Chapter 10

26 4 0
                                    

"Bahagiaku itu simple, cukup berdua denganmu, itu aja"

Baru pertama ini, aku tiba di sekolah begitu pagi. Jam ditanganku menunjukan pukul 06.30. Biasanya 5 menit sebelum masuk, aku baru tiba di sekolah, atau barengan bel masuk bunyi aku baru tiba.

Tapi kali ini, aku begitu semangat untuk berangkat ke sekolah. Aku ingin cepat bertemu dengan pagi, bangunku begitu semangat. Bahkan saat Mama teriak, "Syujaaa banguuuuuun....." Aku dalam kondisi sudah mandi. Sehingga Mama terlonjak dan menganga karena terkejut.

Walaupun aku sedikit pilek dan hidungku agak tersumbat. Tapi, aku tak perduli, aku tetap fight untuk berangkat ke sekolah...

Saat aku ingin masuk ke gerbang sekolah, kali ini satpam sekolah yang aneh melihatku,

"Ada masalah apa?"

"Masalah?" Aku bengong.

"Iya, kok tumben."

"Lah... saya kan emang anak rajin...."

"Ahh... paling mau nyontek PR ya."

"Ha ha..." dituduh gitu aku jadi ngakak geli sendiri.

Aku dan Pak Satpam memang sudah terbiasa saling bercanda. Dia orangnya baik, pernah waktu aku telat lima menit, pagar tetap dibukanya sehingga aku selamat dari jeratan hukuman terlambat.

Maklum di sekolahku ini telat satu menit saja, pagar sudah di tutup. Baru dibuka tiga puluh menit kemudian sampai semua yang telat sekalian terkumpul. Sudah gitu kalau mau masuk ada hukumannya seperti bersihkan WC, atau segala jenis hukuman sesuai dengan kreasi guru yang piket pada hari itu.

Aku berjalan melangkah ke arah kelasku, dan saat aku sudah berada di depan kelas melongok ke dalam, aku tidak melihat Naya. Kemana ya dia? Apa dia sakit?"

Ketika bel berbunyi, Naya tergopoh masuk kelas. Aku mendadak bertenaga kembali. Wajahku pasti langsung berseri-seri.

Jam pertama ini pelajaran matematika. Aku harap bukan Pak Darto yang mengajar. Yes, rupanya bukan, Guru yang muncul masih muda berkacamata, murah senyum, dan tidak kelihatan galak. Dia bahkan memberikan kata-kata motivasi terlebih dulu sebelum memulai pelajaran. Kemudian hari baru kuketahui nama guru ini adalah Pak Edwin.

"Anak-anak, buka halaman 77, kita masuk pelajaran statistika."

Aku bingung, selama sekolah aku tidak pernah membawa buku. Semua buku aku geletakkan di laci mejaku, jadi isi tasku hanya ada buku tulis yang aku bawa secara random.

Kulihat ke arah sampingku, Rendi membawa buku. Aku melirikkan mataku ke arah buku Rendi. Dan Rendi rupanya bisa memahami kondisiku.

Rendi menggeser bukunya di tengah-tengah, posisi yang mana aku dan Rendi bisa melihat buku itu bersama sepanjang pelajaran. Rendi tampak serius dan antusias, sementara aku masih belum juga melihat sisi menarik matematika sehingga sampai harus diseriusi segitunya.

Pelajaran berlangsung interaktif. Saat diberi pertanyaan semua murid seperti berebut menjawab. Oh ya ampun...

Dan itu berlangsung sampai bel istirahat berdering.

"Oke, kita selesai sampai sini dulu ya."

Saat kelas sudah tidak ada guru dan mulai sepi, aku masih duduk setia di kursiku, Aku menunggu momen yang pas dan natural untuk menyapa Naya. Tapi belum sempat harapanku terwujud, ada seorang cowok yang mendatangi Naya. Cowok itu berbadan gede, kelihatan gagah dengan keringatan berkilatan, sepertinya dia baru habis dari pelajaran olahraga.

"Oh, ada Gerry tuh Nay," Manda teman semeja Naya menunjuk dengan dagunya. Dia lalu langsung menghindar seolah memberikan kesempatan mereka berdua untuk berbicara. Sementara aku masih memilih duduk sambil pura-pura sibuk membolak-balik buku tulisku.

Kamu akan menyukai ini

          

"Nay, maapin aku, dia itu bukan siapa-siapa aku."

Naya tampak enggan, "aduh aku gak peduli ya dia itu siapa, kamu urus aja diri kamu sendiri. Sama sekali nggak ngaruh di aku."

"Iyaa... tapi gara-gara dia sikap kamu beda. Kamu pasti salah paham, Nay."

"Kita kan memang gak ada apa-apa, aku nggak tau sekarang kamu lagi bahas apa, tapi yang pasti kamu bikin aku gak nyaman. " Naya berkata dingin.

"Nay!" Cowok bernama Gerry itu berteriak kalap, sampai-sampai beberapa teman di kelas menoleh dan menyaksikan pertikaian mereka.

"Jangan bikin keributan di sini." Naya beranjak dari kursinya.

"Nay, jangan pergi! Dengarkan aku dulu!"

Tapi Naya tidak menggubris. Dia malah menepis tangan Gerry yang bermaksud mencegahnya.

"DASAR KAMU CEWEK MURAHAN!" Gerry lalu mendorong tubuh Naya hingga gadis itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Melihat itu, aku sontak berdiri dan melempar buku tulisku ke wajah Gerry dan berlari ke arah Naya.

Gerry terbelalak kaget, "anjirrrr... siapa lo!"

"Gue gak suka liat pemandangan cowok kasar ke cewek." Sahutku seraya membantu Naya bangun.

"Kamu nggak apa-apa kan, mana yang sakit?" Aku memandang Naya, melihat wajahnya yang meringis.

Melihat perhatianku pada Naya, Gerry tampak makin gusar.

Gerry langsung mendekat ke arahku dan menarik kerah bajuku. Aku berontak dan dia melayangkan tinju ke wajahku. Aku menangkis tinjunya, mendorong tubuhnya sambil mengarahkan tendangan ke perutnya.

Naya berteriak agar kamu menghentikan pertikaian, dan beberapa teman cowok di kelas melerai memisahkan duel kami. Sebelum kami berhasil dipisahkan, tanganku lebih dulu memukul hidung Gerry hingga berdarah.

"Banci! beraninya sama cewek. Awas ya kalo lo ganggu dia lagi!""

"Eh, lo tuh siapa berani ikut campur urusan orang lain." Gerry menyapu darah di hidungnya dengan jemarinya. Melihat darah, amarah Gerry makin menjadi. Dia bermaksud menyerangku kembali, tapi tubuhnya sudah beramai-ramai ditarik ke luar kelas.

"Awas ya, urusan lo belum kelar!" Geram Gerry mengancamku.

"Siapa takut? Rumah gue di Pakjo. Gue tunggu 24 jam!" tantangku dengan mata melotot.

"Sudah cukup!" Jerit Naya. Aku akan maafin kamu, tapi jangan cari aku lagi, dan jangan ganggu dia juga." Naya menunjuk ke arahku.

Gerry hanya melengos dengan wajah merah padam.

Saat sosoknya tak terlihat lagi, aku beringsut kembali duduk di kursiku.

"Makasih." Naya berkata singkat.

"Maaf kalo aku jadi menyakiti pacar kamu. Karena aku gak bisa ngeliat ada cowok bersikap kasar ke cewek."

"Dia bukan pacar aku." Ralat Naya gusar.

"Oh maksud aku mantan pacar." Aku mengerling.

"Bukan mantan juga." Naya menatapku gemas.
"Oh ok, " aku  berusaha menyembunyikan senyum iseng di sudut bibirku.

"Kamu sendiri, nggak ada yang luka, kan?" Naya menatapku sejurus, mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Aku gelagapan, jantungku terasa mau jatuh.

Betapa indah rasa batin ini ditanya seperti itu.

Aku mengelus pipiku. "Agak sakit sih, tapi nanti dikasih salep juga sembuh."

"Ahhh, bokis lo!" Manda yang setia menemani Naya malah menepuk pipiku yang sedang aku elus-elus. "Tadi gue liat pas ditonjok Gerry lo menghindar. Sini, gue tonjok beneran."

"Ha ha ha..." aku tergelak sambil berlari menghindar saat Manda berlagak ingin meninjuku. Suasana jadi cair dan akrab.

Aku melihat Naya tersenyum, astaga... Kamu tau gak Nay, kalau kamu senyum, mawar merah satu iket aja bisa mendadak layu.

Aku berdehem, "makasih ya Nay atas senyum kamu."

"Kenapa?"

"Kamu tau gak bedanya kamu sama setan?"

"Nggak."

"Kamu sama setan sama-sama bikin pengen lari.

Bedanya kalo setan bikin pengen lari menjauh, kalo liat

senyum kamu pengen lari mendekat."

Manda   langsung    mengacungkan   bogemnya,

"awas  lo    ya   anak    baru   belom-belom   dah   berani ngegombal!"

Aku terbahak, kulihat Naya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak marah dengan candaku.

Yess! Awal yang baik.

❤️❤️❤️

Syuja (Sejauh cinta untuk Naya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang