Confession

766 67 33
                                    

"Aku menyukaimu Song Mino"

Perempuan itu bicara dengan suaranya yang terbata, bergetar bahkan terdengar begitu dipaksakan. Seolah ini adalah sebuah kalimat yang sangat sulit ia ucapkan, kalimat mengerikan yang harus ia katakan. Ibarat sebuah frasa dalam sebuah kehidupan.

Sekarang atau tidak sama sekali.

Kedua tangannya bertaut, memainkan jemari mungil nya yang putih. Mino bahkan bisa melihat gurat-gurat nadi dari telapak tangannya yang kelewat pucat. Kepalanya tertunduk beberapa centi. Mino langsung mengerti.

Dia sudah melampui batas nya. Dan terlalu malu untuk sekedar menatap wajahnya. Sekali lagi Mino meneliti perempuan yang kini mendongak lalu buru-buru melengos, seolah tidak membiarkan retina matanya beradu pandang dengan Mino.

"Rene ... Ini-"

"Aku tahu, maaf" Balas Irene cepat. Membungkam Mino untuk yang kedua kalinya. Perempuan itu bergerak gelisah ditempatnya tapi bibirnya terus terkunci. Membiarkan Mino melayang dengan lamunannya.

Keduanya duduk diam selama beberapa menit. Mino hanya menunduk dengan tangan mengaduk-aduk minumannya yang sudah dingin sementara Irene terus menerus melengos tidak tentu arah. Tidak membiarkan matanya bertemu dengan mata Mino.

Ini begitu sulit bagi Irene dan ia sadar sudah melampui batas. Tarikan nafas kasar terdengar melalui gendang telinga, Irene serta merta mendongakkan kepalanya. Memaksakan diri untuk menatap mata itu. Mino yang memang sedang menatapnya menaikkan satu alisnya.

"Sejak kapan?"

"Mino-"

"Sejak kapan rasa itu ada Rene?"

Pertanyaan itu sontak membuat Irene kembali menunduk, menahan bulu mata nya mengeluarkan cairan hangat yang akan membuatnya semakin lemah. Tapi bukan ini yang Irene harapkan. Bukan pertanyaan seperti ini yang ia inginkan.

Irene tidak ingin Mino mengetahui kenapa rasa itu akhirnya datang. Mino, tidak harus mengetahui apa yang sudah terjadi pada hatinya. Mino, tidak harus mendengar bagaimana akhirnya rasa itu berubah haluan menjadi rasa yang sanggup membuat Irene jantungan setiap hari.

Bukan itu yang Irene inginkan. Tapi rupanya Mino memilih untuk mengabaikan pertahanan yang sudah Irene buat. Pria itu, memaksa Irene membuka semua rahasianya.

"Mino, maaf-"

"Jawab aku Rene?.. Please!"

Suara Mino begitu putus asa, deru nafasnya yang tidak beraturan bahkan bisa Irene dengar begitu jelas ditelinganya.

"Mino ... Ini bukan saat yang tepat untuk bercerita" Jawab Irene dengan suara yang terhentak. Mengingatkan pria dihadapannya kalau percakapan seperti ini seharusnya tidak pernah ada diantara mereka.

"Kenapa?"

Kenapa? Mino bahkan bisa mengatakan pertanyaan itu semudah ia membalikan telapak tangan. Mino tidak mengerti bagaimana keinginan nya untuk saat ini. Entah pria itu memang tidak mengerti atau memang tidak ingin mengerti kalau semua ini tidak harus dijelaskan.

"Song Mino, kurasa kau tahu alasannya. Aku ... Hanya berusaha mengatakan apa yang kurasakan. Maaf ... Maaf kalau aku sudah melewati batasku-"

"Kenapa?"

Irene akhirnya mendongak, lalu menarik nafasnya dengan keras. Sementara Mino masih diam menatapnya, masih mengajukan pertanyaan yang sama. Bae Irene mendengus sekeras ia bisa. Selalu seperti ini, Mino dengan sikap keras kepalanya yang akan selalu menuntut penjelasan dari setiap pernyataan.

"Jangan memaksaku"

"Aku tanya kenapa--"

"Besok kau menikah! Dan kau masih bertanya kenapa?"

Minrene/One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang