Hari sabtu ini kami berdua, gue dan Edrick, berencana pergi jalan-jalan. Edrick yang usul buat jalan-jalan, dia bilang kami berdua harus selalu menyempatkan waktu untuk mengenal satu sama lain, lebih tepatnya berpacaran.Awalnya gue menolak karena setiap hari pun kami selalu bersama, bertemu setiap hari, bahkan kami hampir selalu menghabiskan waktu bersama. Sebelum dan sesudah pacaran, pun.
Setelah selesai sarapan gue langsung menuju rumah Edrick. Dia bilang hari ini dia mau ajak gue buat bertemu dengan seseorang yang cukup penting di hidupnya.
"Huaaahhhh ..." mulut gue menguap, terbuka lebar, jujur gue masih lumayan mengantuk. Biasanya hari sabtu gue telat bangun karena gak pernah punya agenda untuk pergi ke mana-mana.
"Kita ngopi aja dulu." Edrick mengelus rambut gue pelan.
"Lagian pagi banget, biasanya gue bangun jam 1 kalo hari sabtu."
"Karena gak ada yang ngajak jalan, kan?"
"Sialan," gue menepis tangannya dia yang masih mengelus rambut gue sekarang ini. Walaupun ucapan Edrick ada benarnya, tapi dia gak perlu sejelas itu. Gue jarang pergi karena gak ada yang ajak pergi juga. Dulu Irgi sibuk sama kerjaannya dan lagian aneh kalau gue ajak dia pergi di hari sabtu atau minggu di saat gue dan dia gak ada hubungan.
"Karena sekarang ada aku, minimal setiap sabtu atau minggu kita pergi."
Edrick menggenggam tangan kiri gue dan menciumnya berkali-kali. "Tangan kamu wangi banget, sih.""Alasan lo aja biar bisa lo ciumin terus." Secepat mungkin gue tarik tangan gue dari dia dan fokus lagi pegang kemudi.
"Beneran, aku suka wanginya, tapi kenapa kalo lagi di kantor gak wangi ini?"
Asal kalian tau, wangi yang Edrick bicarakan sedari tadi ini adalah wangi vanilla buttercream. Gue memang pakai cream tangan ini saat di rumah atau malam hari setelah pulang kerja. Entah kenapa gue selalu merasa gak nyaman kalau harus pakai ini saat ke kantor, sah-sah saja sebenarnya.
"Yang ada lo gak kerja nanti, ciumin tangan gue terus."
Dia tersenyum puas seolah gue menebak apa yang ada dalam pikirannya secara benar menyeluruh.
* * *
Kami berdua sampai di sebuah toko minuman kopi yang cukup terkenal dan digemari oleh banyak kaum muda sekarang ini, minuman kopi berlogo wanita bermahkota itu. Kami segera turun dari mobil dan masuk ke dalam.
Untuk sekarang ini gue mulai hafal dengan apa yang Edrick suka dan tidak. Makanan ataupun sesuatu hal.
"Gak usah makan di sini, kan?"
"Gak, sambil jalan aja, aku mau ke toilet dulu, kamu pesen, ya."
Suasananya memang tidak memungkin untuk kami berdua bisa menikmati minuman di sini, kalau mau untuk tidak peduli dengan suasananya mungkin bisa saja, tapi gue lebih memilih menikmatinya di mobil. Gue gak tahu apa yang akan Edrick lakukan terhadapan gue nanti, di depan kerumunan orang-orang ini.
* * *
"Bukannya lo tadi udah pipis sebelum pergi?"
Begitu masuk mobil gue langsung tanya ke Edrick yang memang cukup lama menghabiskan waktu di toilet.
"Panggilan alam itu susah buat ditunda, mana minuman aku?"
"Nih,"
"Terimakasih," dia langsung minum iced americano yang gue pesan tadi.
"Kenapa harus dingin? Ini 'kan masih pagi,"
"Udah kebiasaan,"
"Oh ..." gue langsung fokus ke jalanan lagi, gue masih belum tau hari ini mau pergi ke mana. Dari tadi Edrick cuma bilang kalau gue cukup menuruti saja petunjuk arah dari dia.
* * *
Sekitar satu jam berkendara kami berdua sampai di sebuah rumah yang menurut gue jauh dari pusat kota. Rumahnya gak terlalu besar, tapi tamannya cukup luas. Tunggu, apa ini rumah yang Edrick maksud waktu itu. Rumah yang akan ditempati oleh kami berdua setelah kami menikah nanti, gue gak bisa bayangin kalau ini rumahnya.
"Rumah siapa ini, Drick?" Gue masih duduk di kursi kemudi, bahkan sabuk pengaman masih terpasang rapih.
"Turun dulu, yuk."
"Jawab dulu,"
"Ayo, percaya deh, aku mau kenalin kamu sama seseorang."
Dengan ragu-ragu gue menuruti perintah Edrick, siapa yang akan dia kenalkan. Ada rahasia apalagi sih, selain ibunya yang sakit itu.
"Daddy ..."
Jantung gue serasa berhenti, begitu kami berdua keluar dari mobil, pintu gerbang terbuka dan seorang anak kecil laki-laki berlari menghampiri Edrick.
"Hai ..." Edrick sedikit membungkuk saat anak kecil itu memeluk Edrick dengan erat.
"Daddy ... Aron kangen,"
Belum selesai rasanya jantung gue senam, sekarang seorang wanita yang gue rasa seumuran sama Mama muncul. Dia menyapa Edrick yang masih memeluk anak kecil itu.
Apa ini, ada apa, apa anak itu anaknya Edrick? Kenapa Edrick gak pernah cerita?
* * *
"Lisa ..." wanita itu mengulurkan tangannya setelah menaruh dua cangkir teh hangat di atas meja. Gue sambut uluran tangannya dan sedikit tersenyum, perasaan gue sekarang ini campur aduk, marah, kecewa dan entah apa lagi. Terlebih Edrick sekarang gak ada, dia bermain dengan anak kecil bernama Aron itu di taman.
"Edrick sering cerita soal kamu ke tante," dia memaggil dirinya sendiri dengan tante, sejak kapan gue menjadi salah satu keluarganya. "Edrick sering datang ke sini buat jenguk Aron, tapi belakangan ini dia bilang dia sibuk karena banyak pekerjaan di kantor."
Sekarang yang gue mau tanyakan adalah siapa anak laki-laki itu, kenapa bisa Edrick datang ke sini buat jenguk anak itu.
"Edrick anak yang baik, kamu beruntung bisa mendapatkan dia," tante Lisa, iya gue harus panggil dia begitu, dia tersenyum dan posisi duduknya sekarang ini lebih mendekat ke arah gue.
"A-apa hubungan Edrick sama anak itu?" Gue bukan orang yang biasa berbasa-basi apalagi kalau itu menyangkut seseorang yang sekarang statusnya adalah pacar gue. "Kenapa Edrick sering datang ke sini?" Mungkin gue terdengar kasar, tapi berbicara lamgsung pada intinya akan lebih nyaman ketimbang berbasa-basi terlebih dahulu untuk memberi kenyamanan sebelum berita buruk disampaikan.
"Aron, dia putra dari kakanya Edrick, Edward."
Maksudnya, kakaknya yang sudah meninggal? Bagaimana bisa, apa yang sebenarnya terjadi.
"Maksudnya? Kenapa dia di sini? Kenapa dia gak tinggal sama mamanya Edrick?"
* * *
"Kamu kaget, ya?"
Gue dan Edrick duduk di teras rumah, setelah selesai bermain dengan anak kecil bernama Aron itu, Edrick menghampiri gue yang duduk di teras sendirian.
"Maaf," ujar Edrick lagi.
"Apalagi yang belom lo ceritain?"
Dia menghela nafas kasar dan perlahan menggenggam tangan gue, gue mencoba menolak tapi Edrick menahannya.
"Inilah penyebab Edrwad meninggal, inilah penyebab keluarga gue hancur, Papa yang gak pernah pulang dan Mama yang depresi."
Aron adalah anak dari Edward dengan kekasihnya yang tidak disetujui oleh orang tua Edrick, terutama Papanya. Ibu Aron seorang pekerja seks komersial yang bertemu Edward dan kemudian dikencani oleh Edward. Edward meminta Diana-Ibu Aron-untuk berhenti dari pekerjaannya jika ingin memiliki hubungan yang serius dengan Edward dan Diana menyutujuinya, namun takdir berkehendak lain. Diana hamil dan tentu saja Edward mau bertanggung jawab untuk itu, namun Papa Edward melarang Edward untuk menikahi Diana dan meminta Diana menggugurkan kandungannya, bahkan meminta Diana untuk pergi sejauh mungkin dari kehidupan Edward.
Saat itulah, Edward meminta kepada Edrick untuk mencari tau keberadaan Diana dengan Ibunya dan juga anaknya, Aron."Diana ke mana?"
"Meninggal saat melahirkan Aron,"
Baiklah, gue paham sekarang kenapa Edrick merasa bertanggung jawab atas ini semua. Edward meninggal dan begitupun dengan Diana, bagaimanapun di antara Aron dan Edrick mengalir darah yang sama.
"Jadi, kenapa lo ajak gue ke sini?"
Dia melepaskan genggamannya dan merogoh saku celananya, yang gue lihat sekarang adalah dia mengambil sesuatu. Dia pegang tangan kiri gue dan memakaikan sesuatu yang orang-orang sebut itu cincin, di jari manis gue.
"Apaan?" Gue tatap dia dengan rasa marah atas semua ketidak jelasan ini.
"Kalian mau menikah?" Suara anak kecil itu terdengar, ternyata dia sudah berdiri tepat tak jauh dari hadapan kami berdua. "Jadi Daddy mau nikah sama laki-laki ini?"
Kenapa memangnya, apa yang salah kalau Edrick mau nikah sama gue.
"Iya," Edrick senyum dan elus kepala anak itu pelan, "nanti yang urus Aron, Momi." Edrick tujukan panggilan itu ke arah gue.
Kenapa dia seenaknya begini, tanpa ada diskusi, tanpa ada bicara sedikitpun. Gue merasa dia gak menghargai posisi gue sekarang ini.
Tbc ...