Chapter 1

93 8 23
                                    

"Razzy, aku menemukan mayat lagi!" seru seseorang kegirangan.

"Alpi, berhentilah bermain dengan mayat-mayat itu!" peringat orang yang dipanggil Razzy sambil mencari sesuatu di reruntuhan sebuah bangunan.

Tanpa menggubris peringatan Razzy alias Raz, Alpi mengeluarkan sarung tangan karet dan masker dari salah satu tas pinggang kemudian memakainya.

"Halo, Pak Yat. Bagaimana kabarmu? Oh, tentu saja tidak baik," kata Alpi sambil memperhatikan benda-benda yang dibawa si mayat. "Aku hanya ingin menyampaikan kalau aku ingin mengambil barang-barangmu. Tadi aku juga sudah mengambil barang dari Ibu May, tetapi sayangnya hanya sedikit yang bisa kuambil."

Sambil melihat keadaan si mayat, Alpi mengambil barang terakhir yang sekiranya berguna dan memasukkannya ke dalam plastik. "Dah! Semoga istirahatmu tenang."

"Alpi, bisa kau berhenti menjarah dari orang yang sudah mati?" ujar Raz kesal sambil membawa tas berisi barang yang baru ditemukannya di reruntuhan. Pemuda berusia 25 tahun itu menghampiri Alpi yang tengah berjongkok memandangi mayat.

"Menjarah? Apa maksudmu? Bagaimana mungkin bisa disebut menjarah kalau sang pemilik saja sudah tidak membutuhkannya?" timpal Alpi sambil membuka masker yang menutup hidung dan mulutnya.

"Kau seorang dokter—"

"Paramedis."

"Sama saja."

"Beda."

"Kau tahu, kan, kalau mayat itu sumber penyakit?"

"Tentu saja."

"Lalu kenapa kau malah berani-beraninya menyentuh mereka?"

Alpi berdiri sambil memasukkan masker dan sarung tangan karetnya ke dalam plastik. Perbedaan tinggi mereka membuatnya harus menengadah, mirip seperti anak yang masih SMP. Raz bahkan sesekali memanggilnya dengan sebutan si Bocah Dokter. Namun, jangan terkecoh dengan penampilannya karena Alpi sebenarnya sudah berumur kepala dua.

"Dengar, Raz. Selain mengambil barang-barang yang masih berguna—yang tentu saja sudah tidak mereka butuhkan—aku juga memeriksa keadaan kematian mereka." Alpi menunjuk mayat di sampingnya. "Contohnya Bapak Yat ini, dia mati sudah seminggu lebih—"

"Bapak Yat? Biar kutebak, yang wanita pasti kau sebut Madam, Nyonya atau Ibu May. Alpi, kau ini lucu sekali," potong Raz sambil tertawa mengejek.

"Raz!" protes Alpi karena disebut begitu. "Yang benar yang terakhir."

"Sudahlah, Pi. Aku tidak perlu mengetahui hal yang seperti itu. Simpan saja untuk dirimu sendiri."

"Ya sudah, kalau begitu. Jangan terus menghalang-halangi hobiku."

Si pria besar menangkup wajah melihat kelakuan partnernya. "Sebaiknya kita pergi lebih jauh. Tidak ada apa-apa lagi di sini."

"Belum tentu. Kau cari lagi di sekitar sana. Aku akan menyusuri tempat ini lagi," kata Alpi sambil berlari menjauhi Raz ke arah gang yang diapit dua bangunan tumpang tindih. Dilihat dari belakang dengan tingkah seperti itu, Alpi benar-benar terlihat seperti bocah yang haus bermain.

"Mencari mayat yang lain? Dasar." Raz hanya bisa mendengus sambil melihat Alpi yang sudah hilang ditelan bangunan.

Belum lima detik anak itu menghilang dari pandangan, sebuah teriakan cempreng terdengar dari arah menghilangnya si bocah. Dengan segera, Raz menghampirinya sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi.

"Ada apa?" tanya Raz sambil melihat Alpi tengah terduduk sambil melihat ke arah sebuah tubuh yang bersandar ke tembok. Seorang pemuda berjaket hitam dengan kaus yang penuh darah.

Feniks (Arsip)Where stories live. Discover now