Kupanggil Bapak/Gus/Kang/Mas Udin?

663 2 0
                                    


Salah satu kata adalah rasa, salah satu rasa adalah cinta, salah satu cinta, adalah kamu, Pak. Salah satu kata adalah tulus, salah satu tulus adalah hati, satu hatiku adalah untukmu, Gus. Salah satu kata adalah bahagia, salah satu bahagia adalah bisa tersenyum, salah satu senyumku adalah untukmu, Kang. Salah satu kata adalah sedih, salah satu sedih adalah air mata, salah satu air mataku adalah untuku, Mas. Itulah yang kurasakan ketika kau kembali dari masa laluku. Kau datang bagaikan badai, tapi sempat juga kau sejinak semilir angin di pegunungan.

Aku ingat dulu aku pernah bercakap denganmu. Bercakap tentang sesuatu yang sudah kulupa isinya, yang kuingat hanya momennya saja. Payah, sungguh payah ingatanku. Sejak kau kembali dari masa lalu, saat itu pula rasanya, kita baru pertama kali bertemu, tetapi pertemuan itu bercampur kebimbangan, kebekuan, dan keraguan yang muncul di sana sini.

Seperti ketika aku ingin bicara denganmu, mendadak aku jadi bisu dan diam. Hanya kau yang buat aku jadi bisu, pendiam, introvert, bahkan jadi pujangga gak jelas yang syair-syairnya berhamburan dari makna aslinya. Apa yang membuatku jadi pendiam bukanlah karena aku tak punya bahan pembicaraan atau karena aku tak berani bicara denganmu, alasannya adalah karena aku bingung bagaimana aku harus menyapamu. Kata sapaan bagiku dapat menunjukkan posisi seseorang dalam hubungan yang kita jalin atau dalam kehidupan masyarakat kita. Tapi kali ini, aku dihadapkan dengan seseorang yang bisa kusapa dengan beragam sapaan, karena hubungan kita dari masa lalu hingga sekarang pun beragam.

Pertama bertemu denganmu, di masa lalu, aku memanggilmu Mas. Sapaan itu begitu melekat dalam ingatanku dan kubawa hingga dewasa. Meskipun sudah beberapa kali kuarungi lautan maupun kudaki gunung, sapaan itu tak lepas dari ingatanku.

Kuingat saat itu kau sedang mengikuti kompetisi menyanyi dan aku sebagai pemain piano yang mengiringimu. Waktu itu, melodi-melodi yang kumainkan berpadu dengan indahnya suaramu. Aku sampai jatuh cinta pada suaramu. Untuk pertama kali, kau jadi perhatianku.

Kau pun memenangkan kompetisi itu. Ketika jalan pulang, kau bercerita tentang dirimu yang gugup dan merasa melakukan kesalahan. Tapi menurutku, kau sempurna. Suara indahmu mampu menyentuh bahkan sampai palung hati yang si empunya sendiri tak bisa menyentuhnya.

Lalu suatu ketika, aku pernah memanggilmu Kang. Sapaan itu kugunakan ketika kita satu pondok di perantauan kita, Surabaya. Kita sering bertemu, bukan berarti kita dekat. Mungkin jika mata kita tak kebetulan bertatap, kita tak bertegur sapa.

Kau aktif dalam pergerakan, sementara aku masih setia dengan pianoku. Kau tak lagi mengeluarkan suara indahmu di depan banyak orang, apalagi untuk mengikuti kompetisi. Jujur, aku sangat rindu suaramu itu. Tapi aku juga bersyukur, karena tidak banyak orang yang mengetahui suara indahmu yang merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan padamu, selain kebaikan dan kelembutan akhlakmu, yang membuat para santri kagum padamu.

Di pondok itu, banyak santri putri yang menanyakan padaku tentangmu, tapi aku menjawab aku tak begitu mengenalmu, aku hanya tahu namamu, bukan sifatmu atau hal lain, hanya namamu.

Lalu dari masa lalu, kau datang lagi pada masa sekarang, saat aku tak pernah berpikir untuk bisa bertemu denganmu lagi. Kau datang bagaikan angin di gurun pasir, bagaikan semilir di pantai kelapa, bagaikan gemericik hujan yang pertama jatuh setelah kemarau panjang.

Saat itu, aku ingin memanggilmu Gus. Sapaan itu berlaku karena kau sekarang adalah Gus alias putra dari Kiai yang punya pondok pesantren tempatku bekerja. Aku bekerja sebagai penjaga perpustakaan pondok itu. Kau telah kembali dari perantauanmu lalu mengabdi di pondok pesantrenmu sendiri. Aku terkejut sekaligus bahagia karena kau kembali dan berada di tempat yang sama dengan pekerjaanku. Aku akan kembali mendengar suara indahmu, dan asal kau tahu, aku masih bermain piano dan siap kapan saja mengirimu bernyanyi maupun bersholawat.

Kau tak mengetahui namaku, tapi wajahku mungkin kau merasa pernah melihatnya. Saat itu, kau tak menyapaku, tapi kita saling bicara. Di antara kita seolah terbangun lagi hubungan yang lama mati suri, suatu hubungan yang tak bisa dinamai.

Lalu suatu ketika, aku memanggilmu Bapak. Sapaan itu keluar dari mulutku karena posisi pekerjaanku. Kau adalah atasanku di perpustakaan itu, kau adalah kepala perpustakaan. Orang-orang menggiring alam bawah sadarku untuk menyapamu dengan sapaan Bapak sebagai bagian dari profesionalisme dalam pekerjaan. Aku pun mencoba membiasakan sapaan itu.

Sejak itu aku bingung bagaimana aku akan menyapamu jika kita bertemu hanya berdua saja, apakah aku harus memanggilmu Bapak, Gus, Kang, atau Mas Udin saja? Kau membuatku jadi pendiam karena tak mampu menentukan pilihan dengan cepat mengenai sapaanmu, dan kau pun selalu cepat berlalu.

Kau tak tahu betapa kerinduan ini tengah dibendung oleh bendungan yang bernama sapaan. Curahan rindu ini tak bisa mengalir deras ke sanubarimu karena terbendung sapaan itu. Andai tiba-tiba kau izinkan aku untuk memanggilmu dengan sapaan Mas, meskipun hanya ketika berdua saja, pasti rindu ini bisa tersampaikan dan aku bisa dengan lancar bicara denganmu. 

Kupanggil Bapak/Gus/Kang/Mas Udin?Where stories live. Discover now