Baru saja Leon menempatkan motornya di antara mobil mama dan kakaknya di garasi, suara tipis namun nyaring yang khas tiap hari dia dengar, sudah menyambut dari dalam rumah. Mamanya menghampirinya seolah sedang mendapatkan paket skincare Korea yang sering dipesan.
"Leon ... Bagaimana sayang, suka sekolah barumu?" sambil mencoba menarik leher Leon agar bisa mengecup pipinya.
"Apaan sih ma!" Namun ditepisnya percobaan kecupan itu.
"Ih ... mama kan khawatir kamu bisa beradaptasi di sekolah apa tidak. Apa kamu sudah dapat teman di sana sayang? Apa kamu ada kesulitan pelajaran? Apa kamu kesulitan ya nak?" bombardir pertanyaan khas wanita yang sering membuat pria ogah.
Sambil membanting tasnya di atas kursi tamu, "Emang papa waktu kenal mama nggak ada rasa risih gitu?"
"Maksud kamu sayang?"
"Semua cewek di sekolah itu gila semua. Baru masuk satu hari sudah ada aja yang neror dengan surat di meja." jelas Leon.
"Terror apa sayang apa kamu dibully ya? Wah sudah nggak bener ini nanti mama telfon om Ferdy ya buat urus ini semua."
Sembari menunjukkan surat yang diambil dari saku seragamnya. Kertas yang dilipat empat kali dan berwarna pink itu telah ditangan mamanya. Leon berjalan ke dapur yang tak jauh dari ruang tamu dan mulai mengacak-acak kulkas mencari cola minuman kesukaanya.
"Aduh sayangku, cintaku, negeriku ... Ardeleon Wiranata. Kamu memang anak mama paling ganteng. Baru satu hari aja sudah ada yang nganterin surat cinta. Wah wah ... pasti kamu akan jadi populer di sana sayang."
Tanpa mempedulikan ocehan wanita 41 tahun yang sering dipanggil mama Lita itu, Leon masih belum bisa menemukan minumannya. Merasa menyerah tak kunjung berjumpa dengan sang cola, Leon memilih berlari ke lantai atas menuju kamarnya. Meninggalkan mama muda penggandrung sinetron India itu ngoceh sendirian.
Di lorong menuju kamarnya, kakaknya menyapa, "Udah pulang lo? Kok aku nggak denger?"
Mata Leon hanya melirik cowok keren 19 tahun, anak kedokteran UI yang nggak kalah ganteng dan jenius dari Leon. Ia putar handle pintu kamarnya dan melesat jauh memasuki kamar. Ruangan 6 X 7 meter yang di sebelah utaranya dilengkapi jendela tempat mengintip mbak Dina saat masuk dan ke luar rumah. Tempat ini menjadi satu-satunya tempat yang paling mengerti Leon. Hanya ada satu lemari kayu besar tempat baju dan koleksi sepatunya, serta satu rak kecil dengan sedikit buku yang sungguh tak singkron dengan predikat Leon sebagai anak jenius.
Leon segera membenamkan wajahnya pada bantal ber-cover bendera Inggris. Tanpa membuka kaos kakinya, ia mencoba memutar memori di sekolah lamanya. Yang pasti dipenuhi anak-anak pinter dan tidak sesemrawut sekolah barunya itu. Ia masih sedikit shock dengan zona yang baru ia masuki.
Leon tidak mau terlalu menyesali keputusannya pindah sekolah. Yang jelas kejadian di sekolah lamanya tidak akan pernah mau ia ulangi. Just FYI, Leon pindah sekolah gara-gara ia dituduh punya hubungan denga guru BK nya yang memang masih muda dan baru menikah.
Predikatnya sebagai cowok penyuka tante-tante gencar bak gosip receh dimulut mak-mak komplek. Mungkin benar, karena track record-nya jajaran mantan Leon adalah wanita-wanita yang lebih tua. Ada Jessie (26 th) pemilik 16 boutique terkenal di Indonesia, Anita (27 th) seorang agen asuransi bank dan yang paling parah Fenita (29 th) seorang eksekutif muda yang dulu pernah menjadi guru lesnya waktu masih SD.
Perjalanan hidupnya bak drama korea memang, namun Leon adalah anak yang apa adanya. Ia tak pernah mau menyembunyikan dan bersandiwara apapun apalagi hal percintaan.
Leon Cenderung ceplas ceplos khas gaya lelaki cuek. Hal itu yang malah membuat kaum hawa terkintil-kintil dengannya. Apalagi ia dianugerahi suara berat yang mampu menghipnotis telinga-telinga cewek kehausan asmara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDELEON
Teen FictionMasa SMA mungkin tak sepolos masa SD atau semulus masa SMP. Namun kerumitan masa SMA menjadi sebuah cerita yang sukar dilupa. Kisah-kisah yang terbangun kadang menjadi semburat indah dalam hidup atau bahkan sebaliknya. Keinginan untuk tertawa, mena...