NOL RUPIAH (3)

0 0 0
                                    

NOL RUPIAH (3)

Kami punya satu bulan kesempatan tinggal di rumah yang bagian depannya sudah disulap menjadi kedai jus sederhana. Hanya satu bulan, tapi itu cukup lama untukku dan keluarga kecilku. Takdir selanjutnya, tak ada yang bisa menebak. Aku dan istriku hanya bisa bertawakkal (bukan pasrah). Jika memang tempat ini masih dikehendakiNya, maka sebelum satu bulan, akan ada jalan untuk melunasi sisa pembayaran kontrakan.

***

Hari itu, aku kembali menata kedai. Melengkapi setiap menu yang ada. Tadinya, kami hanya menyediakan jus, lalu istriku bereksperimen menyiasati buah-buahan yang jarang keluar seperti melon, apel, dan buah naga. Maka, dibuatlah salad dengan penambahan bahan modal untuk saosnya yang tidak seberapa. Selain itu, kami juga menambahkan 'smoothies buah' dan 'milkshake buah' dari hasil eksperimennya yang lain.

"Mumpung bahan dasarnya sama, bang. Pelanggan paling suka kalau banyak pilihan menunya. Tiap hari akan mencoba menu baru. Coba lihat si Zara, si Naya, dan anak-anak les sebelah tetangga kita, tiap hari mereka mencoba jus yang berbeda. Kalau kita punya menu baru dan menarik, mereka pasti akan mencoba." Begitu kata istriku, merayu, yang saat itu tak langsung ku setujui. Namun setelah ia meyakinkan untuk mencoba selama satu hari, dan ternyata penjualan makin bagus, maka menu-menu baru itu ku izinkan berada di kedai jus kami.

Menu-menu baru itu cukup laris di go food dan grab food. Apalagi, istriku menggunakan fitur promo yang bisa memunculkan menu di beranda depan. Aku tak begitu tahu soal ini. Jadi, urusan manajemen penjualan olnine, istriku yang pegang. Aku cukup menjadi 'pembuat', penerima uang cash, pengatur keuangan, dan pemimpin yang berhak menolak atau menyetujui ide bawahannya. Sedang istriku biar menjadi pembaharu menu dan trik penjualan agar omzet meningkat.

Ya, istriku tak ku beri mandat sebagai pemegang uang. Dulu, waktu kami masih kerja, uang semua dipegangnya. Tetapi sekarang biar aku saja, agar dia tidak terbebani ketika dana hidup kami nol rupiah. Cukup aku yang merasakannya sebagai pemimpin, dan agar dia tenang mengembangkan ide-ide serta inovasinya tentang penjualan. Ya, walaupun dia akhirnya tetap tahu jika dana kami kembali hanya nol rupiah.

"Adek nggak marah kan sama Abang karena kita makan hanya dengan nasi dan gorengan seperti ini?" Tanyaku, di suatu pagi.

Saat itu kami habis belanja bahan. Tadinya berniat menyisakan uang untuk makan. Tapi karena ada buah yang harganya naik, jadi uang yang tersisa hanya empat ribu. Jalan terakhir, untuk sarapan pagi hanya bisa beli gorengan enam biji dengan nasi yang sudah tersedia di rumah.

"Nggak apa-apa, Bang. Adek nggak marah kok. Gini aja udah enak. Adek mah nggak perlu neko-neko. Malah kadang kangen makan nasi dengan gorengan begini. Dulu waktu kuliah aja cuma makan nasi dengan telur rebus dua butir untuk tiga kali makan. Pernah juga hanya nasi dengan kerupuk pedas. Jadi menurut Adek, ini udah enak banget saat keuangan kita pas-pasan." Begitu cerita istriku dengan penuh semangat di sela-sela sarapan sepiring berdua. Panjang kali lebar kan?

"Kenapa kita nggak dari dulu menghemat dengan makan seadanya begini, bang?" Tanyanya, saat sarapan selesai.

"Abang takut adek nggak suka. Abang kira adek nggak biasa makan sederhana seperti ini." Jawabku. Jujur.

Ya, selama ini aku tak tahu jika istriku suka makan hanya dengan lauk begitu. Jadi, sebelumnya, tak pernah ku biarkan istri memasak walau sering ia meminta. Hanya menanak nasi saja, sedang lauknya ku belikan di luar.

Lauk yang biasa dibeli pun bukan kaleng-kaleng. Sering ikan, ayam, atau telur. Bisa habis duapuluh ribu sekali makan. Padahal bukan permintaannya. Sebab, ketika ditanya, "Mau lauk apa dek?" Dia selalu jawab, "Terserah." Ya, ku belikan saja lauk-lauk istimewa, agar dia tidak kecewa. Meski sering aku ditegur olehnya, "Apa nggak mahal bang? Apa uangnya cukup bang?"

TulisankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang