Satu minggu berlangsung dengan cepat. Jennifer tak kunjung membaik. Meski sempat sadar di hari pertama, kian hari kondisinya memburuk hingga di hari Selasa, tepat seminggu ia menginap di rumah sakit, Dokter menyatakan nyawanya sudah tak mampu ditolong lagi.
Kabar itu tentu membuat Michael sedih, ia kalap, tak bisa menerima kepergian Jennifer begitu saja. Di lorong rumah sakit, ia hampir mengamuk, namun beberapa orang yang dekat di sana membantu menenangkan dirinya.
Acara pemakanan pun begitu dramatis. Semua orang berkumpul untuk menyaksikan kepergian terakhir kalinya. Michael, Alan Smith, Jonathan, dan beberapa koleganya memadati seluruh penjuru kuburan. Derai air mata tak bisa mereka hentikan, kehilangan sosok orang yang tercinta.
Jonathan bersikap dewasa, sekali pun ia bersedih namun berusaha tegar. Ia mendekatkan tubuhnya ke Michael kemudian berbisik, “Sudahlah, biarkan Jennifer pergi dengan tenang.”
“Biarkan aku di sini, Jo! Kau tidak tahu bagaimana kesedihanku sekarang. Pergilah!”
“Terserah kau saja. Aku hanya berpesan, jangan terlalu lama menangisi orang yang telah tiada. Kita harus bangkit, ingat kembali tentang tujuan hidup.”
Michael tertegun dari isak tangisnya. Perkataan Jonathan seolah menunjukkan diri Michael yang hilang. Ia berdiri, mengusap batu nisan, kemudian meletakkan bunga. “Terima kasih dan selamat jalan, Jennifer ... aku mencintaimu.”
Michael membalikkan badan, dia mengikuti Jonathan dari belakang dengan langkah gontai. Perasaannya masih tertinggal di samping batu nisan bersamaan saat dirinya meletakkan bunga. Sesekali wajahnya menoleh ke arah peristirahatan Jennifer.
Belum sampai di halaman parkir, telepon berbunyi dering dari saku celana. Michael spontan mengambil ponsel dan menerima panggilan tersebut.
“Baiklah, Bos.” Michael singkat lalu menutup panggilannya.
“Dari siapa, Mic?” Jonathan menunggu sedari tadi depan. Ia mendengar sedikit tentang perkataan Michael kepada seseorang di telepon tadi.
Michael tersenyum kecut. “Biasa, Jo. Telepon dari kantor.”
“Kau bisa pulang sendiri, kan?” tanya Jonathan memastikan. “Soalnya aku akan main sebentar ke rumah temanku.”
“Tentu,” jawab Michael berpura-pura tegar.
Satu jam kemudian Michael masuk ke kantor direksi. Ia berjalan melintasi ruangan, menyapa pekerja dan editor, dan berusaha keras menyembunyikan rasa sedih setelah kematian Jennifer. Kemudian pandangannya tertuju pada seorang yang duduk di satu ruangan. Ia membuka pintunya. “Anda panggil saya, Bos?”
“Ya ... silakan duduk dan ceritakan bagaimana kabarmu? Sudah lama kau tidak ada kabar. Bagaimana dengan misimu?” cerca penanggung jawab direksi New York Times.
“Terima kasih.” Michael menarik napas kuat-kuat, membuangnya perlahan bersama rasa sedih yang menderanya. “Aku sudah dapat semua informasi yang Anda inginkan. Tetapi saya butuh waktu dua hari untuk menulis laporannya.”
“Bisa ....” Dia mengangguk pelan. Sebuah pulpen yang ia pegang menahan dagunya. “Tapi jangan melewati batas. Aku tidak mau ada alasan lagi hingga akhir bulan ini.”
“Baiklah, secepatnya akan kuurus.” Michael berdiri, ia membalikkan badannya lalu berjalan keluar dari ruangan penanggung jawab direksi.
***
Majalah berita mingguan New York Times edisi Senin telah terbit. Salah satu majalahnya telah sampai dan dibaca oleh Staf Kepresidenan di gedung putih Amerika Serikat. Kemudian ia mengabarkan kepada Mc. Hayden tentang kabar dirinya di majalah.
Mc. Hayden yang tengah menikmati secangkir kopi tiba-tiba tersedak saat namanya disebutkan dalam majalah tersebut. Ia amat geram dengan ulah jurnalis bau kencur, Michael. Pasalnya berita itu memuat tentang bisnis gelap yang menyebut dirinya adalah dalang di atas mafia lainnya.
‘Praktik cuci uang ini telah berangsur sejak lama. Mereka menggunakan isu pelacur sebagai pelumas yang mengalirkan uang dari satu orang ke orang lainnya. Selain pelacur, bisnis bangunan megah yang tak kunjung rampung juga menjadi faktor utama. Bisa kita lihat bangunan-bangunan pinggir Amerika yang tak bertuan.
Siapa dibalik dalang ini semua?
Seperti diketahui sebelumnya Polisi merazia pelacur murahan di setiap jalan New York hingga Los Angeles. Mereka menarik pelacur yang tak berguna, tetapi membiarkan pelacur kalangan atas seperti Jennifer, dan Sabrina yang bertempat di Panama City Beach.
Mr. K adalah sebuah singkatan yang berarti Tuan Raja. Tuan Raja di sini adalah ‘Daniel’, anak pertama dari seorang Presiden Amerika Serikat, Mc. Hayden.
Alan Smith dan beberapa kacungnya diberi uang hasil korupsi. Mereka memakai pelacur dan memberikannya sejumlah uang untuk pelacur. Uang si pelacur ini juga akan diperas oleh Anna, anak kedua dari Presiden.
Tidak sulit untuk mengungkap siapa di balik dalang praktik cuci uang ini. Yaitu orang-orang yang berkuasa sekarang.
Aku mendalami kasus ini sejak lama, hingga akhirnya Jennifer —salah satu korban praktik cuci uang— meninggal dan memberitahukan semuanya kepadaku.
—Michael’
“Perintahkan untuk mencari anak ini. Hidup atau mati!” perintah Mc. Hayden dengan geram.
“Siap, Pak.” Staf Presiden kembali ke ruangannya, ia menghubungi Badan Intelijen untuk mencari sosok pria yang telah menghancurkan martabat dari seorang Presiden.
Tidak butuh waktu lama, Michael tertangkap di rumahnya. Dia dibekuk dengan cepat oleh tim Intelijen Negara, kemudian di sidang atas tuduhan menyebarkan berita bohong ke publik.
Beberapa petugas lainnya menyita majalah New York Times edisi Senin ini di kantor direksi. Namun nahas, majalah itu telah banyak yang dijual hingga hanya menyisakan beberapa ratus lembar saja. Publik Amerika Serikat telah membaca dan terpengaruh oleh kabar dari tulisan Michael.
Setelah melakukan proses panjang selama tiga minggu dan melakukan empat kali proses persidangan, Michael ditetapkan menerima hukuman mati atas kasus tulisan di New York Times. Dengan pasrah ia menerima konsekuensinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Business: Lady Escort √
Romance26 Juni 2019 - 14 Juli 2019 ❤ #1 - Kritiksosial 7 Juli 2019 #6 - Jurnalis 7 Juli 2019 ●●Cerita ini mengandung unsur dewasa, mature, serta konflik yang berat. Jangan dulu menjudge sebelum benar-benar tuntas membacanya. Selain menjadi Lady Escort, Jen...