22. Bukan Ngedate!

471 35 5
                                    

-oOo-

"Akhirnya mungkin aku terobsesi akan dirinya."

-oOo-

Minggu pagi. Kedua mata menyorot lapangan tempat Roy bertanding sepak bola sekaligus berlatih untuk ikut turnamen. Liona sendiri memang tengah absen untuk eskul. Hani menghampirinya dengan senyum.

"Gimana? Ada turnamen badminton?"
"Belum diadain sih. Mungkin bulan depan," jawab Hani seraya meminum sebotol air mineral.

"Eh tumben banget ya kelompokan Zean gak dateng. Mereka gak ngajar? Gue rasa bukan jadwalnya deh. Lo minta maaf sama Zean, gak ngerasain sesuatu?"

"Apa maksud lo?"

"Yaaaa sesuatu seperti .... cinta. Hehehe."

Hani terkekeh tipis membayangkan wajah Zean.

"Dih, ngaco lo! Gue udah janji buat balikin gitar yang dia rusak."

"Emm. You're lucky girl Liona. Sama aja lo kayak ngedate sama Zean kalau pergi hari ini."

"Jangan ngawur mulu napa! Bikin jengkel gue deh lo. Gue serius, gue liat Zean sama seperti yang lain, gak dilebih-lebihkan begitu, emang dia sultan?"

"Lo bilang dia mirip Abi. Terus apa lo gak mikir kalau dia bener-bener Abi?"

Pertanyaan Hani mengejutkan Lio. Tiba-tiba ia memasang wajah datar menatap Hani dengan heran.

"Mereka beda. Gue udah bilang, apa yang Abi suka atau gak suka. Mereka punya perbedaan yang banyak."

"Tapi kalau wajah mereka sama lo mau bilang apa?"

Hani sedikit menekan Liona karena ia pun penasaran bagaimana pribadi Abi, sahabat yang sering sekali Lio ceritakan.

"Li? Gimana? Lo jadi ngedate sama Zean?" Roy datang sungguh berkeringat, ia meminum kasar soda miliknya.

"Heh pa'ul. Sekali lagi lo ngomong ngedate depan gue, gue palu pala lo!"

Roy terkekeh, sangat menyenangkan meledek Liona yang memang baper tingkat atas. Ia sangat sensitif jika sudah diledek oleh Roy.

"Mending sama Raja. Duitnya banyak. Gue bisa pendem duit gue, karena terus dibayarin Raja. Hahahah."

Jitakan di kepala Roy dapatkan dari Hani.

"Dasar Culametan Maneh!"

Liona terduduk di tribun lapangan sepak bola. Matanya memencar ke setiap sudut tribun. Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Mahasiswa Suardana memang telah menyelesaikan pembelajaran di kampus. Sebagian ada yang melanjutkan studi akhir, sebagian ada yang masih berkepentingan di kampus.

Seseorang datang, dengan celana jeans hitam, sepatu sneakers, dan kaos kasual berwarna hitam menghampiri Liona. Liona menundukkan kepalanya sejenak setelah ia menatap orang itu.

"Gimana? Jadi?"

"Gue udah nunggu 20 menit di sini," ucap Liona pada Zean yang terus tersenyum.

Ponsel berdering begitu nyaring.

"Hallo, Sonia. Ada apa?"

Zean menyambut panggilan dengan begitu ramah, terkesan sedikit memanjakkan.

"Oh nanti malem. Cafe biasa? Oke selow, gue dateng kok."

Lio menyeringai melihat gelagat Zean tengah menelpon yang membuatnya merinding sendiri.

"Kalau lo ada janji, gak usah hari ini aja kita pergi."

"No. Waktu gue lagi banyak. Gue butuh gitar itu saat ini."

Kamu akan menyukai ini

          

"Lo harusnya sering-sering ikut uji praktek. Lo calon dokter, kenapa lo pegang semua jenis instrumen?"

"Jangan banyak omong. Ayo pergi."

Tak sadar, mereka selalu bertemu akan hal kejadian yang aneh. Pertemuan mereka seperti sudah direncanakan dalam keadaan buruk. Satu mobil. Canggung. Tidak nyaman. Itu yang Lio rasakan walau ia memang tak merasakannya berlebih. Ia anggap Zean kali ini adalah Roy yang selalu menjadi ojek pribadinya. Tapi kali ini anggap saja ia sedang menumpangi taksi online.

"Jauh?"

"Bentar lagi."

Hmmm. Liona menghela napasnya bosan. Ia tak tahu harus melakukan apa di mobil Zean yang memang sungguh nyaman.

"Turun!" Zean membukakan pintu mobil untuk Lio, membuat Lio canggung sendiri.

"Kenapa lo lakuin ini?"

"Bunda gue selalu berkata, kamu harus bukain pintu mobil buat orang lain yang baru dikenal. Kesopanan itu harus tetap ada pada diri manusia." Ucapan Zean membuat Liona semakin canggung.

Mereka memasuki sebuah pintu berbahan kaca yang lebar. Terlihat di dalam beberapa model gitar menggantung pada dinding. Beberapa alat musik pun banyak di dalam. Mata Lio terbelalak kala ia melihat gitar dengan ukuran yang tidak biasa.

"Itu saya gak jual," ucap seorang lelaki tiba-tiba menghampiri mereka, sepertinya itu pemilik tempat.

"Eh Mang Yusuf, apa kabar Mang?" Zean menyapa ramah lelaki yang sepertinya memang sudah ia kenal akrab.

"Nak Ab ..."

Zean berdehem depan Mang Yusuf ketika ia ingin memanggilnya.

"Abram, dia suka manggil gue Abram." Zean mencoba bicara depan Lio.

"Mau dia manggil lo apapun bukan urusan gue," ucapnya menyeringai aneh.

Zean lantas menyerahkan gitarnya yang patah pada Mang Yusuf. Ia terkejut melihat gitar Zean.

"Kenapa bisa gini nih?" Mang Yusuf memutar balikkan gitar melihat kondisi.

"Sesuatu terjadi," ucap Zean melirik malas Lio yang canggung.

"Gini aja, Mang Yusuf bakal ganti bodynya, tapi agak lama. Dijamin, bodynya akan lebih bagus dari ini. Nunggu lama gak apa-apa?"

"Kira-kira berapa jam ya Mang?"

"Gak sampe subuh kok. Ya? Mamang perbaikin dulu."

Mang Yusuf melangkah ke ruangan pribadinya untuk segera membereskan permasalahan gitar Zean.

"Anjir lama nih. Gue duluan aja ya, nanti gue TF deh, minta nomor Rekening lo?"

"Gak! Gue gak mau TF. Gue mau lo bayar langsung!"

"Batu banget sih lo. Waktu gue sia-sia nih."

"Gue tau lo gak ada kegiatan selain eskul kan? Kegiatan lo cuma baksos juga."

"Heh, baksos itu mulia. Seenggaknya kalau gak mau TF lo jangan banyak bacot tentang apapun yang gue lakuin ah elah." Liona kesal, ia terduduk di sofa dengan terus mengangkat kedua alisnya.

Zean sendiri mengambil sebuah gitar dan mulai mrmainkannya dengan nada selaras. Ya, Lio memang bohong jika ia tidak menyukai instrumen yang satu ini. Lio sangat suka mendengar alunan musik yang keluar dari gitar akustik. Dan Zean memang terlihat begitu tampan saat memainkan alat tersebut. Lio memperhatikan dalam dengan maksud memang penasaran.

"Lo yakin dari kecil tinggal di Bandung?" Tiba-tiba pertanyaan Liona menghentikan petikan Zean.

"Tuh, lo fansclub gue kan? Lo ingin tau segalanya."

"Hemm. Males gue nanya."

"Gak sepenuhnya gue tinggal di Bandung." Ucapan Zean membuat Liona membangunkan setengah badannya yang tadinya ia rebahan begitu nyaman di sofa.

'Terus tinggal di mana?" Lio bertanya begitu penasaran sampai Zean terlihat canggung sendiri ditatap oleh Lio.

Matanya memencar ke segala arah membuat Lio sadar.

"Em, gue nanya karena gue pikir lo tuh anak Jaksel. Ada temen gue yang modelnya kayak lo begini, aneh."

Zean menatap Liona datar, ia sedikit jengkel dengan mulut Liona. Ia kembali memetik gitarnya dengan nada selaras. Alunan musik membuatnya bernyanyi. Liona sendiri melotot kaget saat Zean mulai mengeluarkan suara. Lagi-lagi ia teringat akan Abi, sahabat masa kecilnya yang sering sekali menyanyikan lagu untuknya. Ketika Lio menangis karena bola yang mereka mainkan tertusuk duri dan mulai rusak. Abi memecahkan celengannya hanya untuk memberikan hadiah sebuah bola untuk Lio. Dari sana Lio mulai sadar, Abi adalah orang penting yang membuatnya tahu bagaimana cara membahagiakan diri sendiri.



Voment Geisssssss😆Terima Kasih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Voment Geisssssss😆
Terima Kasih

OFFICIALLY MISSING YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang