Bagian 6 (Hasna)

12K 479 5
                                    

“Dek, aku mau menikah,” ujar suamiku tiba-tiba.

Bagai petir yang menyambar kilat tubuhku, tak ada angin tak ada hujan apa maksud dia bilang seperti itu?

“Jangan bercanda, Mas,” kataku. Mencoba menahan sesak yang kini mulai menyusup ke dalam dada. Karena aku tahu bahwa Mas Fariz bukanlah tipe orang yang senang bercanda atau bergurau.

“Dek, Mas tidak bercanda. Mas mau menikah,” ucapnya pelan dan serius, sembari tangannya menggenggam erat tanganku. Serta manik matanya yang lekat menatapku.

“Mas, apa yang kamu katakan? Ini tidak mungkin bukan?” kataku dengan air mata yang telah menggenang di pelupuk mata. Mencoba meyakinkan bahwa ini tidaklah benar.

“Maafkan aku, Dek ....” balasnya lirih.

Hancur. Hancur hatiku saat mendengar bahwa dia memang serius mau menikah lagi.

“Apa salahku, Mas? A-apa karena aku tidak bisa hamil? Apa karena aku sudah tidak sempurna? Apa aku sudah tidak layak lagi menjadi istrimu satu-satunya?” kataku dengan suara bergetar serta tangis yang kini tak mampu kutahan lagi.

Aku memang tidak bisa hamil.  Aku tidak bisa melahirkan keturunannya. Aku sudah tidak sempurna. Tidak lagi sempurna untuknya ....

“Tidak, tidak. Bukan itu, Dek,” balasnya sembari mencoba meraihku untuk dipeluk. Akan tetapi aku menghindar, aku menolak untuk dipeluknya.

“Lalu, apa Mas? Apa alasanmu mau menikah lagi? A-apa, apa karena aku sudah tak menarik lagi untukmu?” tanyaku kembali masih dengan air mata yang berderai.

“Kumohon tenanglah, Dek. Aku akan jelaskan semuanya!”

“Bagaimana aku bisa tenang, Mas? Kamu mau menikah, kamu akan mempunyai wanita lain selain aku. Aku tidak bisa tenang, tidak ... aku tidak bisa!” sergahku lagi. Mana mungkin aku bisa tenang jika suamiku akan bersanding dengan wanita lain.

“Maafkan aku, tapi semua ini tidak ada kaitannya denganmu, Dek. Kamu selalu sempurna buatku,” ucapnya dengan suara yang melembut. Sementara aku masih menangis.

“Lalu dengan siapa? Kamu selingkuh, Mas? A-apa selama ini kamu selingkuh di belakangku? Jawab Mas, jawab!” tanyaku lagi semakin histeris.

Jangan-jangan dia selingkuh, dan kini selingkuhannya minta dinikahi? Astagfirullah ... aku tak sanggup, Aku tidak sanggup jika itu benar adanya.

“Tidak, Dek. Aku tak pernah selingkuh darimu. Aku setia denganmu. Cuma kamu. Ya, cuma kamu istriku,” sanggahnya sembari berjalan mendekat ke arahku.

“Kalau hanya aku, kenapa kamu mau menikah lagi? Tidak cukupkah aku sebagai istrimu, Mas?”

Sakit, sakit sekali ... jika hanya ada aku, kenapa dia mau menikah lagi?

“Ini semua, karena permintaan adikku, Fahmi. Dia memintaku untuk menikahi istrinya,” jelasnya yang membuatku terhenyak tidak percaya.

Fahmi? Mas Fariz mau menikah dengan adik iparnya sendiri?

Tidak. Itu tidak mungkin. Aku menggeleng, menggerakan kepalaku sebagai tanda jika aku tidak percaya dengan alasan mustahil seperti itu.

Bahkan, kini sudut bibirku tertarik membentuk senyum hingga mengeluarkan tawa dan tangis disaat bersamaan.

Ini terlalu mustahil dan sangat tidak masuk di akal. Mana mungkin seorang suami rela meminta dan membiarkan istrinya dinikahi oleh orang lain, meski itu dengan kakaknya sendiri.

“Omong kosong! Jangan mengada-ada kamu, Mas. Itu mustahil,” ucapku berapi-api. Mendesaknya untuk menyangkal alasan konyol itu.

“Aku serius, Dek. Aku berani bersumpah kalau memang Fahmi yang memintaku menikahi istrinya, Farah,” balasnya tegas. Meyakinkanku untuk mempercayai ucapannya.

          

“Lalu kamu mau, Mas? Kamu menyetujui menikahinya? A-apa kamu tidak memikirkan aku? Aku istri kamu, Mas ....” teriakku histeris. Lalu menangis, meraung, melihatkan diriku yang begitu tak rela membiarkannya menikah lagi.

Mengapa kamu begitu tega, Mas?!

“Aku memikirkanmu, bahkan aku telah memendam ini dari semenjak Fahmi sakit sampai akhirnya meninggal. Aku pun tak kuasa untuk mengatakan ini padamu, Dek. Terlalu berat,” jawabnya lirih. Lalu bergerak gusar dan menjambak kasar rambutnya sendiri.

“Lantas mengapa kamu menyetujuinya, Mas? Bukankah, kamu bisa menolak dengan alasan kamu sudah punya ISTRI?”

“Tidak semudah itu, Dek. Aku sudah mencoba menolak. Tapi, dia terus memohon dan aku tak tega melihat dia yang kesakitan bahkan menjelang ajalnya dia terus memohon padaku,” jelasnya yang membuatku kini melihat ke arahnya.

“Aku bingung, Dek. Aku tak mau menyakitimu. Tapi, aku sudah berjanji pada Fahmi,” jelasnya lagi. Sedangkan aku masih menangis sesenggukan. Begitu malang nasibku, ya Allah ....

Aku tidak percaya. Sungguh, aku tidak percaya jika hal seperti ini akan terjadi.

“Jika kamu enggan memberi izin, aku pun tak akan memaksa dan tidak akan pernah menikahinya. Biarlah janjiku pada Fahmi menjadi hutangku sampai akhirat kelak. Aku akan memilihmu, Dek,” katanya lagi padaku.

Aku bergeming, melihatnya dan menatap lekat netranya. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat? Aku tidak ingin dia menikah lagi. Tapi ... aku juga tidak ingin membuat dia, aarrgh ...

“Beri aku waktu.”  akhirnya aku mengatakan itu. Meski sakit tapi aku juga tak bisa egois, aku mencintai Mas Fariz, dan aku tak mau jika dia mengabaikan hutang janjinya pada almarhum adiknya hanya karena aku.

Aku tak mau menjadi istri yang rela membiarkan suaminya terus dihantui rasa bersalah karena janjinya. Janji adalah utang, utang yang tentu harus dibayar.

“Dek—”

“Beri aku waktu, Mas!” selaku memotong kalimatnya. Lalu tangis kembali berderai, bahkan terdengar lebih kencang.

“Terima kasih, Dek. Maafkan aku ....” ucapnya sembari meraihku ke dalam pelukannya, serta mencium puncak  kepalaku dengan lembutnya.

*****

Tiga bulan kemudian, aku rasa sudah cukup waktu yang kugunakan untuk berpikir serta menguatkan mental jika seandainya aku benar-benar dimadu.

Dalam waktu ini pun benar-benar kugunakan untuk terus memohon pada yang kuasa agar selalu melapangkan serta mengikhlaskan hati. Diberikan kesabaran serta dijauhkan rasa cemburu yang berlebih tatkala nanti dia menikah lagi.

Memanglah tidak mudah untuk membiarkan suami kita berpoligami, tapi jika kita melakukannya untuk membantunya keluar dari kesulitan, mungkin tidak apa aku akan mencoba menerima itu.

Kesulitan? Ya, kesulitan karena telah berjanji dengan orang yang sudah meninggal. Sebuah janji Mas Fariz pada adiknya.

Bukankah janji adalah utang? Utang yang tentunya harus dibayar. Dan aku tak mau jika suamiku berutang dan tidak membayarnya.

Aku pernah mendengar tentang jika seorang istri menerima poligami suaminya dengan tetap berlaku baik kepadanya dan kepada istri keduanya, maka baginya pahala orang-orang yang berlaku baik.

Seperti dalam firman Allah :
Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. Yusuf: 90)

Wanita yang bersabar karena suaminya yang berpoligami bisa dilihat dari Ibnu Mas’ud yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda ”Sungguh Allah telah menetapkan rasa cemburu kepada para wanita, dan menetapkan jihad kepada para laki-laki. Barang siapa di antara mereka (para wanita) bersabar karena iman dan penuh pengharapan, maka baginya sama dengan pahala orang yang mati syahid.” 

Dan kini aku berharap bahwa akulah salah satu wanita itu, wanita yang bertaqwa dan mampu bersabar karena iman. Serta, dapat benar-benar menerima dengan ikhlas suamiku untuk menikah lagi.

Dengan kemantapan hati, aku ikhlas dan mengizinkan suamiku menikah lagi. Menerima madu di dalam rumah tanggaku. Mengalah pada takdir yang sudah diberikannya untukku.

“Mas, insya Allah aku mengizinkanmu untuk menikahinya,” ucapku pada Mas Fariz.

“Dek, jangan dipaksakan. Aku tak mau menyakitimu,”

“Aku sudah ikhlas, Mas. Sudah cukup waktu yang kemarin kupinta untuk memikirkan ini,”

“Apa kamu sudah benar-benar memikirkannya? Maksudku, jika pernikahan ini terjadi tentu aku harus bersikap adil. Termasuk, mungkin kasih sayangku harus aku bagi,”

“Aku paham. Asalkan kamu benar-benar adil, kamu bisa membagi segalanya dengan bijak,”

“Kamu serius, Dek?”

“Ya, aku serius. Aku tak mau membiarkan suamiku dalam kebimbangan karena keegoisanku. Kamu sudah berjanji pada adikmu, dan kamu punya kewajiban untuk membahagiakanku sebagai istrimu. Namun, karena adikmu sudah tiada sedangkan aku masih ada, jadi biarlah aku yang mengalah. Dan mengikhlaskan takdir yang harus ku terima yaitu berbagi suami dengan wanita lain,”

“Apa kamu akan bahagia jika aku menikah lagi?”

“Insya Allah, aku akan berusaha,”

“Masya Allah ... aku tak tahu kata-kata apa yang harus kukatakan untuk wanita sepertimu. Wanita dengan segala kerendahan hati juga penuh kesabaran. Aku mencintaimu, Dek. Sangat mencintaimu ....”  ucapnya lalu merengkuhku kedalam pelukannya.

*****

Dua bulan berlalu sejak aku mengizinkan Mas Fariz untuk menikah lagi. Dan sejak itu juga, aku beserta Mas Fariz datang menemui Farah untuk melamar dan menjadikan dia maduku.

Akan tetapi, saat itu Farah pun meminta waktu lagi untuk memutuskan menikah dengan Mas Fariz, dia bilang masih berduka dan butuh waktu untuk benar-benar siap.

Dan akhirnya tibalah hari ini sebagai waktu yang disepakati Farah dan Mas Fariz untuk melakukan ijab qabul.

Sakit? Itu pasti, tapi aku menganggap bahwa inilah ujian terbesarku di dalam sebuah rumah tangga.

Bukankah, setiap rumah tangga akan diuji? Meski dengan ujian yang berbeda-beda? Dan, inilah ujianku. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, tapi bukankah aku harus melewatinya? Sebagai bukti bahwa aku mampu menjalaninya?!

“Saya terima nikah dan kawinnya Farah Hisyam binti Rudi Hisyam dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Bagai ditusuk ribuan jarum yang rasanya sakit sekali menusuk hingga bagian terdalam hati ini, menjadi luka paling perih yang tak dapat dilihat siapapun. 

Mendengar dan menyaksikan langsung ijab qabul, yang berarti bahwa sekarang Farah adalah sepenuhnya tanggung jawab Mas Fariz, dan telah sah menjadi istri kedua Mas Fariz sekaligus menjadi madu untukku.

Ya Allah, semoga Engkau meridhoi pernikahan suamiku, juga meridhoi pengorbananku.

Bulir bening menetes, menandakan bahwa aku telah sakit juga bahagia. Sakit karena suamiku menikah lagi, dan bahagia karena aku merasa mampu berada dititik ini.

Bersambung ....

Kasihan Hasna, demi cintanya yg besar pd suami, dia tak ingin Faris merasa bersalah dan berhutang pd Fahmi. Fahmi  tega bgt demi kebahagiaan istrinya hrskah merusak rmh tangga iparnya, wasiatnya knp bgt nyeleneh

4a atrás

Mgkn sdh jalan takdirnya..semoga ikhlas dlm menjalaninya.. Hasna wanita baik..

4a atrás

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang