SEKITAR 2 jam berlalu, akhirnya Jaemin dan Odette sampai di sebuah Kota yang tak kalah besar dengan Azure. Jika lebih diperhatikan, ternyata Kota ini ditempati oleh para bangsawan daripada rakyat biasa.
Jaemin berhenti di sebuah pondok kecil untuk menitipkan kuda yang sedang mereka tunggangi. Pria jangkung itu turun dari atas kuda lalu mendekati seorang pria bertubuh kekar.
"Aku ingin menitipkan kuda di sini, kira-kira berapa koin ya?"
Pria asing di hadapan Jaemin tersenyum kecil. "25 koin emas, maksimal waktu penjagaannya hanya delapan jam saja. Anda harus kembali lagi sebelum matahari terbenam." beliau menjawab.
Jaemin mengangguk sembari mengeluarkan 35 koin emas dari kantung kecil yang ia simpan di dalam jubah. Jaemin memberikan uang lebih kepada pria tersebut.
"Mungkin aku sedikit terlambat, aku lebihkan 10 koin seharusnya lebih dari cukup kan?"
Pria kekar di hadapan Jaemin hanya tertawa, "tentu saja! Selamat bersenang-senang, tuan. Jangan lupa datangi monumen Esome di alun-alun Kota sebelum pulang ya."
Jaemin hanya tersenyum tipis sebagai respon, pria jangkung itu berbalik untuk mendekati Odette yang masih duduk di atas kuda. Jaemin kembali mengangkat tubuh Odette dan membantunya turun ke bawah."Melelahkan juga." Odette menepuk-nepuk punggungnya yang pegal.
"Seharian ini kita akan jalan kaki loh, aku jadi ragu kamu bisa bertahan atau tidak," cibir Jaemin membenarkan jubah hitam Odette yang miring. "Dasar lemah...." ia meledek.
Odette melotot. "Aku tidak lemah kok!!"
"Masa? Kita lihat saja nanti apakah kamu bisa bertahan atau tidak." balas Jaemin dengan sengaja. Nada suaranya terdengar begitu angkuh sampai-sampai Odette geram dibuatnya.
Kemudian pria jangkung itu menggenggam tangan mungil Odette agar mereka tetap berdekatan. Jaemin mengajak Odette berkeliling seraya menjawabi pertanyaan yang Odette ajukan padanya.
"Kota apa ini? Aku baru pertama kalinya ke sini."
"Kota Esome. Tempat ini adalah pusat perdagangan dan ada banyak artefak kuno yang tersimpan. Seingatku Kota Esome sempat dikelola oleh penyihir, namun otoritasnya malah jatuh ke tangan Grand Duke muda."
Alis Odette terangkat, "aku tidak pernah mendengar kasus seperti itu. Apakah Grand Duke Esome berhubungan baik dengan Regina?" tanya Odette lagi.
Pertanyaan itu membuat Jaemin menghela nafasnya gusar.
"Kenapa bertanya padaku? Kau lupa ya kalau aku hanyalah seorang pengawal? Coba tanyakan saja langsung pada ayahmu." ketus Jaemin datar.
Odette terkekeh kecil, "habisnya kamu terlihat seperti mengetahui banyak informasi dari wilayah luar selain Regina. Dari gaya bicaramu membuatku teringat dengan sekertaris ayah."
Glek! Jaemin langsung mengatupkan bibir seolah tidak dapat menyahut, dia bingung harus memberi respon apa.
"....Itu ha-hanya kebetulan." sahutnya kikuk. Jaemin memperhatikan bangsawan di dekat toko sepatu yang sedang jambak-jambakan.
Kemudian untuk mencairkan suasana yang agak canggung, Jaemin mengajak Odette masuk ke dalam festival Esome. Genggaman tangan Jaemin semakin erat karena takut Odette akan terpisah dengannya. Sesekali Jaemin juga mendorong orang-orang yang hampir menabraki tubuh Odette.
"Sialan," dia mengumpat. "Pilihan salah bagiku untuk membawamu ke sini."
Odette memperhatikan raut wajah Jaemin yang terusik dan tidak nyaman. Gadis itu hanya tersenyum kecil lalu menepuk-nepuk pelan bahu kanan Jaemin.
"Jangan dipusingkan, ayo kita berkeliling dulu. Aku tidak merasa terganggu dengan keramaian ini kok!" Odette menenangkan Jaemin.
Pria jangkung itu menoleh. "Kamu serius? Kamu tidak merasa sesak?" Jaemin memastikan.
"Aku baik-baik saja."
"Jangan bohong padaku!!"
"Aku tidak berbohong, Na."
Jika jawaban Odette seperti itu, tentunya Jaemin tidak mampu berbuat apapun. Dia menghela nafas panjang sembari geleng-geleng kepala karena Odette selalu saja bersikap tenang.
Situasi ini membuatku kesal. Kenapa sih Odette tidak ada rasa waspadanya sama sekali?! Batin Jaemin merutuk.
Cibiran Jaemin terdengar. "Ya sudahlah, aku akan menuruti semua keinginanmu. Untuk saat ini apakah ada tempat yang menarik perhatianmu?"Refleks, Odette menoleh kanan-kiri mencari stand ataupun toko yang ada di sekitarnya. Karena ada banyak orang berlalu-lalang, pandangan Odette jadi sedikit terhalangi.
Sret
Iris mata Odette jatuh ke arah stand yang menjual perhiasan-perhiasan unik. Gadis itu langsung menarik tangan Jaemin untuk mendekat ke stand tersebut.
"Ayo!!" ajak Odette sangat antusias.
Jaemin mengikuti langkah kaki Odette dari belakang, pria jangkung itu mendengus geli saat Odette memperhatikan semua perhiasan di hadapannya begitu lekat. Jaemin cukup terhibur dengan ekspresi Odette yang manis.
Untung aku bawa banyak uang, jika membeli semua perhiasan ini seharusnya sih cukup. Batin Jaemin penuh keyakinan.
Pemilik stand tersebut menyambut kedatangan Odette serta Jaemin dengan ramah. "Selamat datang! Apakah ada barang yang membuatmu tertarik?"
"Hm, aku ingin lihat-lihat dulu...." ringis Odette diselingi kekehan. Dia memperhatikan satu persatu perhiasan yang terpajang di dalam kotak kaca.
Dari bros, anting, kalung, gelang, cincin, jepitan rambut, semuanya terlihat sangat cantik. Odette menimbang-nimbang apakah kotak perhiasannya masih bisa menampung beberapa jewelry lagi?
Kemudian Odette mengambil sebuah jepitan dan hendak melepas tudung jubahnya. Namun, Jaemin buru-buru menutupnya kembali sembari mengumpat pelan.
Sorot mata Jaemin menajam. "Kau gila? Jangan sekali-kali melepas tudungmu walaupun sebentar, bagaimana jika orang-orang sadar bahwa kamu adalah Putri Regina?!!" ia mengomel.
Odette mengernyitkan alis. "Loh? Ta-tapi aku mau coba perhiasannya."
"Tidak perlu dicoba, sudah pasti bagus kalau kamu yang pakai."
"Mana bisa begitu! Kamu kan tinggal menutupi aku agar tidak ada yang melihat, begitu saja kok repot,"
Odette kembali menatap perhiasan tersebut. "Jangan ganggu aku, kalau kamu mengganggu nanti—"
Srrrr
Tiba-tiba saja fokus Odette teralih ke arah cincin dengan permata hitam gelap di dekat kotak bros. Apakah ada benda seperti itu sebelumnya? Kenapa Odette baru sadar?
Anehnya, tubuh Odette seperti ditarik oleh cincin tersebut, suara Jaemin yang tadinya terdengar jelas mulai memudar sedikit demi sedikit.
Pikiran Odette kosong, semua yang ia lihat mulai berubah warna menjadi hitam-putih. Odette seperti dipaksa un—