ke kamarku."

"Jangan. Di sini aja. Aku mau ngomong," Jeno menahanku.

"Aku nggak mau. Minggirㅡ"

"Sebentar aja, please."

Aku mendengus. "Lee Jenoㅡ apa kamu sadar kalau ini bisa masuk kategori pelecehan? Lepas, nggak seharusnya kita ada di posisi kayak gini."

"Maaf, aku terpaksa. Soalnya aku tau kamu lagi marah. Kalau nggak kayak gini pasti nanti kamu pergi lagi," ujarnya tenang.

Sejenak aku mengatur napas, bingung harus bagaimana lagi menanggapi orang ini. Dia pikir perasaanku cuma mainan? Dia pikir dunia hanya berpusat pada dirinya? Sudah lama aku tidak sekesal ini. Aku sadar, perasaanku padanya tidak selamanya jadi sumber masalah. Perlakuannya padaku juga menambah kebingungan.

"Ini jam berapa?" tanyaku.

"Jam tiga sore," jawab Jeno.

Oh, bagus. Aku sudah tidur seharian. Di pelukan Lee Jeno pula. Kekesalanku makin menumpuk.

"Kamu bilang apa ke Renjun tadi?" tanyaku lagi.

"Aku bilang jangan sembarangan bawa pacar orang. Terus dia bilang kalau dia udah tau kita cuma pura-pura," ujar Jeno. "Siapa lagi yang tau? Chenle? Kenapa kamu bilang ke mereka?"

"Karena aku nggak suka hidup dalam kebohongan," sindirku.

"Gara-gara Renjun kamu jadi masuk angin," Jeno menangkupkan telapak tangan di keningku.

"Bukan gara-gara dia. Aku yang sengaja nggak mau pulang ke rumah, jadi Renjun sewa tenda dan tetap di situ karena khawatir kalau aku sendirian," tukasku.

"Kenapa? Kenapa nggak mau pulang?"

"Tch- kamu pikir kenapa??" decihku.

Jeno terdiam sesaat, lalu berkata lagi dekat telingaku.

"Maaf. Aku nggak tau harus bilang apa lagi, tapi maaf karena udah egois selama ini. Harusnya aku nggak bahas soal ritual dulu."

"Bukan cuma itu, Lee Jeno," desisku.

"Apa lagi? Ahㅡ soal Renjun. Nanti aku minta maaf ke dia. Kalau dipikir-pikir ini bukan salahnya," ujar Jeno. "Pokoknya aku minta maaf. Buat semuanya. Dari awal aku sering kasar, ketus, kurang ajar, atau keterlaluan. Maaf juga udah bohong dan pernah berniat jahat. Sekarang udah nggak ada rahasia lagi, aku berani sumpah."

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang