04: Sakit

400 67 22
                                    

"Tunggu apa lagi? Ayo masuk!" titah Daniel dari dalam mobil. Chika memperhatikan suami dan anaknya yang hendak berangkat dari depan rumah. Tapi atensinya beralih, Ima datang menghampiri Luna dengan terbirit.

"Luna, Tante minta tolong sama kamu, ya. Tolong sampein surat izin Udin ke wali kelas. Kalian berdua satu kelas kan?" tanya Ima menyodorkan sepucuk surat.

"I-iya. Emangnya Zeyn kenapa, Tan?"

"Dia sakit. Mukanya pucet, badannya lemes, mimisan juga," jawab Ima sedih. Chika menutup mulut terkejut. Dia berjalan menghampiri Ima dan mengelus punggung wanita itu.

"Yaampun, sakit apa ya?" tanya Chika penasaran.

"Ga tau, Bu. Tapi kayaknya ini efek keseringan begadang," jawab Ima lagi.

"Yaudah, Luna langsung berangkat gih. Nanti kalo terlambat beda lagi ceritanya. Tante minta tolong, ya," ujar Ima memperingati. Luna mengangguk kecil, setelah itu masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang.

Selepas kepergian Luna, Ima berpamitan kepada Chika dan masuk ke dalam rumah. Di pintu dia berpapasan dengan Iwan.

"Abang berangkat aja. Zeyn biar Saya yang rawat," kata Ima memberitahu.

Iwan tersenyum simpul, tangannya mengelus surai Ima halus. "Yaudah Abang berangkat dulu ya. Tolong jaga Udin. Kalo Udin berubah pikiran terus mau ke rumah sakit, Ima telpon Abang aja, ya? Biar Abang yang anterin," ujar Iwan.

Ima mengangguk. Kemudian Iwan pergi ke luar rumah, dia berangkat kerja sekarang. Ima pun pergi menuju kamar Zeyn. Ima menatap sendu keponakannya yang tidur dengan wajah pucat. Dengan sejumlah gulungan tisu masih bertengger manis pada lubang hidung Zeyn.

Flashback on
Ima berjalan ke arah kamar Zeyn. Di tangan kanannya sudah ada gayung beserta air di dalamnya. Dia membuka pintu dan menghampiri pemuda yang terbaring di ranjang sana. Baru saja wanita itu hendak membuat air terjun alarm agar pemuda tersebut bangun. Tapi matanya membelalak kaget melihat darah di sekitar hidung, ditambah bibir yang pucat.

Ima meletakkan gayung di atas meja dekat nakas. "Udin kamu kenapa? Idungmu bedarah gini, bibir kamu juga pucet."

Ima kelabakan, dia mengambil sapu tangan dari laci Zeyn, kemudian menggunakan sapu tangan tersebut untuk melap darah dari hidung Zeyn. Sesekali Ima menepuk-nepuk pipi Zeyn pelan agar dia terbangun.

"Eng? Zeyn bangun kesiangan?" tanya Zeyn masih bingung.

"Udin kamu kenapa? Kepala kamu sakit? Ya ampun maafin Tante. Kamu sakit pasti gara-gara Tante sering bangunin kamu pake air. Tante janji ga bakal siram kamu lagi, tapi.. hiks."

"Tante nangis? Zeyn ga kenapa-napa, Tan. Mimisan gini doang udah biasa," ujar Zeyn berusaha memastikan Ima bahwa dia baik-baik saja. Zeyn hendak bangkit dari nakas, tapi kepalanya mendadak berdenyut sakit.

"Aakh."

"Kepala kamu sakit? Tiduran dulu, tiduran. Ke rumah sakit mau, ya?" ajak Ima sambil mengecek suhu badan Zeyn.

"Gak panas."

"Ya emang. Kaga sakit juga. Dah Zeyn mau sekolah dulu, hoahm." Untuk kedua kali Zeyn berusaha bangun. Kepalanya agak mendingan, tapi kini sapu tangan yang tidak mampu menampung darah dari hidung Zeyn. Hingga cairan kental itu merembes keluar.

Kamu akan menyukai ini

          

"Astagfirullah haladzim, kamu sakit gausah sekolah dulu, Udin. Ayo ke rumah sakit, Tante khawatir sama kamu. ABAAANG! Udin sakit, anterin dia ke rumah sakit ayo!"

"Yaudah Zeyn ga sekolah, tapi gausah ke rumah sakit juga, Tan."

"Kenapa sih? Tante takut kamu kenapa-napa!" ajak Ima bersikeras. Zeyn menggeleng, dia masih menolak tawaran Ima.
Flashback off

"Udin, kamu laper gak? Tante bikinin bubur ya?" tawar Ima mengelus dahi Zeyn.

"Ntar aja," jawab Zeyn menolak.

Ima menghela nafas berat. "Kalo laper bilang. Kamu pasti begini karena keseringan begadang. Udah berapa tahun loh kamu begadang terus? Emangnya apa yang kamu pikirin sampe sering begadang gitu hm?"

Zeyn diam. Mata sayunya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Dia enggan menjawab pertanyaan Ima.

"Tante, tolong ambilin boneka teddy di laci Zeyn," pinta Zeyn dengan nada lesu. Ima menuruti kemauan Zeyn, dia mengambil boneka teddy berukuran tidak besar namun tidak terlalu kecil. Lalu memberikannya kepada Zeyn. Zeyn melihat-lihat boneka teddy sambil tersenyum sendu.

"Kamu masih kepikiran sama kejadian itu?"

~~~

Di sekolah...

"Hah Zeynudin bisa sakit?" tanya Muiz dengan wajah keheranan.

"Dia kalo pagi emang kea jombi, tapi ini pertama kalinya gue denger dia sakit," sahut Azka berpikir keras. Kebetulan sekali tadi kelima kawan Zeynudin mencari Zeynudin di kelas. Pasalnya sejak jam pertama sekolah, Zeyn tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Mereka pun bertanya kepada Luna, tetangga Zeyn.

"Sakit apa, Lun?" tanya Haidan.

"Kebanyakan begadang, katanya. Semalem dia mimisan banyak banget," jawab Luna masih memikirkan kejadian semalam. Padahal selepas mimisan, Zeyn masih menunjukan sifat meresahkannya. Kini kelima pria itu melingkari bangku Luna, dengan Haidan yang duduk di kuris Nisa. Lagi-lagi Luna tidak bisa ikut Nisa ke kantin.

"Pantesan," gumam Haidan.

"Balik sekolah jenguk Zeyn gaskeun ngeng!" ajak Reynan memberi ide. Lantas mereka semua mengangguk setuju.

"Gue ikut," pinta Luna.

Hingga pulang sekolah tiba, jadilah mereka berangkat bersama-sama menuju rumah Zeyn. Sejujurnya kalau begini, sama saja Luna menebeng untuk pulang. Gadis itu menaiki motor yang sama dengan Satria.

"Lo tau sesuatu?" tanya Satria tanpa menoleh ke belakang.

"Apa?" Luna bertanya balik.

"Tentang perilaku Zeyn ke elo," jawab Satria.

"Hah apa?"

Satria diam. Luna tidak mendengar apa yang dia bicarakan tadi. Tentu saja tidak dengar. Satria berbicara saat dirinya memakai helm. Angin juga dapat menulikan pendengaran Luna. Ditambah lagi teman-teman Satria seperti Muiz, Azka, dan Reynan sangat berisik. Mereka mengobrol dari satu motor ke motor yang lain saat berkendara.

Diamnya Satria membuat Luna membatin kesal. "Ni anak mau ngomong apaan si anjir, ga jelas banget." Lalu keheningan melanda mereka.

Candra BerlinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang