Nomor Tiga

2.7K 609 55
                                    

Masih di beberapa tahun lalu.

Revel tidak menyangka, keputusannya mengiyakan permintaan Joy bisa berdampak besar pada hari-hari berikutnya. Yang awalnya monokrom, berubah lebih berwarna. Yang tadinya datar, lama-lama mengasyikan juga.

Joy bukan saja satu-satunya teman yang berani mendekat duluan. Sikapnya pun membuat Revel nyaman. Gadis itu mengajak Revel agar lebih terbuka pada sekitar. Jangan cuma belajar. Joy juga mengenalkan Revel pada teman-teman nongkrongnya yang didominasi anak basket (Joy merupakan manager eskul basket di sekolah). Sehingga lama-lama, jumlah orang yang dikenal Revel semakin bertambah.

"Re, bulan depan anak-anak pada mau ke pantai. Ikut, ya?" bisik Joy.

Sore itu keduanya tengah belajar di perpustakaan. Well, pertemanan selalu menciptakan akulturasi. Revel yang biasanya hanya belajar, kini bisa merasakan nongkrong. Pun dengan Joy. Ia yang tidak pernah mengenal perpustakaan, mau tidak mau harus menginjakkan kaki di sana karena Revel.

"Nggak bisa."

"Kenapa?"

"Oma sendirian."

Joy tampak kecewa tapi ia memaklumi. Ah, gadis ini memang baik. Tidak pernah memaksa, tidak pernah menyudutkan. Berbeda dengan teman lainnya. Mereka terus membujuk Revel kendati cowok itu sudah menolak.

"Elah, kenapa, sih? Nggak seru lo!" sahut Jimmy. Revel kurang suka dengan cowok ini. Selain kelihatannya menaruh hati pada Joy, ia pun sering merendahkan orang dengan omongannya. "Ayolah, Pel. Kapan lagi coba?"

Meski Jimmy membujuk sebegitu gigih, Revel tahu sebenarnya ia tidak begitu ingin Revel ikut. Alasannya apa lagi kalau bukan ingin berduaan dengan Joy tanpa pengganggu. Kimbe!

"Ada janji," jawab Revel pendek.

Hanya pada Joy, Revel mengatakan alasan sesungguhnya. Di depan teman-teman, ia sedikit malu. Takut dijadikan sasaran lelucon; anak Oma, cucu kesayangan Oma, dan lain-lain.

"Jangan-jangan lo nggak bisa renang, Pel."

"Memang."

Jimmy tertawa. "Serius lo nggak bisa renang? Anjing saja bisa."

Revel melihat yang lain ikut tertawa. Hanya Joy yang tidak. Dan Revel sedikit terhibur mendapati kenyataan itu. Hatinya merasa lega ketika gadis itu diam saja terhadap guyonan Jimmy.

"Lo bisa renang, Jim?" tanya Joy setelah tawa-tawa itu mereda.

"Bisa, dong."

"Berarti lo nggak ada bedanya sama anjing."

Tawa orang-orang kembali membuncah. Kali ini lebih keras dari lelucon Jimmy. Revel tersenyum singkat ke arah Joy. Untuk kesekian kali, gadis ini membuatnya takjub.

Sekaligus takut.

Iya, Revel memang takut. Was-was hatinya lancang bersinggah. Ia cukup sadar. Siapa dirinya, siapa Joy.

Sebagai cewek supel nan menyenangkan, Joy menjadi incaran banyak cowok. Setiap kali mereka berjalan, mustahil Joy tidak disapa. Bahkan bukan hanya itu. Berulang kali Revel menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa orang menyatakan perasaan langsung.

Siapa yang tidak suka Joy? Cantik, supel, sopan, kaya, populer, aktif berorganisasi. Apa lagi yang kurang?

"Re, kok, gue bego banget, ya? Nggak ngerti-ngerti sama pelajaran hitungan."

Mungkin inilah kekurangan Joy. Tidak jago pelajaran yang berhubungan dengan banyak angka.

Tapi, keterbatasan dalam bidang akademik tidak bisa dikategorikan sebagai kekurangan. Jadi, ini jelas bukan kekurangan.

Aku dan Sang Pemusnah MasalWo Geschichten leben. Entdecke jetzt