Bab 7

17 2 0
                                    


“Pil”

    Aku enggan berbicara selama perjalanan. Merci sepertinya menyadarinya, sehingga sejak kami berdua beranjak dari poros rumahku. Ia juga berdiam diri dalam bisu. Setelah berkendara selama beberapa menit, mobil Merci melambat. Apa kita akhirnya tiba ditempat pesta rahasia milik Merci. Namun, ketika aku keluar dari dalam mobil. Aku tak percaya dengan apa yang kedua mataku tunjukan. 

    Bangunan itu jelas masih terlihat sama seperti terakhir kali aku mengunjunginya. Aku memandang Merci, mencari tahu jika ia serius atau tidak dengan semua ini. Merci tak menunjukan ekspresi apapun, ia hanya menatapku santai lalu menutup pintu mobilnya. Saat itulah aku tahu ia tak bercanda. Apakah setelah semua hal yang telah aku lakukan padanya malam ini, ia masih berani mempermainkanku.

    Aku terpaku meratapi hotel setengah jadi itu. Bangunan itu masih terlihat mengerikan. Seharusnya tak lagi kubiarkan kakiku menginjak tempat itu lagi, mengingat bangunan itu memiliki cerita tersendiri mengenai diriku. Merci berjalan santai memasuki perkarangan hotel itu, aku menyusulnya kemudian. Persetan, mari lihat. Kejutan apa lagi yang Merci hendak tunjukan padaku, dan aku harap ia tak mengecewakanku. 

    Kami merangkak masuk kedalam lorong-lorong gelap bangunan hotel. Sekarang ketika aku sudah tak lagi dibutakan oleh kehilafan sesaat itu, aku tak yakin jika aku akan berani memasuki tempat ini seorang diri. Setelah berjalan-jalan santai menyusuri aula yang semestinya merupakan lobi itu, kami tiba dimuka tangga. Tak kusangka jika aku akan memijakan langkah kakiku ke anak-anak tangga sialan itu lagi. Setelah melalui satu persatu anak tangga itu. Aku dan Merci akhirnya tiba di teras teratas bangunan hotel. Pemandangan lantai itu membuatku tertegun. Aku tak yakin jika Merci lah yang mengecet habis seluruh tepian pagar teras. Bahkan ia menggambar beberapa mural disana. Ditengah teras itu kulihat sebuah gentong barisi bara api masih menyala kemerahan. Rupanya ada yang baru saja menyalakan api unggun disana.

“Itu baraku. Aku yang membakarnya sebelum kerumahmu.” jelasnya, tetapi aku tak menghiraukan. 

    Perhatianku justru teralihkan ke salah satu titik paling sentimental untuk hidupku. Aku berjalan santai mendekati pagar pembatas yang memisahkanku dengan lantai terbawah bangunan. Aneh rasanya melihat tempat itu. Kusentuh dengan lembut balok beton yang notabenenya pernah kupijak sebagai alasku untuk melompat. Kurasakan cipratan kenangan tentang malam tahun baru itu kembali menyegarkan ingatanku.

“Kau tak akan berupaya untuk lompat lagi, bukan?” cetus Merci yang kini sibuk menumpuki kayu-kayu baru diatas bara sisa itu. Ia bahkan sudah menyiapkan dua kursi pelastik untuk bersantai. “Karena projectku saja belum kumulai..”

“Project apa?” tanyaku tanpa berbalik.

“Masih rahasia.. Malam ini kita fokuskan saja untuk berpesta. Aku punya sekantung Marshmallow dan coklat batangan. Kita akan memanggang some more. Mengerti? ‘S-more’” tuturnya. 

Aku berbalik kemudian menatap Merci. “Aku terus mencoba mencari tahu alasan kenapa kau selalu muncul dalam hidupku selama beberapa bulan kebelakang ini, tetapi aku benar-benar tak bisa menemukan satu pun alasan yang cukup masuk akal untuk bisa kupegang. Hingga malam ini..” jelasku. Merci tak lagi melemparkan potongan-potongan kayu itu. Aku tahu jika kini ia mendengarkanku. “Aku mengakuinya, Merci. Ya, benar. Aku memang ingin mengakhiri hidupku malam itu.” jelasku. Merci menatapku balik, kali ini wajahnya serius. “Tetapi alasannya bukan itu. Kamu tahu benar bukan itu yang kau inginkan. Kau memang sudah tahu aku akan melakukannya malam itu. Kau hanya ingin tahu kenapa?” tungkasku. Merci kemudian mendekatkan ujung korek api yang menyala itu ke tumpukan kayu yang sudah dilapisi dengan bahan bakar. Dalam sekejap api  itu langsung meletup dan membungkus habis setiap ruang yang ada didalam gentong. Merci kembali menatapku, berharap aku melanjutkannya. Aku tersenyum sinis. “Ayahku memiliki masalah tempramen. Ia memperlakukan kami dengan sangat buruk.” jelasku. “Pernah kah melihat seorang ayah mengikat kedua tangan da kaki anaknya kemudian menggantungnya terbalik selama berjam-jam hanya karena ia lupa menyemir sepatu beliau. Pernahkah kau melihat ibumu bermandikan kopi hanya karena rasanya yang tak sesuai biasanya.” tambahku lagi. “Bagaimanapun, aku tak tahu apa yang terjadi pada keluargamu, mungkin saja kau mengalami hal yang lebih buruk dariku. Namun, ini perbedaan antara kau dan diriku. Aku tak perduli dengan hidup orang lain. Aku tak mengganggu mereka hanya karena rasa penasaranku.” cegatku. “Aku belum selesai.. Itu adalah hari ulang tahunku, seperti saat ini. Aku begitu ingin merayakannya. Lucu.. karena selama ini aku tak pernah sekalipun menginginkannya. Jadi, kami berempat memutuskan merayakannya direstaurant terdekat. Jaraknya hanya dua kilo meter dari rumahku, merci. Namun, kau tahu apa yang terjadi? Sebuah bis menabrak mobil kami. Dan dari semua orang yang mungkin ibuku paling inginkan untuk selamat, Ardan menjadi satu-satunya korban malam itu. DI HARI ULANG TAHUNKU, MERCI. AKU MEMBUNUH SAUDARAKU.” tungkasku.  Merci bangkit dari kursinya, aku bisa melihat bola matanya berkiluan karena air matanya yang menumpuk. “Ayahku memutuskan untuk pergi dari rumah setelah kejadian itu. Pengecut sialan itu, pergi tanpa pernah memohon maaf atas semua hal yang pernah ia lakukan pada keluargaku.” 

“Aku minta maaf, Qafi!” mohonnya sembari mendekat. Aku melangkah mundur, sementara Merci terlihat gelisah saat itu juga. Ia tahu aku hanya perlu melompat cukup jauh kebelakang untuk bisa terbang bebas ke lantai terbawah dan tewas. “Qafi! Sudah cukup! Aku mengerti sekarang. Aku tak akan menganggumu lagi.” pintanya.

Aku memicikan mataku, aku belum puas sekarang. “Oh, ayolah. Kau tak ingin mendengar bagian terbaiknya?” tanyaku. “Saat itu tanggal 30 desember tahun lalu, tepatnya baru beberapa bulan yang lalu, ketika aku menemukan surat diagnosis kanker stadium 3 di selaput kiri otak ibuku.” tambahku. “Wanita yang menyuguhimu segelas teh dan roti beberapa jam yang lalu, wanita itu, ibuku.” lanjutku. Merci telah menitihkan air mata, ia berjalan mendekat sembari mencoba menggapaiku. 

“Aku tak pernah sempat meminta maaf kepada Ardan atas semua hal yang menimpanya, ataupun membuat hidup ibuku menjadi lebih baik.” jelasku lagi. “DAN AKU BAHKANMARAH PADANYA KETIA IA TANPA SENGAJA MEMANGGILKU ARDAN?” pekikku.

Aku tak bermaksud untuk membuatnya Merci menangis. Namun, efek anti depresan itu bekerja dengan baik. Pil itu membuat perasaanku menjadi tumpul. Aku hanya merasa kurang nyaman dengan pemandangan itu. Jadi, kuhentikan langkah mundurku untuk membuat rasa khawatir Merci mereda. Saat itulah Merci langsung menggapai tubuhku, memelukku erat, ini kali keduanya melakukan itu padaku.

“Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku, Qafi.” pekiknya. 

“Aku ingin mati malam itu, merci. Karena aku tak yakin bisa bertahan hidup seorang diri.” tuturku santai sembari menatap datar api yang bergoyang-goyang karen tertiup angina itu. Bisa kurasakan air mata Merci mengalir dan membasahi bahuku. “BTW, selamat ulang tahun!” tambahku lalu melepaskan diri dari pelukan Merci kemudian beranjak pergi. 

Kali ini aku tak mendengar langkah Merci mengikutiku. Aku cukup lega dan kosong disaat yang bersamaan. Aku tiba-tiba tersadar jika selain Helma, mungkin Merci adalah satu-satunya yang tahu semua masalah yang ada di dalam hidupku. Namun, tunggu sebentar. Helma saja bahkan belum mengetahui tentang kanker ibuku itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksinya ketika mendengarnya kabar mengenai ibuku, ia mungkin akan membunuhku gara-gara menyembunyikan kabar itu darinya selama ini. Aku tiba-tiba merindukanya Helma. Aku harap ia ada disini bersamaku sekarang.

Aku akhirnya tiba di lantai terbawah. Sialnya aku lupa jika saat ini sudah pukul 2 dini hari. Tak ada angkutan umum yang berkeliaran selain begal, dan pereman pasar malam. Aku menghela nafas, kemudian berjalan santai menyusuri jalan protokol yang lumayan luas. Ruang jalan begitu sepi dan renggang, aku bahkan tak bisa menemukan satupun kendaraan yang melaju di jalur itu. Anehnya, aku tak takut sama sekali. Seperti yang aku bilang sebelumnya, pil itu mungkin membuatku terbangun pagi ini tanpa perasaan apapun. 

Keheningan malam ini adalah keheningan terindah yang pernah aku miliki disepanjang hidupku. Hal ini membuatku tersadar. Kenapa aku menghabiskan waktuku di atas kasur setiap malam hanya untuk berkutat dengan insomnia. Padahal aku bisa saja keluar sembari menikmati segarnya udara malam yang di penuhi embun segar itu.

Namun, baru 15 menit aku berjalan kaki ditengah kesunyian malam itu. Sebuah mobil berhenti tepat di sampingku. Merci membuka jendela mobilnya. Ia tersenyum santai seperti biasa, sementara rambut merahnya terlihat menyala bahkan saat ia berada di dalam balutan bayangan mobil sekalipun. Aku tak berhenti melangkah, sementara Merci juga terus memacu pelan kendaraannya mengikutiku.

“Setidaknya biarkan aku memberikanmu tumpangan, Qafi!” pintanya. 

Aku menggeleng. “Tak perlu rumahku tak jauh lagi dari sini.”

“Apa yang kau bicarakan? Rumah diporos kota, qafi. Ini jalur menuju kota sebelah. Masuklah!” tambahnya. Aku melirik jalanan yang ada di hadapanku. Rupanya ia memang benar. “AYO!” pekiknya lagi. Aku mengangguk perlahan, dan segera masuk kedalam mobil.

“Aku bahkan tak tahu sudah berapa persimpangan kulewati untuk menemukanmu.” Gumamnya sembari memutar stir, dan kembali memacu mobil memecahkannya suasana malam yang tenang itu.

PROJECT MWhere stories live. Discover now