Entah sebenarnya aku mabuk atau demam karena masuk angin akibat kurang tidur dan semalaman di pinggir sungai. Konyol juga kalau mabuk. Kandungan alkohol pada bir kalengan yang dibawa Renjun kemarin sangat rendah. Tapi aku memang sudah lama berhenti minum alkohol sih.
Perdebatan Jeno dan Renjun yang tadi hanya kudengar sekilas, terbawa sampai ke mimpi. Aku mimpi Jeno sangat marah karena mengira Renjun melakukan yang tidak-tidak padaku. Dia menghajar Renjun, menggigit lehernya sampai koyak. Darah Renjun muncrat ke mana-mana, kepalanya hampir putus, lalu aku bangun dengan nafas terengah-engah.
Untung cuma mimpi.
Aku masih merasa dingin dan panas di saat yang sama. Tapi ini sedikit lebih baik. Sambil mengumpulkan akal sehat aku bisa merasakan keningku ditempeli fever patch. Ini di ruang tengah rumahku. Di sofa yang sering kupakai tidur siang. Selain itu, ada selimut flanel. Dan sepasang lengan kekar merengkuhku ke dadanya yang keras.
Lee Jeno.
Rasa kesal langsung merayapiku. Aku mendengus, berusaha berkelit dari kekangan Jeno. Tapi nyatanya tubuhku terlalu lemah, dan Jeno sadar aku bergerak-gerak.
"Udah bangun?" tanya Jeno dengan suara agak serak.
Sebelum akal sehatku kalah, aku menggeliat lagi. "Minggir. Aku mau ke kamarku."
"Jangan. Di sini aja. Aku mau ngomong," Jeno menahanku.
"Aku nggak mau. Minggirㅡ"
"Sebentar aja, please."
Aku mendengus. "Lee Jenoㅡ apa kamu sadar kalau ini bisa masuk kategori pelecehan? Lepas, nggak seharusnya kita ada di posisi kayak gini."
"Maaf, aku terpaksa. Soalnya aku tau kamu lagi marah. Kalau nggak kayak gini pasti nanti kamu pergi lagi," ujarnya tenang.
Sejenak aku mengatur napas, bingung harus bagaimana lagi menanggapi orang ini. Dia pikir perasaanku cuma mainan? Dia pikir dunia hanya berpusat pada dirinya? Sudah lama aku tidak sekesal ini. Aku sadar, perasaanku padanya tidak selamanya jadi sumber masalah. Perlakuannya padaku juga menambah kebingungan.
"Ini jam berapa?" tanyaku.
"Jam tiga sore," jawab Jeno.
Oh, bagus. Aku sudah tidur seharian. Di pelukan Lee Jeno pula. Kekesalanku makin menumpuk.
"Kamu bilang apa ke Renjun tadi?" tanyaku lagi.
"Aku bilang jangan sembarangan bawa pacar orang. Terus dia bilang kalau dia udah tau kita cuma pura-pura," ujar Jeno. "Siapa lagi yang tau? Chenle? Kenapa kamu bilang ke mereka?"
"Karena aku nggak suka hidup dalam kebohongan," sindirku.
"Gara-gara Renjun kamu jadi masuk angin," Jeno menangkupkan telapak tangan di keningku.
"Bukan gara-gara dia. Aku yang sengaja nggak mau pulang ke rumah, jadi Renjun sewa tenda dan tetap di situ karena khawatir kalau aku sendirian," tukasku.
"Kenapa? Kenapa nggak mau pulang?"
"Tch- kamu pikir kenapa??" decihku.
Jeno terdiam sesaat, lalu berkata lagi dekat telingaku.
"Maaf. Aku nggak tau harus bilang apa lagi, tapi maaf karena udah egois selama ini. Harusnya aku nggak bahas soal ritual dulu."
"Bukan cuma itu, Lee Jeno," desisku.
"Apa lagi? Ahㅡ soal Renjun. Nanti aku minta maaf ke dia. Kalau dipikir-pikir ini bukan salahnya," ujar Jeno. "Pokoknya aku minta maaf. Buat semuanya. Dari awal aku sering kasar, ketus, kurang ajar, atau keterlaluan. Maaf juga udah bohong dan pernah berniat jahat. Sekarang udah nggak ada rahasia lagi, aku berani sumpah."
Rengkuhan Jeno sudah sedikit mengendur. Dengan pikiran berkecamuk aku memberanikan diri untuk berguling ke belakang, mengubah posisiku supaya menghadap Jeno. Susah payah gerakan itu kulakukan dengan tubuh lemah yang rasanya tulangku retak semua.
Jeno terkesiap. Dia menatapku tanpa berkedip. Sekarang kami berbaring berhadapan. Jarak di antara wajah kami mungkin kurang dari dua puluh senti. Sesuatu di dalam dadaku rasanya ingin berontak, akhirnya keluar dalam bentuk erangan.
"Loh- kenapa? Sebelah mana yang sakit?" Jeno panik.
Kepalaku pening dan pandanganku agak kabur berkunang-kunang. Tapi wajah Jeno yang belakangan selalu berkeliaran di benakku tampak tidak berkurang sedikitpun kesempurnaannya. Rasanya seperti bermimpi dengan mata terbuka, sedekat ini dengan dia.
Tangan lemahku bergerak mencari pergelangan tangan Jeno. Kutarik supaya telapak tangannya untuk diletakkan di tempat jantungku berada. Dia makin bingung.
"Di sini," ujarku. "Ternyata akhirnya aku yang kalah."
Jeno mengernyit. "Hah? Kalah apa?"
"Perjanjian kita di awal. Jangan ada yang jatuh cinta."
"A-apa? Lee Sharonㅡ jangan bilangㅡ"
Sebulir air meleleh dari kelopak mataku, rasanya panas dan membuat kepalaku makin pening.
"Kenapa kamu selalu punya dua sisi yang berbeda?" tanyaku. "Kadang arogan, kadang lembut. Kadang hangat, kadang dingin. Kadang jujur, kadang bohong. Mau kamu apa?"
"Aku... aku cuma..." gagap Jeno.
"Cuma apa? Dari awal emang aku setuju apa pun rencana kamu. Tapi apa kamu pikir perasaanku cuma mainan? Aku nggak tau tujuan kamu apa, tapi lama-lama ini semua keterlaluan. Kita cuma pura-pura, harusnya kamu sadar itu."
Jeno jelas terkejut karena tiba-tiba aku mengatakan semua itu. Dalam hati sebenarnya aku juga heran pada keberanian yang entah datang dari mana. Ini semua pasti karena aku sudah lelah hidup seperti pengecut yang harus sembuyi dari perasaanku sendiri.
"Aku tau, yang kamu suka cuma Jinsoo, kan? Nggak mungkin kamu rela kesakitan berkali-kali kalau bukan demi dia. Harusnya kamu fokus ke tujuan itu, bukannya main-main sama perasaan orang lain."
"Ronㅡ aku nggak pernah bermaksudㅡ"
"Jadi aku yang salah?" potongku. "Ya, emang salahku sih. Di awal kita udah punya perjanjian. Kita cuma pura-pura. Tapi bisa nggak kamu jaga sikap sedikit? Jangan bertingkah seolah-olah kamu pacarku tanpa tambahan kata pura-pura."
Mata Jeno menatapku nanar. Dia mengeratkan rahang. Sulit dibaca antara merasa bersalah atau ingin membela diri. Mukaku sudah agak basah oleh air mata. Jari-jari Jeno bergerak menyentuh pipiku.
"Ron, aku nggak tau kalau ternyata kamuㅡ" kalimat Jeno menggantung. "Aku cuma berusaha kita bisa akrab, dan kamu bisa hidup lebih baik. Ternyata caraku salah..."
"Ya. Kesalahannya fatal," ujarku parau. "Sekarang aku kalah. Selamat, Lee Jeno."
Jeno menggeleng. "Ssst... jangan bilang gitu. Aku nggak menganggap taruhan atau perjanjian itu serius."
"Hidupmu emang kayaknya selalu main-main ya," decihku.
"Aku nggak keberatan kamu mau bilang apa pun, tapi sebaiknya jangan marah-marah dulu sekarang, nanti kamu makin sakit," ucap Jeno lembut sambil menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahku.
"Makin sakit kamu bilang?" aku tertawa sarkas. "Apa rasanya bisa lebih sakit dari sekarang? Aku udah bertahan terlalu lama."
"M-maaf..." ucap Jeno lirih.
Tatapannya meredup, dia tampak merasa serba salah. Tapi memangnya hanya dia? Aku juga. Sangat.
Tanganku bergerak menyentuh sisi wajahnya yang sempurna. Lagi-lagi Jeno hanya bisa menatapku dengan entah apa yang ada di dalam pikirannya. Dia sepertinya sudah pasrah menerima semua luapan kekesalanku.
"Aku bahkan udah lupa kapan terakhir jatuh cinta..." gumamku.
"Maaf... aku cuma bisa minta maaf..."
Aku perlahan menggeser kepalaku makin dekat dengan Jeno. Telapak tanganku masih di tulang pipi dan rahangnya, merasakan permukaan kulit setengah vampir yang halus dan dingin. Jeno bergeming, tidak menghindar walaupun aku makin mempersempit jarak. Tetap bergeming saat akhirnya bibirku menyentuh permukaan bibirnya.
Dia sudah tahu, jadi aku tidak akan sembunyi lagi.
Kurasa demamku memburuk lagi. Ngilu menjalar ke seluruh tubuhku. Tapi setidaknya beban di dadaku seakan sudah menguap semua. Sekarang ringan, tidak ada yang disembunyikan. Aku merasa sangat lega, tapi di saat yang sama sadar;
perasaanku tetap bertepuk sebelah tangan.
ㅡtbc
To burn with love but keep quiet about that feeling, is indeed the the most painful punishment we can bring on ourselves.