■Fana
Mendengar suara khas dari daun kering yang sudah jatuh berterbangan tertiup angin, seakan mengajakku untuk tenang dari rasa gugupku saat ini. Gugup karena cerita baru akan segera dimulai. Bertemu dengan orang-orang baru yang akan menemani langkahku ke depannya. Berharap cerita baru nanti akan lebih indah dari cerita sebelumnya.
Aku yang tengah duduk di bangku tepian halaman sekolah Pelita Jaya. Menyaksikan kegiatan Masa Orientasi Siswa yang dilakukan siswa baru kelas sepuluh, sambil menunggu sebuah panggilan dari seorang guru.
"Fana! Ayo kita ke kelas kamu sekarang," suara seorang wanita memanggilku dari belakang.
Aku mengalihkan pandanganku ke belakang. Menemukan wanita paruh baya yang saat ini sedang tersenyum padaku. Dia yang baru saja memanggilku. Dia adalah Bu Eni yang akan menjadi wali di kelasku nanti.
Aku segera berdiri dan mengatakan iya padanya. Lalu mengikutinya dari belakang yang akan mengantarkanku ke kelas.
Rasa gugupku bertambah, saat aku menatap pintu kelas yang ditunjukkan Bu Eni kepadaku. Kelas 12 IPA 3. Kelas yang aku belum tahu siapa saja penghuninya. Kelas yang akan mendapat cerita tentang susah senangnya masa terakhir SMA-ku dalam satu tahun kedepan. Kelas yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku melawan ujian demi ujian.
"Fana, ayo masuk!" perintah Bu Eni untuk segera masuk ke dalam kelas.
Aku menggangguk, lalu dengan perlahan aku mulai menginjakkan kakiku ke dalam kelas. Tersenyum, adalah hal pertama yang aku lakukan untuk menyapa teman-teman baruku.
Mataku menyapu seluruh isi kelas. Memperhatikan seluruh pasang mata yang tertuju padaku. Semuanya, saling bertatapan beradu tanya.
Terkecuali, satu tatapan tajam yang menusuk dari seorang laki-laki yang duduk paling pojok kanan belakang. Wajah dinginnya, mengingatkanku pada laki-laki yang kutemui kemarin. Tentu saja dia! Aku masih ingat betul mata milik laki-laki itu, wajah dingin dan kerutan dahinya.
Sial, aku bertemu dengan laki-laki itu lagi. Bodoh, seketika aku teringat perkataanku kemarin tentangnya. Bilang bahwa aku akan bertemu dengannya lagi lalu memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa. Sangat bodoh, itu berarti perkataanku kemarin membawaku untuk bertemu laki-laki itu lagi. Bodohnya mengapa aku tidak berdoa agar tidak dipertemukan dia lagi.
Kenapa aku dipertemukan dengan dia lagi, Tuhan? Padahal kau tahu, dia itu laki-laki pertama yang sukses membuatku kesal mati-matian.
"Fana, ayo perkenalkan diri kamu!" Terdengar suara Bu Eni menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum sekilas sebelum akhirnya aku memperkenalkan diriku.
"Hai!" sapaku ke semua penghuni kelas. "Namaku Andria Fana, kalian bisa panggil aku Fana," sambungku lalu tersenyum simpul ke semuanya.
"Fana? Fanatik ke siapa? Tukang sapu dirumah lo?" tanya salah satu murid perempuan dengan nada meremehkan. Perempuan yang sangat cantik. Dia tersenyum miring dan menatapku sinis. Sepertinya dia tidak suka kehadiranku. "Eh tapi sih jangan sampe aja lo fanatik ke pacar gue," lanjutnya lalu tersenyum ke laki-laki yang ada diseberang mejanya. Laki-laki menyebalkan itu.
"Riska! Jaga sikap kamu!" tegur Bu Eni ke pemilik nama itu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghembuskan nafas jengahnya. Sepertinya Bu Eni telah capek menegur perempuan itu.
Riska yang baru saja aku ketahui namanya hanya diam. Dia masih tersenyum sinis kepadaku. Aku rasa, aku mengerti maksudnya kenapa dia tidak suka keberadaanku. Dia tak mau kehilangan laki-laki yang ada diseberang mejanya. Seolah takut karena aku akan merebutnya dari dia. Padahal itu tidak akan terjadi. Mana mungkin aku akan suka laki-laki dingin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Time
Teen FictionHujan membawanya dalam kebahagiaan. Dalam waktu, ia diajarkan bagaimana saat hujan bersamanya. Mengajarkan dirinya menjadi sosok yang kuat, lebih tegar dalam kerapuhannya. Meskipun sekilas bersama hujan, ia tahu pada akhirnya luka yang dideritanya p...