Wahai pemilik Al-Quds, Syam dan Madinah, renggut bahagiaku bila ia menjadi sebab melupakan-Mu.
Entah yang keempat atau kelima dalam tahun ini Tuhan menghadiahkan perjumpaan dengan wanita yang sangat dikasihi. Wanita yang di bawah telapak kakinya, surga berada di sana.Gadis itu tersenyum. Ingin meneteskan air mata, tetapi nahasnya dia telah benar-benar lupa kapan terakhir menangis. Setelah menemui kepergian beberapa tahun silam, dia tak telah berevolusi untuk tak pernah meneteskan kristal beningnya.
"Mamah baik-baik aja, kan? Sekarang Albania di sini. Mamah tahu, kan, di dekat sini ada ma'had Umar Bin Khattab dan sekarang Albania tinggal di sana." Albania berjongkok di depan sang ibu. Dia memegang tangan kanan wanita itu lembut.
"Bagaimana dengan biayanya, Nak? Maafkan mama yang nggak bisa membantu apa-apa untuk Albania." Wanita itu tampak berkaca-kaca. Dari kedua mata sayunya terlihat butiran yang tertahan siap untuk ditumpahkan.
"Mama nggak perlu minta maaf. Mama masih bertahan sampai sekarang demi Alban saja itu lebih baik. Mah, Alban janji Alban akan kuliah, Alban akan mengubah kehidupan kita. Alban akan memperbaiki perekonomian kita dan Alban akan membuktikan pada pria bejat itu bahwa Alban mampu meskipun tanpa kehadiran dia," jelas Albania. Sungguh di depan sang mama dia harus terlihat memiliki harapan, dia harus memiliki cita-cita.
Wanita bernama Aruna itu tersenyum tulus. "Tapi Alban masih memegang janji, kan, bahwa Alban nggak akan pernah membencinya?" tanyanya.
Albania menggeleng pelan. Bahkan dia tak perlu berpikir panjang untuk memberikan jawaban mengecewakan itu. "Maaf, Mah, Alban sudah berada pada puncak kebencian paling tinggi. Maafkan Alban yang belum bisa menjadi pemaaf seperti mama. Barangkali komposisi hati kita memang berbeda. Hati Mama terbuat dari sutra sedangkan hati Alban terbuat dari api. Mah, maafkan Alban yang sampai detik ini belum pernah mampu memaafkan pria bajingan itu."
Remaja itu menunduk. Dia tersenyum kecut tak berani memandang wajah mamanya. Memori yang dapat menampung banyak kejadian itu memaksanya kembali mengulang kejadian empat tahun silam. Tentang kepergian yang menyakitkan, tentang kehilangan yang membuat hatinya patah tak berkesudahan. Bagaimana mungkin seseorang yang selalu disebut dalam doa, seseorang yang dijadikan cinta pertama melangkah menjauh karena tujuan yang tak lagi sama. Meninggalkan sesak yang menusuk, pertanyaan tanpa jawaban dan luka yang sangat mendera.
Dia sama sekali tak menoleh. Dia pergi menuju tujuan barunya yang sangat Albania benci.
"Albania Qur'annya sudah sampai mana?" Tiba-tiba lelaki berusia sekitar 70 tahun keluar dari salah satu kamar. Terlihat rambutnya yang sudah memutih, tatapannya tak lagi tajam seperti dulu. Ya, namanya Rasyid. Dia kakek Albania yang tinggal bersama Aruna di gubuk kecil ini.
"Sebentar lagi, Kek."
"Sudah bisa kalau kuliah di Timur Tengah, Nak?" tanyanya.
Albania terdiam. "Albania janji akan mencari beasiswa untuk ke sana." Dia tersenyum melihatkan semangatnya. Bagaimana pun ia tak mau terlihat sedih. Baginya penghuni gubuk ini adalah jiwa dari setengah nyawanya.
"Ah ya, Alban pamit dulu, ya. Alban janji akan sering-sering ke sini. Mama harus terus sehat, ya, untuk Alban." Gadis itu berdiri. Ia membenarkan letak mukena, mencium tangan sang mama, Kakek, lantas pergi untuk segera pulang ke pesantren.
Dari dulu dia memang tahu bahwa pesantren Umar Bin Khattab memang sangat dekat dengan rumah sang mama. Tepatnya, rumah Aruna ada di seberang jalan setapak pesantren itu, tetapi Albania baru menyadari saat ini bahwa ternyata gedung belakang pesantren bisa menjadi jalan singkat menuju rumahnya. Bukankah dengan seperti ini menjadi lebih baik, ia tak perlu repot-repot keluar melalui pintu depan bila tangga dari gedung belakang memang selalu tersedia. Selama bagian keamanan tak memergoki aksinya, barangkali dia akan terus mengulangi hingga kerinduan pergi membawa banyak harapan masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...