6. Semesta Jampu Salo

8 0 0
                                    

Kamis sore, kami berlarian menuju sungai. Aku menggandeng tangan Qassam, Oncong memompong adiknya Aco' yang kaki kirinya masih berbalut perban, ia menginjak beling dua hari yang lalu. Hasan berlomba lari dengan Husen, saudara kembar itu saling mendahului untuk sampai di tujuan. Kami sudah janjian untuk bermain petak umpet di sungai nanti. Tapi sebelumnya, kami akan mampir di kebun Petta Bate yang dijagai oleh bapaknya Baha', jampu salo -orang kota menyebutnya jambu bandar atau jambu kemang- yang tumbuh di sudut kebun itu sudah siap dipanen.

Kami tiba saat Baha' sudah nangkring di salah satu dahan sambil menikmati buah jambu yang ranum. Ife' duduk mencakung di bawah, memeluk sarung. Melihat kami datang, ia langsung berdiri.
"Ayo, bantu saya memegang ujungnya." Kami lalu membentangkan sarung, keempat sisinya dipegang olehku, Ife', Husen dan Oncong.
"Sarung sudah siap!" Teriak Ife'.
"Oke, tangkap yaaa...!" Teriak Baha, tangan kirinya merangkul di dahan, rangan kanannya melemparkan buah jambu yang telah dipetiknya ke arah bentangan sarung. Satu, dua, empat, enam, sepuluh. Lemparan Baha' bertubi-tubi.
"Tahan, kami turunkan dulu yang ini!" Teriakku.

Buah-buah jambu yang tertampung di sarung, kami turunkan pelan di pangkal pohon jambu. Qassam, Hasan, dan Aco mendekat.
"Saya coba ya, siapa tahu tidak enak!" Teriak Qassam.
"Ah, bilang saja kalau sudah tak tahan ingin mencicipi." Tanggap Ife'. Kami semua terkekeh sambil kembali membentangkan sarung  Qassam lalu memilih jambu yang ingin diicipnya, disusul Hasan.
"Wah, harumnya. Manis pula." Qassam berkomentar pintas, setelahnya dia sibuk menggigiti buah jambu pilihannya.
"Iya, manisnya. Tak ada kecutnya sama sekali." Timpal Hasan.

"Cukup untuk hari ini ya, kayaknya yang ranum juga sudah saya petik semua." Seru Baha' dari atas, tanpa menunggu persetujuan kami, dia sudah bergerak turun, lincah seperti pemanjat profesional.
"Sudah ada tiga puluhan ini." Seruku sambil menunjuk tumpukan jambu.
"Ayo, kita bungkus dengan sarung, nanti kita nikmati sambil berendam." Ife' kembali menghamparkan sarung lalu menaikkan buah jampu salo. Setelahnya, kami bergerak menuju sungai sambil menggigit jambu dan bersenandung riang.
Kapala daera
Duduk di kadera
Makang gula mera
Tabbera'-bera'

Setiba di pinggir sungai, aku mengeluarkan bungkusan gammi ladang, tumbukan cabe rawit dengan garam.
"Nah, ini baru seru." Hasan langsung menekan-nekan jambunya di gammi ladang baru dia gigit.
"Wuih, pedasnya." Bibirnya bergertar.
"Iya kah? Sini aku coba." Ife' ikut mencoba gammi ladang yang kubawa.
"Brrrrr.... Ini baru lombok." Komentar Ife'
Saat tubuh kami menghangat karena pedasnya gammi ladang, kami berlomba melepas baju lalu berlarian untuk menceburkan diri ke sungai. Begitu kuyup, kami kembali ke bantaran sungai menikmati jampu salo dan gammi ladang. Bila kepanasan, kembali kami berendam. Begitu seterusnya hingga magrib menjelang dan kami berlari pulang.

*     *     *

Sebulan sebelumnya, saat jampu salo Petta Bate baru mengeluarkan bakal buah, benda mungil warna merah berbentuk corong dengan jambul-jambul halus warna senada, kami berkerumun di bawah pohonnya.
"Kau, Hasan, Ife' dan Aco', satu tim. Saya, Qassam, Pandu, dan Oncong juga satu tim." Ujar Husen padaku.
"Terus, Baha' tidak ikut bermain?" Tanyaku.
"Saya akan menyiapkan peluru, hehehe..." Jawab Baha'.
Kami akan bermain perang-perang dengan menggunakan ballili', semacam senapan dari bambu yang menggunakan bakal buah jampu salo sebagai peluru. Sebagai anak yang paling besar di antara kami, Baha' tidak ikut bermain, dia hanya bertugas menyiapkan ballili' dan pelurunya sekaligus.

Ballili' terbuat dari ranting bambu berukuran sedang. Kami memilih ranting yang lurus dengan panjang sekira empat atau lima jengkal setiap ruas. Ranting itu dipotong tepat di bawah buku, lalu tiap potongan itu dipotong lagi sekira lima atau enam jadi diatas buku. Potongan pendek akan menjadi pegangan atau gagang, sementara yang panjang akan menjadi badan atau bagian utama ballili'. Pada potongan yang lebih pendek dan ada bukunya, dimasukkan semacam lidi dari bilah bambu yang telah diraut bulat, sebagai palloco', pendorong peluru. Panjang palloco' disesuaikan dengan panjang badan ballili'.

Cerita Dari PakkasaloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang