íl cőnfľitto

44 4 0
                                    

Pagi ini, Malfin sengaja untuk bangun lebih pagi dari biasannya.

Ia tidak mau tidak masuk sekolah untuk kedua kalinya, ia bisa ketinggalan banyak materi kalau begitu.

Kini, ia duduk termenung sambil menunggu sinar mentari menyiram dinginnya fajar.

Malfin sudah sanggat siap, selesai shalat subuh ia sesegera mengenakan seragam sekolahnya.

"Malfin?"

Malfin hampir tersedak ketika ia mendengar lontaran itu. Lantas, ia segera menolehkan pandangannya ke belakang.

Sosok Alina kini berdiri tegap di hadapannya dengan pakaian tidur dan rambut yang kusut.

"Lo rajin amat udah pakai seragam segala." heran Alina mengamati pakaian yang dikenakan Malfin.

Sesekali ia menguap kemudian duduk di samping Malfin.

"Lo makan apa?"

Malfin menatap kakaknya kosong, ia terlihat kebingungan.

"Sereal."

Alina mengangguk-angguk, kini keheningan menyelimuti pagi.

"Yaudah, gue bangunin Shirin dulu ya, lo siap-siap aja."

Malfin mendengar jelas ujaran Alina. Ia hanya berdeham untuk jawabannya, malas berbicara banyak.

......

"Shirin, cepetan!" teriak Alina menggelegar ke seluruh bagian rumah.

Shirin yang masih sibuk mengikat tali sepatu langsung memutar bola mata karena malas dicelotehi.

Setelah dua menit berlalu, Shirin segera menghampiri kakaknya dengan tergopoh-gopoh.

Alina sesegera mungkin menutup pintu gerbang dan memasuki mobil. Sudah menjadi rutinitas untuk mengantar adiknya ke sekolah.

"Mba, gue naik motor aja ya." ujar Malfin sembari mengikat tali sepatunya.

Alina mendecak kesal, "Yah. Emang kenapa sih, mobil gue jelek ya?"

Malfin memutar bola matanya, malas memberi alasan kakaknya selalu saja salah paham.

"Bukan begitu, biar gue pulangnya lebih gampang."

Alina kembali mendesah berat, "Yaudah deh kalau begitu. Tapi hati-hati!" pesan Alina menyetujui walaupun sebenarnya terpaksa.

Malfin tersenyum girang, ia memeluk kakaknya erat-erat.

"Udah nggak usah alay. Cepetan, nanti lo telat aja." omel Alina mencubit pinggang adiknya.

"Iya-iya."

Malfin usai mengikat sepatu, ia segera mengambil kunci motor dan mengeluarkan vespannya.

Ia siap berkendara, sebelum itu tentu saja ia pamit.

"Assalamualaikum, bye Mba Mutamalina. Hate you!"

"Dih, diem lo. Kutil kodok!"

"Waalaikumusalam." Shirin menjawab dalam benaknya, ia menatap kepergian kakak laki-lakinya.

......

Malfin usia memarkirkan vespannya, dengan santai ia berjalan memasuki gerbang sekolah menuju kelas.

Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan si Putri Airin yang kini bersanding di sebelahnya.

"Hai, Malfin." sapa Airin ramah tetapi tidak disahuti oleh Malfin.

Airin memanyunkan bibirnya, bingung.

"Fin!"

Tidak ada jawaban.

▪what if▪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang