#12 Mimpi Buruk

338 34 2
                                    

Dewa sedang sibuk menelepon saat Dimas masuk ke ruangannya. Saking terkejutnya, Dewa segera menyudahi obrolan. Memutus telepon lalu menghampiri Dimas yang duduk di mini sofa.

Dimas pantas dapat perlakuan istimewa, sebab tiga puluh tahun perusahaan keluarga berdiri, baru kali ketiga ini Dimas menginjakkan kaki di ruangan ayahnya sendiri.

“Tumben,” gumam Dewa.

“Apa anak itu sering ke sini?” Dewa mengernyit tak mengerti, “Sarah maksud kamu?”

“Jangankan ke ruangan Ayah, sekali berpapasan itu pun waktu Ayah pakai lift pegawai.”

Dimas bangun dari sofa dan melihat-lihat isi ruangan, lalu berhenti di sisi jendela. Ia mengangguk percaya sebab dirinya tidak akan melihat Sarah kalau tidak pergi ke kantin di jam makan siang. Tapi, akhir-akhir ini, wanita itu makin jarang terlihat.

“Kamu mau kopi?”

“Boleh, asal tidak asin dan tidak manis.” Mendengarnya, Dewa menahan tawa. Ia mana mungkin lupa seberapa asin kopi yang disajikan anaknya beberapa waktu lalu.

Selagi memanaskan bejana kopi, Dewa memerhatikan Dimas diam-diam. Tersenyum tenang memandangi bahu anaknya dari belakang. Jelas, Dimas saat ini adalah Dewa di masa lalu. Meski nyatanya Dimas jauh lebih ambisius dan gila kerja, banyak hal lain yang membuatnya teringat masa lalu ketika menatap anak laki-lakinya itu.

Dimas membalikkan badan. “Berapa umur Sarah tahun ini?”

“Dua puluh enam. Kenapa?”

“Usia dua puluh enam dan dia belum punya pacar?”

Begitu kopi hitamnya siap, Dewa menyodorkan satu cangkirnya untuk Dimas. Sesaat setelah menyeruput kopinya, Dewa tertawa.

“Memangnya kenapa? Kamu yang sudah tiga puluh tiga tahun ini juga nggak punya pacar. Kamu kelihatan nggak tertarik soal perempuan.”

Dimas mendelik kesal. “Spermaku akan tetap bekerja.” Dewa lantas meringis pelan.

“Apa yang mau kamu bicarakan sebenarnya?”

Dimas menyesap cerutunya. Hal itu membuat Dewa menajamkan mata ke arahnya. “Jodohkan saja Sarah dengan anak teman Ayah.”

“Kenapa tiba-tiba?” Dewa curiga. “Sarah, ‘kan, baru delapan bulan di sini. Tidak ada yang tahu dia anak Ayah.”

“Apa untungnya kalau orang-orang tahu,” sahut Dimas. “Perempuan itu sudah harus menikah di usianya. Dia juga kelihatan tidak tertarik dengan pria. Ayah mau Sarah seperti Dimas?”

Sial. Dimas menyesal menurunkan harga dirinya.

Lelaki paruh baya itu menatapnya jauh lebih tajam. “Mana mungkin…”

Dimas tidak membutuhkan jawaban saat ini juga. Ia yakin tidak lama lagi ayahnya mengerti dan menyetujui sarannya. Jadi, begitu kopinya habis, Dimas beranjak pergi.

“Dimas masih ada pekerjaan,” pamitnya.

•••

Untuk proyek yang baru akan tayang empat bulan dari sekarang, Sarah sudah harus mulai putar otak. Belum lagi menghadapi pegawai yang rewel, sebab beberapa kali Sarah mendapat perlakuan tidak enak. Bisa Sarah pastikan penyebab semua itu tak lain tak bukan karena Rayhan menempatkannya di tengah-tengah tim senior.

Sarah ingin menjadikan posisinya saat ini sebagai batu loncatan. Tapi, dia juga tak bisa menampik kesedihannya saat niat baiknya tidak dihargai. Bagaimana pun, Sarah selalu berusaha bersikap baik, dan di sisi lain, Sarah sadar dirinya belum sedewasa itu untuk kebal perasaan.

Begitu istirahat berakhir, Rayhan kembali membuka diskusi. “Jadi, sudah mulai tentukan aktornya?”

“Saya mau tim Ayu duluan.”

Di sini, Mbak Ayu memang terkenal paling diam. Jauh berbeda dari anggotanya yang cukup aktif. Dan, kini, sebagian dari mereka mulai menatapnya penasaran.

“Sejauh ini, yang memungkinkan untuk kita undang hanya Choi Siwon, salah satu personel Super Junior, dan Daniel Henney. Salah satu alasannya, jelas, karena Siwon sangat akrab dengan selebritas tanah air. Soal Mas Daniel, biar saya yang urus. Kebetulan, ibu saya sempat mengajar beliau di universitas.”

Tentu saja, seisi ruang rapat terkesima. Tinggal menunggu tanggapan Rayhan selaku wakil ketua pelaksana.

“Daniel Henney, boleh juga. Tapi, justru karena Siwon sering mengunjungi Indonesia, itu akan terkesan biasa. Kita buka saran lainnya.”

Alin menunjuk penuh semangat. “Ya, kamu Alin.” Ia berjalan ke depan untuk menunjukkan presentasi yang ternyata telah ia siapkan.

“Dilihat dari ketenarannya, terlebih di Indonesia, drama-drama yang paling sering dibicarakan menurut salah seorang pengamat drama korea sejati menunjukkan bahwa-”

“Tunggu. Siapa pengamat yang kamu bicarakan?” Rayhan menatap penuh curiga, hingga Alin menunjuk dirinya sendiri dengan penuh percaya diri.

“Saya, Pak.”

Meski di ruangan ini tawa tak lagi bisa terbendung, Rayhan tetap fokus dan meminta semuanya kembali serius. “Lanjutkan,” putusnya.

Sesaat setelah Alin melanjutkannya, Sarah meringis kesakitan. Ia langsung menatap Jihan yang barusan menendang kakinya dari bawah meja.

“Kenapa kamu, Sarah?” tanya Rayhan yang tampaknya mendengar suaranya.

“Nggak papa, Pak.”

Jihan melotot tajam. Namun, Sarah tetap tidak mengerti arti tatapannya. Hingga saat Alin kembali buka suara, Sarah seolah membeku seraya menatap tampilan gambar yang ada di depan sana.

“Semua aktor dan aktris yang memungkinkan untuk kita undang ada di sini. Sebagian dari mereka pasti sudah kalian lihat di drama dengan rating yang tinggi.”

“Bisa kamu jelaskan, seberapa besar peluang kita?” Alin mengangguk pasti. “Keajaiban baru saja terjadi, salah seorang yang ada di dalam ruangan ini pasti bisa jadi solusi.”

Ucapan Alin tadi sontak membuat seisi ruangan bingung. Rayhan yang menyadari sesuatu pun melemparkan pandangannya pada Sarah.

“Kamu, ya?” tanyanya.
Sarah lantas menggeleng tak terima.

“Kamu pernah menangani beberapa di antara mereka?”

Sebelum menjawabnya, Sarah lebih dulu menatap Jihan. Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sarah pun ikut mengangguk. Saat itu juga, Rayhan menghela napas lega.

“Bagus. Kita bahas lagi Senin pagi.”

Begitu Rayhan menutup rapat kali ini, semua orang lantas berangsur pergi. Menyisakan dirinya dan Jihan yang sama-sama menghela napas berat. Jihan berjalan menghampiri Sarah yang tampak putus asa. Mengelus lembut bahunya berharap Sarah baik-baik saja.

Its okay. Kamu bisa.”

♧♧♧

Hayoo~
Sarah kenapa?

No, Why You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang