Bagian 1

1K 92 14
                                    

RAYA

Bangun kesiangan di awal semester tiga itu sungguh bencana. Kelas pertama hari ini dimulai jam sembilan pagi, dan aku masih bergulat di bawah selimut ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan.

Dengan mata yang masih setengah berat, dan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika tengah menyikat gigi dan menghadap cermin di wastafel, otakku tiba-tiba memutar pada bayangan mimpi tadi malam.

Handphone itu ku lempar ke bawah. Mungkin sudah hancur sekarang, mengingat gedung pencakar langit ini punya tiga puluh lantai.

Diiringi semilir angin yang menerpa rambut, aku perlahan naik ke pagar pembatas di sisi gedung. Aku menangis begitu mengingat semua pertengkaran mama dan papa, cek-cok yang nggak ada habisnya, dari hal yang sepele sampai hal besar.

Rasanya tiada hari tanpa adu mulut bagi mereka berdua.

Hari ini, ketika aku baru pulang sekolah, pertengkaran hebat terjadi lagi. Aku nggak tau kenapa Mama sampai mengeluarkan ultimatum ingin berpisah sama Papa. Yang jelas, Papa yang sama tersulut emosi pun menimpali omongan Mama tanpa pikir panjang.

Aku kecewa. Dan langsung keluar dari rumah.

Dengan masih mengenakan seragam putih biru, langkah kakiku langsung menuntunku ke rooftop perusahaan Kakek. Tempat ternyaman yang sering kukunjungi akhir-akhir ini.

Entah ada dorongan makhluk halus atau apa, perlahan aku berjalan ke tepi gedung. Dengan rok sekolah yang sudah kusut dan sepatu yang sudah tinggal sebelah, aku perlahan naik ke pagar pembatas dengan kaki gemetar. Merasakan semilir angin yang menerbangkan rambut lalu merentangkan kedua tangan.

Rasanya sedikit menenangkan.

Apa dengan lompat ke bawah akan membuat lebih tenang lagi?

Aku memejamkan mata lalu menarik napas dalam, sampai akhirnya ....

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarikku ke belakang sedetik sebelum aku menghempaskan badanku ke bawah.

Aku jelas sadar kalau terjatuh menimpa seseorang.

Sikuku ngilu, tapi berhasil kutahan rasa sakitnya dan berusaha bangun lalu menatap sinis pada laki-laki yang masih tergeletak di teras rooftop yang berdebu ini.

"Kenapa sih lo ikut campur sama urusan gue?!" Teriakku pada laki-laki itu.

Dengan tenang, laki-laki itu menjawab "Kalo mau bunuh diri, jangan di depan mata gue. Ribet kalo nanti gue jadi saksi di kantor polisi."

Laki-laki itu lalu bangkit berdiri, "Sekarang gue mau pulang, tunggu sampe gue turun baru lo lompat deh sana." Sambil menepuk-nepuk bajunya yang sedikit kotor, laki-laki itu berjalan menuju pintu keluar dari rooftop.

Aku pun langsung mengambil langkah lebar dan mendahului laki-laki itu, "Minggir!" Sengaja ku senggol bahu kirinya.

"Lah? Nggak jadi?"

Aku tersadar kembali, "Padahal udah lima tahun, masih aja gue inget gimana tengilnya muka cowok itu."

*****

Terima kasih pada Dewi Fortuna yang masih berpihak padaku. Aku sampai di kampus lima menit sebelum kelas dimulai.

Aku langsung mengambil tempat duduk di barisan paling belakang. Sengaja, supaya kehadiranku nggak begitu mencolok dimata para Dosen.

Travel To You Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ