Halo... Hwang Hyunjin disini.
Uhm.. aku izin buat ambil alih dulu ceritanya, ya.
Sekali aja kok, buat ceritain semuanya tentang diri aku. Termasuk siapa aku sebenarnya.
Akunya jangan dibully ya, huhuhu.
Dua tahun lalu, orang tua ku meninggal dunia. Aku benar-benar terpukul dengan kenyataan tersebut. Ditambah lagi saat rumah yang aku tempati disita oleh petugas Bank, karena ayah dan ibu gak bisa melunasi hutang-hutangnya.
Aku gak punya siapapun, aku gak tau harus pergi kemana. Ada beribu ketakutan dalam benakku, ketakutan akan seperti apa aku di masa depan? Bagaimana aku bisa menyikapi dunia yang keras ini? Pikiran ku buntu.
Saat itu, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa menyusul ayah dan ibu di surga. Hingga pada akhirnya, di musim dingin, yang terasa lebih dingin dari biasanya. Aku berjalan menyusuri jalanan sepanjang sungai Han.
"Apa aku masih punya harapan hidup?" Batin ku.
Aku pikir memang dunia ini akan semakin keras, untukku. Aku gak bisa melakukan apapun yang bisa membuat kehidupan ku lebih baik. Jadi aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya, hari itu juga.
Namun siapa sangka, rupanya Tuhan berbaik hati memberikan aku sedikit harapan, pada wanita tua yang tiba-tiba menarik ku menjauh dari besi jembatan yang sudah aku naiki.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, kecuali dia hanya memelukku dengan erat. Membiarkan aku menumpahkan semua air mata yang telah aku pendam.
"Enggakpapa, kalo mau nangis. Bibi percaya kamu cuma sedang lelah. Ayo menangis lebih kencang, luapkan semuanya sekarang." Suaranya sangat lembut, begitu pula dengan sentuhan tangannya yang lembut menyentuh kepalaku.
Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya seperti aku mendapatkan kembali pelukan seorang ibu. Seketika itu juga aku mendapatkan ketenangan yang gak pernah aku dapatkan setelah kepergian orang tuaku.
"Kamu tinggal dimana?" Ucapnya.
"A-aku gak punya rumah, Bi. Kemarin rumah peninggalan orang tuaku disita oleh petugas Bank."
"Kamu mau tinggal dirumah bibi?"
Ya Tuhan orang ini sangat baik.
"Bolehkah?"
"Tentu saja, bibi punya banyak anak. Dan kamu bisa menjadi salah satunya."
Awalnya aku gak ngerti kenapa bibi ingin mengangkat ku sebagai anak. Tapi ternyata maksud dari ucapannya itu berbeda dari apa yang aku artikan. Bibi memang punya banyak anak, tapi anak biologis bibi cuma 2 orang. Dan ternyata bibi adalah pemilik sebuah panti asuhan. Tuhan sangat baik mempertemukan ku dengan bibi Han, dan aku bersyukur untuk itu hingga hari ini.
Aku tinggal dengan baik di panti asuhan milik bibi Han. Bukan cuma itu, aku juga berteman baik dengan Han Ji-Sung, anak bungsu dari Bibi Han yang masih seumuran dengan ku. Han Ji-Sung sekarang tinggal di Kanada untuk bersekolah, dia mengizinkan aku untuk menempati kamarnya dan menjaga bibi Han yang kini sudah semakin menua. Aku sangat menyayangi Bibi Han seperti ibuku sendiri. Itulah kenapa aku mengurusnya setiap hari, aku gak mau kehilangan orang tua lagi.
Suatu hari, anak-anak panti berhamburan keluar, aku bingung kenapa mereka berlarian seperti itu. Lalu Ji-Sung memberitahukan ku kalau ada seseorang yang datang dan membagikan eskrim gratis.
"Eskrim gratis?" Aku menatap Ji-Sung kebingungan.
"Iya, Noona pasti kesini."
Tanpa memberikan penjelasan yang cukup, Jisung ikut berlari bersama anak-anak yang lainnya. Baiklah, aku tidak tau siapa itu Noona yang dia maksud, yang jelas aku juga ikut berlari menyusul Ji-Sung untuk mengantri eskrim gratis.
Kalian tau apa yang lebih menarik disini? Bukan eskrim, tapi orang yang disebut Noona oleh Ji-Sung. Dia sangat cantik dengan balutan dress berwarna putih selutut. Benar-benar membuat ku salah fokus.
"Ini eskrim mu, belajar yang baik ya." Ucapnya seraya memberikan ku satu mangkuk kecil eskrim rasa strawberry. Lalu tangannya mengusak pelan rambutku.
Hwang Hyunjin, 16 tahun, jatuh cinta pada seorang Noona yang bahkan tidak dikenal namanya.
Rasa penasaran ku yang besar tentang siapa Noona tersebut membawaku datang ke kamar Ji-Sung malam itu. Aku lebih terkejut saat melihat Ji-Sung mengemasi barang-barangnya. Dia akan pergi kemana? Kenapa tidak pernah memberitahukan ku sebelumnya kalau dia akan pergi?
"Ji-Sung, kamu kenapa mengemasi barang-barang kayak gini?" Aku duduk tepi ranjang Ji-Sung.
"Ah Hyunjin, aku lupa kasih tau kamu. Besok aku pergi ke Kanada. Aku akan melanjutkan sekolah disana." Ji-Sung tersenyum sedikit. Tapi hatiku rasanya sangat sakit melihat Ji-Sung tersenyum seperti itu.
"Kalo kamu pergi, nanti siapa yang jadi temen aku disini? Aku cuma akrab sama kamu, Han Ji-Sung."
"Berbaurlah dengan yang lain, Hwang Hyunjin. Aku percaya kamu akan baik-baik saja disini. Oh ya, kamu bisa tidur disini dan aku minta tolong jagain ibu."
Aku menangis, tentu saja ada perasaan tidak rela saat Ji-Sung akan meninggalkan ku sendiri disini. Walapun memang aku tidak benar-benar sendiri. Sebab Ji-Sung adalah orang pertama yang merangkul ku, dan mengajakku berbicara disini.
Saat ini Ji-Sung kembali memelukku, dan berkata kalau dia tidak akan lama pergi dari rumah. Tapi tetap saja, aku menangis.
"Hyunjin, kamu juga harus jadi orang hebat. Belajarlah dengan baik, seperti yang Noona katakan."
Perihal Noona, sebaiknya aku mencari tahu siapa dia sebenarnya, sebelum Ji-Sung benar-benar pergi.
"Han Ji-Sung, kamu mau gak ceritain semuanya tentang Noona?" Ujarku, lalu Ji-Sung melepaskan pelukannya.
"Tentang Noona? Baiklah aku akan menceritakan siapa dia sebenarnya."
Aku duduk berhadapan dengan Ji-Sung diatas tempat tidurnya. Dengan antusias aku mendengarkan semua yang Ji-Sung ucapkan, semua ceritanya tentang Noona.
"Namanya Noona y/n. Dia donatur tetap disini. Dia juga yang kasih aku beasiswa di Kanada. Noona itu baik banget, setiap bulan dia pasti kesini cuma sekedar buat nyapa anak-anak panti, atau bagi-bagi makanan kayak tadi." Jelas Ji-Sung. Hatiku menghangat saat mendengar cerita Ji-Sung tentang Noona.
"Noona pasti orang kaya, dia juga cantik ya."
"Aku pernah denger sebenernya Noona bukan dari kalangan orang kaya. Tapi suaminya kaya raya. Kadang juga ikut kesini, tapi udah jarang karena sibuk."
"Oh jadi Noona udah punya suami?"
Ji-Sung hanya menganggukkan kepalanya.
Hwang Hyunjin, patah hati sebelum memiliki.
"Noona pernah bilang kalau aku juga harus sukses. Biar tetep bisa mengurus panti asuhan ini dengan baik. Noona sama suaminya berjasa besar buat kita semua."
Hatiku sedikit teriris mendengar bagaimana berjasanya keluarga Noona bagi keberlangsungan panti asuhan yang sekarang menjadi rumahku juga. Bagaimana bisa aku meraih Noona? Sedangkan dia seperti berlian mahal yang tidak mampu aku jangkau.
Bulan selanjutnya Noona kesini lagi, kali ini bersama anak dan suaminya. Anaknya kembar, benar-benar menggemaskan. Aku mengajak mereka bermain sambil sesekali memperhatikan Noona dan suaminya yang sedang mengobrol dengan bibi Han. Noona cantik, suaminya juga tampan.