Tiga Puluh Satu

24.8K 1.7K 36
                                    

Yang pertama kali Kinanti lihat saat membuka pintu kamar Gilang adalah satu pemandangan yang kini telah berubah. Dinding yang ada di sisi kanan ranjang, yang biasanya menjadi tempat di mana sofa panjang di letakkan, kini berubah menjadi tempat tidur bayi. Boks bayi berwarna putih berbahan kayu yang di belikan oleh Nami, kini sudah di tata dengan rapih di kamar itu. Bersama dengan empat bingkai foto berukuran sedang dengan salah satunya telah terpajang foto 4D wajah bayi Kinanti yang di ambil saat USG kemarin.

Di samping boks bayi, menempel lemari kecil berbahan kayu yang di cat putih setinggi pinggang orang dewasa. Dengan pintu-pintu lacinya yang berwarna pink. Di atas lemari kecil itu terdapat satu kasur bayi di lapisi perlak untuk tempat mengganti pakaian bayi. Di samping lemari, tersedia single sofa yang mengarah ke ranjang, berwarna krem dengan bantal sofa yang juga berwarna pink. Dindingnya yang dulu berwarna krem. Kini sudah dilapisi dengan wallpaper putih motif full bunga.

Gilang seolah tahu bahwa janin yang ia kandung adalah bayi perempuan. Sementara mereka semua sudah mengetahui bahwa janin itu masih belum mau menunjukkan kemaluannya pada Cinta lewat layar USG tiap kali jadwal pemeriksaan.

Pantas saja, beberapa hari yang lalu Gilang meminta izin padanya untuk mendekor sebagian kamar. Kinanti tidak keberatan. Toh kamar itu milik Gilang. Jika pria itu sudah memberi izin pada Deby, kenapa Kinanti tidak?

"Kau suka?"

Kinanti tersentak terkejut mendengar suara Gilang di belakangnya. Berbalik cepat, matanya terbelalak melihat Gilang sudah berada di dalam kamar. Berdiri di depan Tv yang mengarah ke ranjang. Sementara ia tidak sadar sejak kapan sudah berdiri di sisi ranjang dan berhadapan dengan boks bayi itu.

Mereka hanya berjarak beberapa meter. Tapi Kinanti selalu mewaspadai kapan Gilang akan mulai menyerangnya.

"Aku tidak akan macam-macam. Pintu kamar terbuka lebar. Kak Cinta juga ada di kamarnya." Jelasnya. Menunjuk ke arah pintu di belakang yang sengaja Gilang buka agar Kinanti tidak panik melihatnya yang tiba-tiba ada di sana. "Aku hanya ingin mengantar ini."

Kinanti mengikuti arah tatapan Gilang ke kedua tangannya. Tangan kiri memegang gelas panjang berisi air putih. Sementara di tangan kanannya memegang plastik berisi obat dan vitamin untuk janinnya.

"Boleh aku letak di sana?" Gilang menunjuk meja nakas kecil di samping ranjang. Bersebarangan dengan Kinanti.

Kinanti mengangguk saat Gilang tak lepas menatapnya menunggu jawaban. Membiarkan pria itu meletakkan apa yang sudah di bawanya ke atas meja nakas.

Pria itu terdiam di sana. Tatapannya lurus ke atas nakas. Kinanti tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu selama beberapa detik. Dan kenapa Gilang belum juga keluar dari kamar ini.

Bukan maksud Kinanti mengusir Gilang dari kamarnya sendiri. Percayalah, kamar ini masih milik pria itu. Kinanti hanya menumpang untuk sementara.

Ya, hanya sementara.

Gadis itu segera membuang tatapannya saat Gilang menoleh dengan tiba-tiba. Tanpa Kinanti sadari, pria itu tersenyum kecil karena mengetahui Kinanti menatapnya sejak tadi.

Mereka berdiri saling berhadapan. Dengan tempat tidur besar yang menjadi pembatas mereka. Membuat pria itu menyadari satu hal, betapa jauhnya Kinanti yang tak tersentuh olehnya.

"Maukah kau menjadi temanku?"

"Hm?" Dahinya berkerut, menatap bingung pria di hadapannya.

"Maukah kau berteman denganku?" Beberapa detik terlewatkan. Melihat keterdiaman Kinanti, Gilang melanjutkan. "Aku tahu, aku ini manusia paling menjijikkan, yang kau takuti dan pantas di benci olehmu. Semua yang pernah kulakukan padamu tidak pantas untuk di maafkan."

KINANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang