(3) brainstorming ala Vardy (a)

25.7K 3K 287
                                    

Wanda tidak bisa menebak urusan mendesak apa sehingga seorang General Manager memintanya datang ke kantor pusat. Walau bertanya – tanya tapi ia tidak merasa takut karena memang ia tidak merasa melakukan kesalahan kecuali Vardy mengadukan kompensasi yang ia terima dengan senang hati waktu itu.

"Siang, Pak Pandji!" Wanda menyapa GM-nya setelah dipersilakan masuk oleh sekretarisnya, Anton. Sekretaris Pandji adalah seorang pria dan sepertinya keputusan itu dipengaruhi campur tangan sang istri. Wanda ingin tertawa setiap kali membandingkan Pandji yang dulu dengan yang sekarang. Ada masanya manusia berubah, tunggu saja.

"Eh, Wan. Masuk! Ah, lo kaya sama siapa aja. Duduk sini."

Wanda duduk di sofa tamu, bukan di kursi pesakitan di seberang meja kerja Pandji.

"Masa saya berani sok akrab sama Pak GM sih," gurau Wanda.

Pandji duduk di sofa yang berbeda dengan senyum menghiasi wajahnya, pria itu tampak lebih muda setelah beristri, bukannya itu aneh ya?

"Gimana, gimana?" ia menyeringai lebar sembari mengedikan alisnya berulang kali seolah kami merahasiakan sesuatu.

"Gimana apanya, Pak?" tanya Wanda bingung sekaligus geli.

Pandji mengedikan dagu—yang sialannya ke arah dada Wanda, "Vardy lo apain sampe ajukan KPR ke si Roland?"

Wanda tersedak napasnya sendiri, karena terkejut ia mengabaikan tuduhan terselubung Pandji, "serius?"

"Yah masih kita pelajari sih, tapi kalau kelamaan dia mau ambil di bank lain katanya."

Wanda mengangguk pura - pura baru tahu, "oh, gitu..."

Tapi cara Pandji menatap wajahnya yang saksama menunjukan kalau pria itu tahu Wanda menyimpan rahasia.

"Lo tahu sesuatu ya?"

Wanda membuka mulutnya seraya memikirkan urutan kata yang tepat yang akan diucapkannya.

"Gini, Pak. Pura - pura aja saya nggak tahu, padahal sebenarnya saya tahu."

"Aslinya lo tahu nggak sih?"

"Dugaan. Kemarin itu saya coba - coba tawarkan rumah saya, kebetulan rumah kita satu developer. Tapi waktu itu dia nggak bilang apa - apa, langsung ngacir gitu aja. Jadi... saya nggak tahu dia ambil KPR buat beli rumah yang mana."

"Lo jual rumah?"

Wanda meringis malas, "jaminan ayah saya di bank 'anu'. Saya udah lelah cicil rumah itu. Mau saya jual aja sebelum jatuh tempo."

Pandji mengangguk bijak, ia tahu karyawannya ini mengambil kredit untuk menyicil rumahnya dan sepertinya sekarang dia menyerah. Pandji sendiri cukup akrab dengan 'gali-tutup lobang' sebelum mendapatkan warisan tak terkira dari mendiang sang ayah.

"Jadi lo sama Vardy beneran..." dengan cepat Pandji membatalkan, "nggak jadi deh."

Tatapan terlanjur curiga Wanda buat Pandji tak nyaman sehingga ia mengalihkan.

"By the way, lo udah lihat status gue? Anak gue bisa acungin jari tengah."

Wanda terbelalak kaget. Ini orang udah gila ya? Dia kan GM, bisa - bisanya bikin status kaya gitu? Nggak malu dilihat orang se-Indonesia Raya?

"Anak yang mana, Pak?" jangan bilang si Panji udah diajarin yang nggak – nggak sama Papanya.

"Satria," ia terkekeh geli, "kan si Airin lagi suapin Arin sama Panji, terus si Tria pup, akhirnya gue yang gantiin popok. Dia nangis – nangis, protes gitu. Mungkin gue kurang lembut. Lah sambil nangis, jari tengah dia hampir nusuk hidung gue. Gue heran mirip siapa sih?"

Kamu akan menyukai ini

          

Mirip lo lah, pake tanya lagi, gerutu Wanda dalam hati.

"Bayi mah nggak sengaja kali, Pak. Dia mana ngerti itu artinya apa."

Wanda memperhatikan Pandji mesem - mesem sendiri setiap kali menggeser foto di layar handphonenya. Hm... lagi seneng - senengnya jadi bapak, maklumin aja deh. Vardy bakal gimana ya kalau sudah jadi bapak?

Tersentak dari lamunan super halu dan tidak masuk akal bahkan di luar akal sehatnya membuat Wanda memucat seperti melihat setan lewat di belakang Pandji.

Kenapa yang melintas bayangan debitur ganteng sih? Aduh! Kelamaan LDR sama Pit ya gini.

"Pak Pandji kasih nama anak kok nggak kreatif sih?" ejek Wanda yang berusaha memulihkan diri.

Senyum Pandji kian melebar, "lo nggak bakal tahu alasannya sebelum lo jadi bucin. Kecuali Satria ya. Gue dan istri ketemunya di nikahan salah satu teman kita yang namanya Tria, waktu itu kita dipasangkan jadi pager ayu – pager bagus."

Bagi Wanda yang belum merasakan malunya menjadi budak cinta jelas tidak mengerti alasan – alasan Pandji, alih – alih mendebat Wanda lebih memilih setuju.

Melihat Pandji hampir tenggelam dalam kenangan masa lalu Wanda berkata, "jodoh ya, Pak."

"Ya emang jodoh, setelah itu kita dipertemukan lagi di nikahan Erlangga sama Kumal," ia memicingkan mata ke arah Wanda, "lo nggak dateng ya?"

Wanda mencoba mengulas senyum lalu menggeleng, gila aja, dengar Erlangga nikah aku udah patah hati.

"Terus dipertemukan di pelaminan jadi pasangan ya, Pak," goda Wanda tapi senyum Pandji tidak selebar tadi, siapa yang tahu perjalanan asmara seorang Pandji si playboy yang kini menjadi bapak paling ramah, suami penyayang juga setia, dan menghormati wanita lebih dari sekedar seonggok tubuh seksi.

"Oh iya, kalian balapan bikin anak ya?" tanya Wanda geli, "kalau nggak salah dia steril setelah anak kembarnya, kan?"

Senyum lebar Pandji kembali, "nggak balapan juga. Jadi setelah Arin usia lima bulan kalau nggak salah, gue harus pendidikan dua bulan. Lo tahu sendirilah orang LDR kaya gimana, kalau ketemu udah! Main seruduk aja, jadi deh!"

Pipi Wanda bersemu merah sebelum tertawa canggung.

"Lo kudu hati – hati, Wan. Lo kan LDR-an lama banget nih, lepas kangennya butuh persiapan super safety."

Wanda mengerutkan hidung seolah paham dengan maksud Pandji, karena pura – pura polos bukan tipikal wanita seseksi Wanda.

"Atau jangan – jangan lo udah nggak kangen lagi? Kan hari – hari lo isinya Vardy Johan mulu."

Wanda hanya menggeleng mendapat tuduhan Pandji.

"Kurang apa coba? Gagal dapetin GM terdahulu, gantinya walikota masa depan. Biar Erlangga nyesel karena nggak peka sama lo dulu."

Wanda ingin mendebat tapi akhirnya ia hanya tersenyum lelah, "calon suami saya marinir, Pak."

Pandji hanya tersenyum mendengar penolakan lemah Wanda. Wanita itu pasrah andai atasannya berpikir ia dan Vardy sudah terlalu jauh bergaul.

***

"...gue bakal fokus sama infrastruktur dan ekonomi. Menurut gue, kita butuh akses jalan yang mulus dan lebar."

Pria lain yang usianya lebih muda mencatat di tabletnya, "'infrastruktur'" lalu mencebik, Mainstream.

"Gue..." tiba - tiba saja pikirannya kosong, otaknya lelah berpikir seolah lama tidak melakukan pemanasan. Padahal baru beberapa hari yang lalu ia melakukannya.

TemporaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang