Park Namjoon dulu pernah bermimpi, bahwa suatu hari nanti ia akan meminang seorang wanita yang dicintainya. Membangun rumah sederhana di pinggiran kota, meminum secangkir teh di kala senja, dan menua bersama sembari duduk di sofa tua. Ah, jangan lupakan dengan anak-anak, serta-merta cucu yang manis. Akan tetapi kini, rasanya amatlah mustahil bagi seorang Namjoon untuk mewujudkan impian-impian tersebut. Semuanya mendadak semu dan sukar digapai.
Mendesah berat dengan beban pikiran yang dipikulnya seorang diri, Namjoon tak berpikir dua kali untuk lekas menarik tuas pintu di hadapan dan mendorongnya pelan. Sepersekian detik berlalu, maniknya sekonyong-konyong terpaku pada entitas seorang wanita yang terjaga di atas ranjang. Tungkai si Park itu kemudian berayun pelan—agak sedikit tertatih sebab salah satu alat geraknya digantikan oleh sebuah kruk.
"Hei," sapa Namjoon—agak canggung. "Bagaimana kabarmu?"
Si wanita yang tengah berbaring—Ash, menoleh ke sumber suara. Sepasang netranya kemudian menemukan sosok pria jangkung dengan surai hitam yang disisi rapi tengah menempatkan diri di salah satu kursi. Mereka bersitatap selama beberapa detik sebelum Ash menjawab agak serak, "Baik, kurasa." Berdeham sebentar, Ash merasakan kerongkongannya seperti baru saja diperas hingga kering kerontang. "Aku agak sedikit haus, bisa kau ambilkan aku minum?"
Namjoon tersenyum kecil. Sempat membantu Ash untuk merubah posisi yang semula berbaring menjadi duduk dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang, sebelum jemari terampilnya berakhir melingkupi gelas bening di atas nakas.
Bagai anak kucing yang terlantar di tepi jalanan, Ash menenggak air tersebut dengan rakus—bahkan ia tak memedulikan buliran air yang jatuh ke ceruk leher. Hati Namjoon mendadak berdesir hebat. Bahkan dengan hal-hal kecil semacam ini, Namjoon bisa merasakan bahwa ia kembali jatuh ke dalam jurang bernama cinta. Sungguh, rasanya ingin sekali Namjoon memeluk tubuh ringkih itu, mengecup keningnya berulang kali dan mengatakan bahwa ia teramat merindu.
Namun di sana, Namjoon hanya bergeming—terpekur menatap Ash yang kini menjauhkan bibirnya dari gelas, punggung tangannya bergerak mengusap bagian yang basah.
"Sudah," ujar Ash pelan. "Terima kasih banyak, Namjoon."
Mengangguk samar, Namjoon bisa merasakan getir yang terkecap di dalam mulut. Rasanya sangat asing, pula aneh. Padahal mereka adalah dua insan yang pernah menjalin kasih (barangkali hingga detik ini), tetapi kini status mereka hanya sebatas orang asing yang tahu-tahu saja tinggal dalam lingkup atap yang sama.
"Di mana dia?" Namjoon menaikkan salah satu alisnya, tidak mengerti. Namun, ketidakmengertian itu langsung luruh tatkala Ash melanjutkan, "Jimin."
Oh, Tuhan.
Namjoon tergelak dalam benaknya. Pantaskah? Pantaskah pertanyaan tersebut terlontar dari katup bibir Ash?
Rasanya seperti dikuliti hidup-hidup dan dicelupkan ke dalam lautan. Sakit, sakit sekali. Namjoon sekonyong-konyong merasakan bumi berhenti berputar untuk sesaat. Telinganya berdengung kendati tak ada satu pun suara yang sambangi rungu. Sejemang, Namjoon membeku. Lidahnya kelu untuk mengeluarkan barang sepatah kata. Sorot nanar terlukis jelas pada iris redupnya. Dalam hening yang hinggap, Namjoon coba menyuarakan luka pekat yang bersarang di dalam dada. Namun Ash di sana, nampaknya tak juga mengerti, atau mungkin memang tidak mau mengerti.
Kendati hatinya terasa seperti dicabik hingga menjadi potongan yang kecil-kecil, Namjoon tetap mengulas senyum simpul, memberi penjelasan tanpa ada campur tangan dari dusta sedikit pun, "Ji—jimin sedang ada urusan dengan temannya. Mungkin petang nanti dia akan kemari."
Ash mendengus; kesal, barangkali. "Kenapa dia tidak bilang padaku, ya?" gumamnya pelan. Namjoon yang mendengar hanya bisa menegakkan punggung, mati-matian berusaha untuk tidak meloloskan kristal bening dari pelupuk matanya yang memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen, Before You Fall | ✔
Fanfiction[COMPLETED] Tiga belas Oktober adalah hari di mana titik balik kehidupan seorang pemuda bernama Park Jimin dipertaruhkan. Bersama dua rekan berengseknya, dia menjerumuskan diri menuju kubangan dosa yang dunia sebut sebagai kenikmatan sementara. Jimi...