"Bu, apakah Ibu tahu di mana rumah tinggal, tempat, berdiam, bermukim, kediaman tempat tinggal rumahnya Ibu Kuyang?" tanya seorang Bapak jaket kulit hitam dengan celana kain hitam pula. Pecinya jangan ditanya "hitam pula"
Amelia ternganga dengan sedikit menggaruk kepala bagian belakangnya. Bagaimana tidak, ia tercengang ketika orang itu datang di tengah ralut malam dan berbicara dengan dialog terbalik begitu. Saat ini ia sedang berdiri di depan pintu rumahnya sendiri (iya, rumahnya sendiri. Masa di depan rumahmu sih).
Amelia mengatupkan mulutnya dengan cepat setelah seekor lalat masuk ke mulutnya. Mengunyah lalu berbicara, "Bapak ngomong apa sih, saya tidak paham?"
Bapak tadi juga tercengang. "Daya tangkap jurus memerangkap lalatnya sungguh canggih. Patut ditiru," batinnya. Ia pun menutup mulutnya yang sempat terbuka ketika melihat kesaktian lawannya barusan. "Begini, apakah Ibu melihat, menemukan, mengetahui, rumah, kandang, markas. Ibu Kuyang?"
"Astaga! Orang ini ngomong apa juga?" Amelia memijit pelipisnya lantaran pusing mendengar pertanyaan tepuntal tepulilit(melilit-lilit hingga kusut) orang itu. "Apakah yang Bapak maksud kediaman Bu Kuyang?" tanya Amelia.
"Betul, benar, tepat sasaran. Sungguh jawaban yang daku inginkan," jawab si Bapak.
"Sebelum saya kasih tahu, bolehkah saya tahu siapa gerangan nama Anda?" tanya Amelia dengan nada sama untuk menyeimbangi lawan bicarannya.
"Saya adalah Lurah. Saya bermaksud ke rumah Bu Kutang-eh! Maaf, maksud saya Bu Kuyang. Nama saya adalah Bersilat Lidah," jawabnya dengan serius, namun Amelia hampir tertawa lepas.
"Oke, oke, oke!" Amelia menahan tawa. "Rumahnya di sana yang ada pintunya," goda Amelia dan polosnya si Lurah mengangguk dan pergi begitu saja.
Baru tiga langkah pemuda ... maaf, salah maksud saya lelaki itu (kan tidak lucu kalau tua disebut pemuda), ia berhenti kemudian berbalik dan dengan cepat bersalto sebanyak sepuluh kali menuju Amelia yang hampir terperosok ke dalam selokan saat hendak masuk ke dalam rumahnya, lantaran melihat pemuda-eh! Lelaki itu beraksi layaknya seorang pendekar.
"Di mana gerangan rumahnya, sejauh mata memandang semua rumah berpintu?" tanyanya dengan mengusap pelipisnya yang berkeringat. Napasnya sudah lelah dan bicaranya makin tidak jelas.
Amelia menarik napas dalam dan kemudian menghembuskannya kuat-kuat ke arah lain. "Satu kilo dari sini ada rumah bercat hijau berwarna merah. Nah itu rumahnya," jawabnya asal-asalan.
Pak Lurah menggaruk puncak kepalanya dan menatap Amelia dengan heran. "Baru tahu ada cat hijau berwarna merah?"
"Mikir sendiri!" tekan Amelia kesal.
"Saya telah berpikir, dari tadi malahan," sangkalnya.
"Mau apa sih, ke rumah orang tengah malam begini?"
"Itu ...." Pak Lurah diam. Ia menimbang apa yang pantas disampaikan untuk salah satu warganya yang usil ini.
Saat mulutnya terbuka Amelia mencegah, "Tidak perlu disambung, enggak penting tahu!"
Pak Lurah mendorong wajah Amelia dengan telapak tangan kirinya. Kesal sekali dia. "Saya pamit mau cari sendiri!" Kakinya melangkah meninggalkan Amelia yang ingin muntah karena tangan itu sangat tidak sedap aromanya.
"Huek! Baunya!" teriak Amelia seraya muntah.
Bersambung dulu ya, kehabisan ide

KAMU SEDANG MEMBACA
tetanggaku ternyata KUYANG
HumorSaat kuyang terbang melewati jendelanya. "Mau ke mana Bu?" tanya si Ibu. "Biasa cari mangsa?" jawab kuyang itu. "Oh, begitu." balasnya. "Udah dulu ya, mau kejar setoran dulu," pamit kuyang itu. Kemudian melayang meninggalkan si ibu. Hidup ini indah...