Wanda tidak bisa menebak urusan mendesak apa sehingga seorang General Manager memintanya datang ke kantor pusat. Walau bertanya – tanya tapi ia tidak merasa takut karena memang ia tidak merasa melakukan kesalahan kecuali Vardy mengadukan kompensasi yang ia terima dengan senang hati waktu itu.
"Siang, Pak Pandji!" Wanda menyapa GM-nya setelah dipersilakan masuk oleh sekretarisnya, Anton. Sekretaris Pandji adalah seorang pria dan sepertinya keputusan itu dipengaruhi campur tangan sang istri. Wanda ingin tertawa setiap kali membandingkan Pandji yang dulu dengan yang sekarang. Ada masanya manusia berubah, tunggu saja.
"Eh, Wan. Masuk! Ah, lo kaya sama siapa aja. Duduk sini."
Wanda duduk di sofa tamu, bukan di kursi pesakitan di seberang meja kerja Pandji.
"Masa saya berani sok akrab sama Pak GM sih," gurau Wanda.
Pandji duduk di sofa yang berbeda dengan senyum menghiasi wajahnya, pria itu tampak lebih muda setelah beristri, bukannya itu aneh ya?
"Gimana, gimana?" ia menyeringai lebar sembari mengedikan alisnya berulang kali seolah kami merahasiakan sesuatu.
"Gimana apanya, Pak?" tanya Wanda bingung sekaligus geli.
Pandji mengedikan dagu—yang sialannya ke arah dada Wanda, "Vardy lo apain sampe ajukan KPR ke si Roland?"
Wanda tersedak napasnya sendiri, karena terkejut ia mengabaikan tuduhan terselubung Pandji, "serius?"
"Yah masih kita pelajari sih, tapi kalau kelamaan dia mau ambil di bank lain katanya."
Wanda mengangguk pura - pura baru tahu, "oh, gitu..."
Tapi cara Pandji menatap wajahnya yang saksama menunjukan kalau pria itu tahu Wanda menyimpan rahasia.
"Lo tahu sesuatu ya?"
Wanda membuka mulutnya seraya memikirkan urutan kata yang tepat yang akan diucapkannya.
"Gini, Pak. Pura - pura aja saya nggak tahu, padahal sebenarnya saya tahu."
"Aslinya lo tahu nggak sih?"
"Dugaan. Kemarin itu saya coba - coba tawarkan rumah saya, kebetulan rumah kita satu developer. Tapi waktu itu dia nggak bilang apa - apa, langsung ngacir gitu aja. Jadi... saya nggak tahu dia ambil KPR buat beli rumah yang mana."
"Lo jual rumah?"
Wanda meringis malas, "jaminan ayah saya di bank 'anu'. Saya udah lelah cicil rumah itu. Mau saya jual aja sebelum jatuh tempo."
Pandji mengangguk bijak, ia tahu karyawannya ini mengambil kredit untuk menyicil rumahnya dan sepertinya sekarang dia menyerah. Pandji sendiri cukup akrab dengan 'gali-tutup lobang' sebelum mendapatkan warisan tak terkira dari mendiang sang ayah.
"Jadi lo sama Vardy beneran..." dengan cepat Pandji membatalkan, "nggak jadi deh."
Tatapan terlanjur curiga Wanda buat Pandji tak nyaman sehingga ia mengalihkan.
"By the way, lo udah lihat status gue? Anak gue bisa acungin jari tengah."
Wanda terbelalak kaget. Ini orang udah gila ya? Dia kan GM, bisa - bisanya bikin status kaya gitu? Nggak malu dilihat orang se-Indonesia Raya?
"Anak yang mana, Pak?" jangan bilang si Panji udah diajarin yang nggak – nggak sama Papanya.
"Satria," ia terkekeh geli, "kan si Airin lagi suapin Arin sama Panji, terus si Tria pup, akhirnya gue yang gantiin popok. Dia nangis – nangis, protes gitu. Mungkin gue kurang lembut. Lah sambil nangis, jari tengah dia hampir nusuk hidung gue. Gue heran mirip siapa sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary
RomanceGenre cerita ini adult & contemporary romance (21+) "Jadi ini cuma sementara ya. Kalau saya gagal dalam pemilihan berarti kita juga selesai. Tapi kalau saya menang itu artinya...?" Vardy menaikan satu alisnya, mereka sudah membahas ini lebih dari se...