Memori manusia tidak mudah terlupakan, sebagian dari kenangan mereka tetap hidup dan tersimpan dalam hati.
Tapi kadang kenangan adalah hal yang berbahaya.
Meskipun telah membalikkannya berulang-ulang, bahkan menghapal tiap sudut serta sentuhannya, tapi tetap saja kau akan menemukan tepian yang dapat melukaimu.°°°°°°°°°°°°°°°°
"Jam berapa Cami seharusnya pulang?"
Dominic Hill berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.Tak ada jawaban.
Ia memutar kepalanya kearah deretan sofa Kashmir yang ada di sudut lain ruang keluarga, dan menemukan putri bungsunya, Brianna Hill, tengah berbaring menelungkup di salah satu sofa panjang dengan separuh wajahnya tertutup bantal, sedangkan kedua tangannya sibuk berkutat dengan ponselnya."Apa kau mendengarku?!"
Brianna berjengit mendengar seruan ibunya.
Dia menurunkan ponselnya lalu menatap ibunya dengan wajah terganggu.Dirinya sedang memiliki masalah yang lebih besar saat ini.
Sangat serius.Violet Queen dan kawan-kawannya sudah memiliki seri terbaru Sac De Jour, tas tangan keluaran Yves Saint Laurent edisi terbatas dengan warna powder yang luar biasa menakjubkan serta desain super keren yang diidamkan semua wanita di seluruh penjuru dunia.
Sedangkan ia sendiri belum mendapatkannya.
Ini bencana.Ia tak sudi terlihat seperti seorang pecundang miskin di kampus.
Ini soal pelestarian diri.
Pergi dengan mobil yang sama setiap hari selama beberapa tahun ini saja sudah cukup memalukan baginya.
Apalagi jika sampai harus ketinggalan tren mode."Aku bertanya padamu Brianna, di mana Cami?!"
"Astaga Mom." sungutnya.
"Entahlah, aku bukan pengasuhnya,""Lagipula kenapa kita peduli dia pulang atau tidak?"
"Sebab adikku sayang, kita butuh uang untuk semua tas mahalmu, dan juga pakaian-pakaian terbaikku,"
Anastasia Hill, sang putri sulung berbicara dari sofa single yang ada di seberangnya.
Ia tengah mengecat kuku jari kakinya dengan warna biru metalik.
Menurutnya warna ini akan terlihat sempurna dengan gaun barunya."Memangnya kau mau bekerja paruh waktu di Ninetynine, membawa baki minuman setiap malam, seperti Camille?"
Brianna hanya memutar bola mata menanggapinya lalu berpaling kembali pada ibunya,
"Sampai kapan kita harus tinggal bersamanya, Mom?"
"Bukankah ayahnya sudah lama meninggal? Kita seharusnya melanjutkan hidup tanpa putrinya harus menempel pada kita," ia mengerutkan hidungnya."Anak-anak, apa yang pernah kubilang tentang kesabaran?"
"Kita punya sejumlah hutang karena biaya pengobatan ayahnya yang amat besar— itu cerita yang Camille percayai dan membuatnya mau bekerja untuk kita selama ini,"
"Kita perlu membuatnya tetap seperti itu.""Selain itu alasan utama kita menerima Cami adalah karena perjanjian-nya."
Dominic berdiri dari kursinya dan berjalan ke dekat jendela.
Ia menyibakkan tirainya dan memandang ke arah jalanan yang ada di bawah."Maksud Mom perjanjian dengan orang yang telah menabrak Dad? Jadi itu sungguhan?" Brianna terkesiap.
Dominic menyipitkan mata memandangnya.
"Terrence Young bukan ayahmu,""Alasanku menikahinya karena kupikir dia komposer yang menjanjikan, dan kita bertiga akhirnya tak perlu khawatir soal uang lagi, tapi sebaliknya, dia malah menjadi gila dan hampir saja membuat kita jatuh miskin bersamanya."
"Benar-benar mengerikan..." ujarnya bergidik.
"Kita beruntung karena orang itu datang dan menawarkan... bantuan."
Ia mengamati bayangan wajahnya yang terpantul pada kaca jendela.Menikahi Terrence Young adalah sebuah kesalahan.
Hanya karena ketidakpastian akan nasibnya dan kedua putrinya setelah perceraiannya, ia telah bertindak bodoh.Jika saja ia bisa menunggu sedikit lebih lama lagi, mungkin dirinya akan bertemu dengan bankir atau pengusaha properti, alih-alih seorang musisi yang bangkrut.
"Seperti apa syarat perjanjian-nya?"
Ia mendengar Brianna bertanya ragu."Legal status, artinya jika Cami sebagai keturunan Terrence sudah dianggap dewasa secara hukum, maka orang itu akan menghentikan semua bantuannya pada kita selama ini."
"Tapi jika mereka berhenti memberikan uang pada kita, apa yang harus kita lakukan, Mom? Kau sudah menjual rumah Terrence di Seattle ketika kita butuh dana untuk berlibur keliling Eropa tahun lalu."
"Dan semua uang dari Camille selalu saja habis terpakai untuk baju-baju Anastasia," ia menuding kakaknya yang kini balas mendelik padanya.
"Kau memakainya juga untuk membeli tas-tas bodohmu!"
Dominic tenggelam dalam pikirannya, ia tersenyum melalui kaca jendela menatap bayangan wajahnya.
Dia telah menyiapkan rencana cadangan sejak lama, menunggu jika waktu seperti ini datang."Sebenarnya siapa orang yang menabrak ayah Camille?" pertanyaan Anastasia menarik pikirannya kembali.
"Kenapa kau tak pernah mengatakannya pada kami?"
Sekarang ia yakin, kedua putrinya sudah siap untuk ini.
"Kalian benar," tukasnya.
"Kurasa ini saatnya aku memberitahu kalian,"
"Rahasia besarnya—"
Dominic menoleh memandangi kedua putrinya, tersenyum melihat raut wajah mereka yang dipenuhi rasa ingin tahu.°°•••°°•••°°•••°°•••
"Jadi?"
Camille menatap Sarah yang duduk di sampingnya.
Ia mengurungkan niat menggigit roti isi-nya dan meletakkan makan siangnya itu kembali ke atas piring."Apa?"
Sarah berdecak tak sabaran,
"Ayolah, kau menghabiskan waktu sepanjang sore di rumah Gabriel Adams dan dia mengantarmu pulang, ceritakan padaku apa yang terjadi?" desaknya, penasaran.Camille mendelik padanya sambil memberi isyarat untuk memelankan suaranya.
"Aku datang ke rumah mereka untuk mengajari adik perempuannya, bukan untuk menemui Gabriel," bantahnya dengan suara direndahkan.Pandangannya berputar mengawasi sekeliling cafeteria kampus yang bising dan penuh oleh mahasiswa, seolah khawatir ada orang yang mungkin mendengar pembicaraan mereka.
Violet, lebih tepatnya, sumber dari kekhawatirannya.
"Ya tapi tetap saja kau berada di rumahnya, apa kau bertemu ayahnya? Kudengar dia punya koneksi dengan salah satu pengajar di Juilliard, jika dia melihat permainanmu mungkin saja—" Sarah menatapnya penuh harap.
"Tidak, katanya mereka tak ingin ayahnya tahu,"
"Jadi mungkin aku tak akan pernah bertemu dengannya.""Sayang sekali,"
"Bagaimanapun aku tetap berterima kasih, ibunya benar-benar murah hati,"
"Gajinya cukup besar,"
"Kalau ini berjalan dengan lancar, aku bisa pindah lebih cepat dari perkiraanku.""—dan memulai sekolah musikku sendiri,"
"Keren,"
"Aku sudah menemukan tempat,"
"—tidak besar, tapi itu cukup untukku,""Lagipula dulu ayahku juga memulainya dari nol," senyum bangga terbayang di wajahnya.
"Wow, kau benar-benar akan melakukannya kali ini,"
"Dan Dominic sama sekali tidak tahu kau menyisihkan sebagian uangmu untuk pindah ke tempat yang baru?"Camille menggelengkan kepalanya,
"Aku tidak punya pilihan saat Dominic menyodorkan surat hutang hipotek rumah serta bukti pembayaran dari rumah sakit, tapi aku tidak bodoh,""Ayahku dirawat di bangsal rumah sakit dengan fasilitas terbaik selama lima tahun, sekalipun seluruh harta yang kami miliki, dan juga uang Dominic digabungkan, tak akan sanggup menutupi biayanya, bahkan jika hanya setengahnya saja,"
"Bagiku ini semua tidak masuk akal."
"Aku tidak yakin apa yang terjadi, tapi aku sedang berusaha mencari tahu.""Astaga," desis Sarah syok.
"Ini berita besar, kenapa kau tidak pernah cerita sebelumnya?""Cerita soal apa?"
Camille nyaris terkesiap ketika tiba-tiba mendengar suara bariton yang sangat ia kenal.
Ia menoleh dan mendapati Gabriel Adams telah berada di sampingnya.Tanpa menunggu jawabannya, lelaki itu menarik kursi yang terdekat ke sebelah Camille lalu duduk di sana.
Gabriel mengenakan kaos henley merah maroon yang menonjolkan warna mata biru obsidian-nya.
Lelaki itu menyunggingkan senyum saat bertemu pandang dengannya.
"Hei, apa kabar?"Camille menahan napas ketika kaki jenjang Gabriel tak sengaja menyentuh lututnya saat lelaki itu bergeser dari duduknya.
"Wow Gabriel Adams duduk bersama dengan kita, apa kau yakin tidak salah meja?" ia mendengar Sarah berbicara.
"Kelompok anak populer ada di sebelah sana," gadis itu menunjuk ke arah sudut timur cafetaria di mana Violet Queen dan para anggota tim football kampus berada.Gabriel mengangkat alisnya menatap Sarah dengan pandangan mencemooh sebelum berpaling kembali padanya,
"Aku ingin bicara padamu, Camille.""Apa kau punya waktu sore ini?"
"Ada yang ingin kutunjukkan padamu.""Kau mengajaknya kencan?"
"Pacarmu berada kurang dari seratus meter dan kau mengajak gadis lain?""Sarah—"
"Tolonglah, ini penting, dan aku tahu kau peduli padanya," Gabriel berkata pada Sarah, menyela perkataanya.
"Aku akan menunggu setelah latihan sore ini, temui aku di stadium, oke?"
Lelaki itu tersenyum padanya lalu beranjak dari kursi tanpa menunggu jawabannya.Ia hanya tercengang memandangi punggung Gabriel yang semakin menjauh ketika lelaki itu berjalan keluar dari cafetaria.
"Itu tawaran yang menggiurkan," komentar Sarah sambil mengikuti arah pandangannya.
"—ya, jika kau ingin Violet Queen mendaratkan cakarnya yang tajam ke lehermu." keluh Camille.
Ia menggeleng pelan dan menghembuskan napas panjang.••••••••••••••••••
Holaa gaess thanks for stopping by and reading this book, please leave me some votes and comments for the better episodes🙏🙏🙏
Thank you, see you soon and have a great day #stayathome safely and healthy gaess💪
😀❤❤🎊🎉