Seperti biasa di jam yang sama aku memasuki kedai kopi ini. Apa rasa kopi di sini segitu enaknya sehingga aku rela mengantri di sini setiap hari? Biasa aja lho padahal rasanya, nggak ada yang istimewa.
Yang istimewa itu baristanya, lelaki dibalik apron itu. Aku selalu memilih datang di jam segini karena hafal dengan jam kerjanya dan dia selalu mengambil shift yang sama.
"Hallo Ardi, biasa ya ...." Biasanya dia sudah hafal pesananku, Caramel Javachip pakai whipped cream dengan ekstra karamel.
"Hei, Syell, oke yang biasa ya ... segera siap."
Namaku Michelle, entah kenapa dia memanggilku seperti itu dan aku pun tidak pernah meralatnya, toh juga nggak salah-salah amat sih.
Hari ini dia merangkap sebagai kasir sekaligus barista mungkin karena nggak terlalu ramai. Karena di hari sibuk biasanya kasir dan peracik kopi dikerjakan orang yang berbeda.
"Sepi ya hari ini?" tanyaku basa-basi, padahal hanya supaya bisa ngobrol dengannya.
"Ya gitulah, kalau bukan hari promo ... rame di sini tu kalau pas promo aja." Masih sambil meracik kopi dia menjawab pertanyaanku.
"Tapi omset lumayan 'kan tiap bulannya, Ar?"
"Bagus kok, kan ada pelanggan tetap kaya kamu Syell yang bikin kedai kopi kita ini tetap exist," ujarnya sambil menyerahkan pesananku yang telah selesai dibuatnya.
Tapi aku sengaja tak langsung beranjak dari sana. Sungguh aku dibuat penasaran dengan sosok Ardi ini. Kadang dia ramah, kadang dingin bak kulkas. Seperti ada tombol on/offnya. Apa dia berkepribadian ganda, atau kembar atau ada hal lain yang dia sembunyikan?
"Woiii bengong ... ntar kesambet. Mikirin apa sih?" -Kamu- sayang itu hanya terucap di batinku.
"Ah, nggak, lagi mikirin deadline naskah-naskah yang harus kuedit, pusing deh ...."
"Dinikmati aja prosesnya, jangan dipikirin, nanti stres. Selama kamu enjoy dengan apa yang kamu jalani sebagai editor, ya lanjut, kalau udah bosan tinggal!" Mudahnya dia menasehati dan sepertinya kali ini Si Ramah yang sedang menasehatiku, bukan Si Jutek.
"Eh, Ardi mumpung sepi aku boleh nanya, gak?"
"Shoot!" jawabnya.
"Kamu kenapa sih kadang baik, kadang jutek, kamu moody ya? Atau ...."
"Atau apa? jangan mengada-ngada, aku ya beginilah. Kalau lagi jutek ... kebetulan aja kali, suasana hatiku lagi nggak baik saat itu. Tapi jarang kok itu, kamu nggak usah khawatir."
"Oh gitu ...."
Suara lonceng kecil yang menandakan keluar masuknya pengunjung, membuat kami berdua sama-sama refleks menengok ke arah pintu.
"Selamat datang di Cup & Cino!" serunya pada beberapa anak SMA yang baru masuk dan saling berebutan siapa yang akan menempatkan pesanan pada Ardi, Ardinya malah senyum saja melihat itu, merasa terhibur dengan tingkah konyol mereka yang belum punya beban hidup.
"Aku balik dulu Ar ...."
"Oh iya, Syell. Terimakasih, datang kembali ...."
Begitulah setiap hari aku selalu mengunjungi kedai kopi ini.
Suatu sore, sepulang kerja, aku berjalan lumayan cepat karena kulihat awan sudah bergelantung manja, karenanya aku ingin segera buru-buru sampai di mobil, tapi beberapa langkah lagi mencapai mobil aku dikejutkan dengan suara motor yang melintas terlalu dekat dengan tempatku berjalan dan memang salahku juga yang tidak memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Coffee
Short StoryKumpulan cerita one shot. Can be anything, depends on my mood. Slice of life, romance, metropop, atau bisa jadi horor. Sesuatu yang ringan, yang bisa kalian jadikan teman ngopi. Enjoy :)