Dua wanita memiliki luka masing-masing dan saling mencintai dalam diam.
"Kau harus pergi. Maksudku, kita harus pergi dari kehidupan masing-masing."
"Melihatmu di pelukan orang lain adalah pemandangan paling kubenci."
haloooo.... pada nungguin the next ena-ena nih pasti. hahahah. mesum semua nih.
wooii jangan lupa komen seputar cerita ya!
"Tapi aku tidak mungkin hanya tangan kosong begini ke rumahmu."
Berulang kali Yoona menolak setiap kali Seohyun menawarkan biskuit dan roti untuk dibawa ke rumah sebagai buah tangan. Seohyun mengerti bila Yoona sungkan karena dia yang diajak bukan meminta ikut. Tapi bagaimana juga bertamu pasti ada etikanya apalagi terhadap orang yang lebih tua. Belum lagi akan menginap nanti.
"Baik, pilih satu saja. Kajja!"
"Seohyunnie," panggil Yoona lembut menggenggam lengan Seohyun dan menatapnya dalam. "Tidak usah ya. Nanti kalau sudah bertemu appa dan eomma baru putuskan mau beli apa. Menurut ne!"
"Apa itu sopan?"
"Tentu. Jadi kau mau beli apa sekarang untuk melanjutkan perjalanan?"
Mau tak mau Seohyun menurut permintaan Yoona. Dia hanya mengambil beberapa bungkus snack dan minuman lalu ke kasir kemudian melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan Yoona tiba-tiba berhenti membeli dua buket bunga.
"Bunga? Anak aneh. Hahahaha." Tawa Seohyun pecah. Pasalnya Yoona lebih memilih membeli bunga untuk dibawa daripada makanan. Padahal bunga hanya berfungsi sebagai pajangan dan bisa cepat layu. Bukankah lebih baik makanan?
Lagi, mobil melaju di siang yang mendung. Melewati daratan berilalang. Seohyun tertegun melihat hehijauan di kanan-kiri. Segar. Berkhayal tengah lari ke sana-sini lalu melompat membiarkan gravitasi menjatuhkan tubuh di ranjang alam.
Bagai drama-drama kolosal dari negara-negara Asia Timur. Pasangan kekasih atau dua orang saling memendam perasaan pasti diselipkan adegan berlari di antara tumbuhan. Entah berkejaran sambil tertawa atau mengejar untuk berbicara serius. Tak lupa pula kupu-kupu sebagai bintang tamu tanpa bayaran.
Namun, semua pandangan kagum berangsur mereda ketika mobil berbelok ke jalan lebih sempit. Sebelah kanan adalah tanah kuburan sementara bagian kiri tumbuh bambu rindang. Suasana begitu hening ditambah langit mendung tertutup batang dan dedaunan bambu. Seohyun menoleh ke Yoona yang tersenyum kecil memandang lurus ke depan. Sekarang Seohyun mengerti mengapa Yoona menolak dibawakan makanan dan justru membeli bunga. Berziarah.
"Sampai."
Mobil berhenti di pintu kuburan. Tidak salah Yoona menyebut orang tuanya di Yongpyeong. Karena tulang-belulang memang terpendam di tanah ini.
"Mengapa kau tidak mengatakannya?"
"Mian. Waktu itu aku ingin memberitahu tapi kau lebih dulu memotong."
"Mian. Biar kubawakan!"
Seohyun merangkul dua buket bunga dan berjalan di sisi Yoona menelusuri jalan setapak. Sejauh mata memandang adalah gundukan tanah beserta nama-nama. Seohyun ingin bertanya lagi tapi urung melihat tatapan kosong Yoona.
Sampailah mereka berdiri di antara dua gundukan. Im Minho dan Kwon Jungshin. Tertera tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Tepat 14 maret 2012. Delapan tahun lalu.
*
"Appa dan eomma meninggal dibunuh oleh perampok saat dini hari."
Rintik hujan memukul-mukul mobil menghalangi pandangan dua wanita di dalam mobil terhadap rumah kosong. Sebangun ruang yang sudah kumuh, berlumut, dan rumput-rumpuh setinggi dada orang dewasa. Genting-genting lapuk berserakan di lantai. Kayu keropos dimakan rayap bergelantungan di bawah. Tembok-tembok terciprat lumpur. Besi pagar pun sudah berkarat.
"Aku bahkan belum sempat bertemu appa dan eomma sejak dua tahun. Tapi mereka malah pergi lebih dulu."
"Mwo? Dua tahun?"
Yoona menurunkan kursi bagian punggung. Dia butuh posisi nyaman untuk bercerita kisah 10 tahun lalu atau 2 tahun sebelum orang tua tiada. Waktu banyak berlalu tapi tidak membuat Yoona bisa bersikap biasa-biasa saja. Seolah masih belum siap menempuh perpisahan kekal.
"Appa dan eomma lebih menyayangi Yul eonnie dibanding aku. Yul eonnie berprestasi dan cukup populer baik di sekolah. Dia mendapat beasiswa. Appa dan eomma selalu bangga padanya. Aku? Aku tidak sepintar Yul eonnie. Nilai sekolah standar dan tidak punya kelebihan di bidang apapun hingga membuat mereka kecewa."
"Tidak, semua orang punya kelebihan."
"Ya, sebenarnya suka beladiri. Tapi tidak pernah didukung meski sempat menang membawa uang saku, piala, dan medali. Mereka tak pernah melihatnya. Kadang berpikir mungkin aku bukan anak mereka karena hanya Yuri eonnie yang selalu dipandang. Itu membuatku selalu iri pada Yul eonnie," terang Yoona menyodorkan ponsel yang menampilkan wajah Yuri.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Tidak, Yoong. Kalian bagai pinang dibelah dua. Mirip. Tentu kalian dari benih dan rahim yang sama."
Yoona tersenyum pahit karena memang begitu kenyataan. Dari orang tua yang sama tapi mendapat perlakuan berbeda. "Kau tahu, Hyunnie? Aku selalu berharap paling tidak sekali saja appa dan eomma berkata bahwa mereka bangga padaku. Tidak perlu berlebihan sebagaimana yang diberikan pada Yul eonnie. Cukup sekali."
Tik! Air mata langit menular di mata Yoona. Dia menangis dan membuang muka keluar jendela menyapa rintik hujan. Mengadu pada langit di mana orang tua berada. Menangisi apa yang sudah berlalu dan tak bisa diubah oleh waktu.
"Kadang apa yang kita suka berbeda dari apa yang dihendaki orang tua. Mereka mungkin tidak pernah berkata secara langsung tapi dalam hati, siapa yang tahu?"
"Ya, bisa jadi. Ta-tapi... tapi appa mengusirku dan tak seorang pun peduli atau menahan."
"Mengusirmu? Kau pasti melakukan hal yang sangat fatal."
"TIDAK!" sentak Yoona sigap menoleh, tapi kemudian tersadar bahwa dia terlalu emosional. "Mian, a-ak-aku..."
"Kemari! Tidak apa, Yoong." Seohyun menarik Yoona ke dekapannya sambil menepuk-nepuk pundak. "Ceritakan! Aku akan mendengarnya."
Air mata terjun turun ke dagu membasahi lengan Seohyun. Yoona merasa sakit di tenggorokan.
-flashback-
"Hei, apa-apaan kalian?" amuk Yoona ketika seorang siswa tiba-tiba datang menyambar amplop berisi surat penerimaan mahasiswa baru. "Kembalikan!"
"Ya? Mengapa ini penting? Kau kan punya salinan di email. Hahahaha." Gelegar tawa mengejek keluar dari mulut siswi berkuncir kuda. "Aneh, anak tidak berprestasi di pelajaran malah mendapat beasiswa ke universitar. Kalian tidak curiga?"