Part 3

2.9K 86 4
                                    


Ketika tidak tau lagi harus berbuat apa, aku memilih mencari kesibukan di dapur. Selama berstatus sebagai istri, aku akan berusaha melaksanakan kewajiban dengan baik. Sayangnya rumah sebesar ini tidak memiliki pembantu, adanya hanya ada Pak Somad yang menjaga taman samping rumah.

Di dapur, aku menyimpan buah dan sayur ke dalam kulkas. Mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak opor ayam. Bu Ratih adalah ibu mertua yang begitu perhatian hingga membawakan kami bahan makanan dan bumbu masakan. Beliau memberitahu bahwa Mas Brian sangat menyukai opor ayam buatannya. 

Aku merasa semangat begitu teringat dengan slogan cooking with love yang selalu disampaikan seorang chef terkenal bernama Sisca Soewitomo dalam acara memasak di televisi. Kali ini aku harus memasak dengan penuh cinta berharap Mas Brian yang dingin itu mau membuka hatinya. 

Sembari menunggu matang, aku memberanikan diri menghampiri kamarnya, kemudian mengetuk pintu perlahan. Meski tadi dia sempat marah-marah, aku berusaha bersikap sabar. 

"Mas, sholat zuhur berjamaah yuk," ajakku berharap mendapat jawaban iya.

"Saya sudah sholat," jawabnya dari dalam. 

"Nanti makan siang ya, Mas. Saya tadi sudah masak opor ayam. Sebentar lagi matang."

Meski tak berharap di bukakan pintu, aku begitu antusias memberitahu.

"Sudahlah, tidak usah sok akrab. Saya sedang sibuk," sahutnya tak berperasaan. 

Aku menggelengkan kepala sembari mengelus dada perlahan. Salahku di mana? Kenapa Mas Brian semarah ini? perhatianku sama sekali tidak dibutuhkan. Luka di hati semakin dalam ketika penolakan demi penolakan selalu ia katakan setiap saat. 

Aku menghapus air mata karena kecewa. Kecewa atas rasaku yang tak pernah terbalaskan. Tidak ingin berlama-lama berdiri di depan kamarnya, aku beranjak menunaikan sholat di musholla kecil yang terletak di sebelah kamar.

Usai sholat, aku kembali menuju dapur. Dimakan atau pun tidak dimakan yang terpenting aku telah menyiapkan makan siang untuknya. Meski perutku sendiri sangat lapar, aku tetap menahannya. Menunggu Mas Brian makan terlebih dahulu. Namun aku tidak yakin lelaki itu mau menyentuh masakan buatanku.

Jam menunjukkan pukul satu siang. Aku memilih istirahat dalam kamar, kembali keluar jika ia memanggil. Aku hanya ingin membuktikan adakah celah di hatinya untuk mengingat atau setidaknya membutuhkan perhatianku. Saat mata ingin terpejam,  suara langkah kaki terdengar dari luar. Bunyi khas seseorang menarik kursi di ruang makan. Deheman kecil membuatku yakin bahwa Mas Brian sedang berada di sana. Entah mengapa jantungku kini terasa berdebar ketika mengetahui sang suami akan menikmati masakan pertamaku. 

Meski ingin melihat secara langsung, ingin bisa menemani dan makan siang berdua, tapi rasa kesal di hatiku belum sepenuhnya reda. Suara denting sendok dan piring membuatku menahan tawa. Setelah kupastikan Mas Brian meninggalkan dapur, segera kupakai jilbab instan dan menuju ruang makan yang hanya berjarak beberapa meter dari kamarku. 

Belum ada satu jam yang lalu, lelaki itu dengan tegas menolak ajakanku untuk makan siang bersama. Sekarang dengan lahapnya ia makan opor ayam hingga menyisakan tulang tanpa sisa daging sedikit pun. Kali ini aku merasa bahagia. Meskipun belum bisa menghargaiku, setidaknya ia menghargai masakanku. Aku bersorak riang dalam hati berharap suatu saat mendapat pujian manis darinya.

Masih dilanda rasa lapar, terpaksa kumakan sisa kuah opor yang ditemani krupuk. Tetap terasa nikmat karena perasaan hatiku sedang berbunga. 

**** Khalwa Elia ****

Tiap sujud, untaian doa terbaik selalu kupanjatkan kepada Sang Maha Kuasa. Besar harapan, semoga Allah melembutkan hati suamiku.

Usai makan siang, aku menonton acara televisi di ruang tengah. Tak lama kemudian, kulihat ia berpakaian rapi dengan memakai kemeja ungu muda dan celana kain berwarna hitam.  Parfum aroma cendana tercium kala ia turun dari tangga.

NIKAHI AKU DENGAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang