Untuk pertama kalinya Eela mulai menjalani aktivitas seperti biasa setelah ia menikah. Tepat pukul sembilan pagi setelah Aksa, suaminya berangkat terlebih dahulu pergi ke kantor ia pun berangkat ke butik miliknya yang berada di daerah kemayoran.
Sebelum berangkat ke butik, ia sempat menyantap sarapan terlebih dahulu. Sejak kecil ia selalu dibiasakan sarapan hingga kebiasaan itu masih saja ia lakukan hingga kini. Berbeda dengan kebiasaan Aksa yang tidak pernah sarapan sama sekali. Lelaki itu hanya minum satu gelas air putih hangat lalu pergi ke kantor. Meskipun tidak pernah melihat secara langsung suaminya berangkat ke kantor, namun melihat gelas basah yang terletak di rak piring seakan memberitahunya selama ini, segala kebiasaan yang selalu Aksa lakukan setiap pagi.
Mereka memang tidak pernah mengganggu aktifitas masing-masing, namun bukan berarti Elea tidak tahu hal-hal kecil yang mulai ia tahu dan menjadi kebiasaan suaminya. Meskipun terkadang tidak tegur sapa, namun Elea selalu memastikan segala keperluan suaminya.
"Bi, saya berangkat ya?" Pamit Elea pada asisten rumah tangganya Bi Isah.
Bi isah memang sudah lama bekerja di rumah Aksa, bahkan sebelum Elea datang pun bi Isah sudah terlebih dahulu tinggal di apartemen Aksa. Namun karena sekarang Aksa sudah memiliki seorang istri, bi Isah hanya datang di siang hari dan pulang sore hari.
"Iya neng. Hati-hati di jalan." Balas bi Isah, mengantar Elea sampai depan pintu.
Mengendarai mobil sedan putih kesayangannya, Elea berangkat menuju butiknya. Ia sangat merindukan suasana butik, karena selama satu minggu ini ia hanya bisa bertanya pada asisten nya Sibil bagaimana kondisi butik.
Butik yang dikelola Elea bukanlah butik besar, namun kualitas keterampilannya tidak diragukan lagi. Sudah banyak pelanggan yang merasa puas dengan berbagai rancangannya, termasuk rancangan gaun pengantin. Satu minggu kemarin, ia hanya bisa memantau semua kegiatan karyawannya dari rumah, yang terdiri dari dua orang perempuan dan satu laki-laki.
Di tempatnya hanya dipergunakan untuk menerima pesanan, dan mendesain saja, sedangkan untuk tim produksi Elea menempatkan di tempat lain secara terpisah. Menjadikan kantor kecil miliknya terasa nyaman, dan tertata rapi. Sangat cocok dengan kepribadiannya yang tidak menyukai kebisingan.
"Selamat datang mbak El!" Seru ketiga karyawannya begitu ia membuka pintu, lengkap dengan taburan bunga untuk menyambutnya.
"Ya ampun! Kalian ngagetin aja!" Elea tersenyum menerima sambutan dari para pekerjanya, bahkan Sibil langsung menghampirinya memberikan satu buket bunga mawar putih kesukaan Elea.
"Selamat datang! Dan selamat menempuh hidup baru!" Elea menerima buket mawar putih, menghirup aroma wangi dari bunga itu.
"Terimakasih banyak."
Satu persatu mereka menyalami Elea, memberinya selamat atas pernikahannya. Mereka bertiga memang tidak diundang ke acara pernikahannya. Bukan karena Elea tidak menyayangi karyawannya, tapi karena ia pun merasa tidak menganggap pernikahannya penting jadi ia tidak ingin menambah ramai acara yang sebenarnya tidak diharapkan.
"Bagaimana keadaan butik selama aku gak ada?" Tanya Elea,
"Baik mbak. Semua sesuai perintah mbak El, tinggal satu lagi yang harus dikerjakan yaitu gaun untuk pasangan Pak Elnandar dan Bu Monica." Jelas Sibil, ketika mereka berdua sudah berada di ruangan pribadi Elea.
"Kapan acara pertunangan mereka?"
"Menurut data yang saya terima, acaranya bulan depan." Elea mengangguk, mengamati catatan yang diberikan Sibil padanya.
"Kalau begitu kamu dan Julian segera ke tempat tim produksi, dan cari bahan-bahan yang diperlukan."
"Rencananya aku dan Julian kesana besok, hari ini ada pekerjaan lain yang harus kita selesaikan."
"Oh,, ya sudah. Begitu lebih bagus." Sibil pun keluar dari ruang kerja Elea.
Satu minggu meninggalkan salah satu tempat favoritnya, membuat Elea mengamati setiap sudut ruangannya dengan seksama. Tempa kecil yang hanya berukuran tidak lebih dari lima meter persegi itu menyimpan banyak kenangan untuknya. Di tempat kecil ini ia bisa meluapkan segala keluh kesalnya dan bersembunyi dari berbagai masalah yang menghampirinya. Dengan menggambar ia bisa meluapkan segala ekspresi yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat di dalam dirinya.
Jemari Elea tidak hentinya menyentuh setiap sudut ruangan, hingga jarinya terhenti di sebuah buku bersampul pink yang masih terletak di atas nakas. Sebelum mengambil buku itu, ia harus menghirup udara sebanyak-banyaknya, bukan karena buku itu berat dan membutuhkan tenaga ekstra untuk mengangkatnya, namun buku itu adalah buku impiannya yang harus ia kubur dalam-dalam dan menjadi hal terberat untuk membukanya. Karena dengan membuka buku tersebut, sama saja ia membuka kembali luka hatinya.
Seharusnya ia tidak lagi menyimpan buku tersebut, atau mungkin seharusnya ia membuang atau membakarnya sejak lama. Namun entah mengapa ia merasa butuh waktu untuk benar-benar membuang buku itu, melenyapkan dari hidupnya.
"Benar-benar hanya tinggal kenangan," ucap Elea begitu ia memberanikan diri membuka buku tersebut.
Semua hasil gambarnya masih tertata rapi di bagian dalam buku. Halaman pertama terdapat gambar sebuah gaun pengantin yang ia gambar dengan sepenuh hati, bahkan gambar itu di ibaratkan isi hati dan juga harapannya. Tidak hanya gaun pengantin untuknya saja yang ia gambar, namun juga baju untuk calon pengantin pria yang akan mendampinginya. Tampak begitu serasi dan sangat indah, bahkan di samping gambar sudah ia beri nama, yaitu Elea dan Daren.
Membuka halaman kedua, ada dua pasang gaun yang sengaja ia rancang untuk Ibunya dan juga Danissa adiknya, tidak lupa ia juga mendesain pakaian untuk Daddy nya, Revan. Semua sudah ia desain dengan sangat indah sesuai keinginannya, namun keindahan itu justru tidak pernah terjadi dan malah sebaliknya. Yang menikah dengan Daren bukanlah dirinya, melainkan Danissa adiknya.
Sampai saat ini Eelea masih tidak mengerti dengan semua skenario yang terjadi di hidupnya, meskipun ia berusaha mengerti namun rasa sakit itu masih terus mendominasi hatinya bahkan hingga hari ini.
Tanpa terasa ia kembali meneteskan air mata, menangisi sebuah buku yang menyimpan seluruh hati dan juga harapannya.
"Mbak El,, ada tamu." Terdengar suara Sibil dari arah pintu, membuat Elea segera menyeka air matanya dan menyimpan buku kenangan itu di dalam nakas.
"Iya,,, persilahkan masuk."
Setelah merapikan kembali riasannya, dan memastikan tidak ada lagi sisa air mata di pipinya Elea segera keluar ruangannya untuk menemui tamu yang dimaksud Sibil.
"Tamunya sudah menunggu di ruangan depan, mbak." Ucap Anjelin begitu ia berpapasan dengan Elea. Elea mengangguk, mengerti dan segera menuju ruang depan yang dikhususkan untuk menerima tamu. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu, begitu ia menyadari siapa yang datang mengunjunginya.
Sibil yang tengah bersama orang tersebut, menghampiri Elea, "Pak Daren sering kesini, bahkan hampir setiap hari selama mbak El libur."
"Iya, terimakasih ya. Kamu boleh kembali bekerja." Sibil patuh, langsung pergi meninggalkan Elea dan juga Daren.
Menetralkan segala rasa yang bercampur aduk menjadi satu di hatinya, membuat sekujur tubuhnya meremang bahkan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Elea, ia duduk jauh di sebrang Daren.
"El," Daren menggeser duduknya,
"Tolong tetap disitu!" Perintah Elea, membuat Daren akhirnya menurut.
"El,,, kita bisa bicara baik-baik." Pinta Daren, seperti memohon.
"Bukankah selama ini kita bicara baik-baik?"
"Bukan itu maksudku. Tapi tentang kita,"
"Tidak ada yang perlu dibahas lagi. Kamu harus ingat, kamu sudah memiliki keluarga begitu juga denganku."
"Aku ingin kita seperti dulu lagi El."
"Kamu gila?! Kamu suami adikku!" Elea semakin tidak bisa mengendalikan dirinya, bahkan ia meninggikan sudah suaranya.
"Jika kedatanganmu kesini hanya untuk membahas tentang masa lalu kita. Lebih baik kamu pergi, sebelum suamiku datang!"
"Kamu mencintainya?" Selidik Daren.
"Tentu! Mana mungkin aku mau menikah dengannya jika aku tidak mencintainya!"
"Kamu tidak bisa bohong El,"
"Ini terakhir kalinya kamu datang kesini. Tolong pergi!" Elea segera beranjak meninggalkan Daren, namun begitu ia berdiri tangannya terlebih dahulu di cekal Daren.
"Daren!"
"Kamu masih mencintaiku, benar bukan?!"
"Tidak!"
Elea meronta, mencoba melepas cengkraman tangan Daren, hingga akhirnya terlepas. Ia segera berlari menuju ruang kerjanya dan mengunci diri.
Terdengar pintu ruang kerjanya diketuk dengan sangat kencang dari arah luar.
"El,,, buka pintunya El. Kita belum selesai bicara!" Daren berteriak dari luar, dan masih terus mengetuk pintu dengan sangat keras.
Elea hanya bisa menangis sambil menutup kedua telinganya. Tubuhnya luruh, duduk terkulai lemas di balik pintu. Ia tidak mungkin membuka pintu dan membiarkan Daren kembali masuk ke dalam ruang kerjanya seperti dulu, akhirnya Elea meraih ponsel miliknya dan menghubungi Aksa.
"Bisa datang ke tempat kerjaku. Aku butuh bantuanmu." Suara Elea bergetar menahan isak tangisnya.
Meskipun ia tidak yakin apakah Aksa akan benar-benar datang menolongnya atau justru Aksa akan mengabaikannya. Namun hanya nama Aksa yang terlintas begitu saja di pikirannya saat ini.