AALM | 17

3K 553 27
                                    

Should I?

Hari ini adalah hari Jumat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini adalah hari Jumat.

Yang artinya, para siswi akan berkumpul di lapangan dan memilih untuk tidak pulang hanya untuk menonton siswa-siswa dari ekstra basket bermain. Berlomba untuk menebar pesona walau mereka tau, usaha mereka sia-sia.

Namun, permainan yang biasanya terjadi sengit antara kubu Aaron dan kubu Geri, kini menjadi sangat membosankan. Aaron yang notabennya adalah ketua tim basket angkatan lalu tak kunjung mencetak skor, dia malab membuat kesalahan-kesalahan fatal selama permainan.

Lelaki itu juga tak se excited biasanya, membuat Geri dengan terpaksa menghentikan permainan. "Istirahat sepuluh menit yok!" teriaknya. Dia mendekati Aaron yang sedang mengacak rambutnya sendiri. "Fokus Ron, bentar lagi DBL," ingatnya pada Aaron diikuti tepukan kecil pada punggung berkeringat lelaki itu.

Aaron menarik napasnya, mengangguk sesaat sebelum berjalan kearah kursi penonton.

Farel yang juga mengikuti ekstra yang sama segera menyusulnya. Ikut duduk di sebelah lelaki itu dan memberikan sebotol air. "Minum dulu, kurang aqua nih pasti," seperti biasanya, dia akan mulai mencairkan suasana.

Lelaki di sampingnya menarik senyum simpul, membuat kedua dimple nya dengan sempurna terbentuk. "Thanks," singkatnya meneguk habis air putih di genggamannya.

"Belum mau cerita?" tanya Farel membuat Aaron menoleh, menaikan sebelah alisnya bingung. "Yaelah Ron, gue udah temenan ama lo hampir enam tahun! Semua busuk-busuknya lo gue udah afal kali, masih aja suka nutupin masalah. Kenapa sih? Nyokap? Arini?"

Aaron menggeleng, mengedarkan pandangannya ke arah lapangan. "Gue masih nggak enak aja sama lo-lo pada."

"Apaan?" tanya Farel. "Yang kejadian di kantin?" Aaron mengangguk. "Buset dah! Santai kali pak, kayak sama siapa aja. Lo tau lah, Diva kalo ngomong kadang emang suka ceplas-ceplos. Ya sebelas dua belas lah sama si Gilang. Apalagi kalo dia udah marah tuh, beuh itu ubun-ubun kayaknya udah mau ngeluarin asep tau nggak saking panasnya?"

"—Tapi lo tau, abis itu dia balik lagi. Kalo udah selesai juga bakal maafin. Nggak usah kepikiran banget lah! Gue kira lo ada masalah apaan sampe nggak fokus gitu, taunya ginian doang."

Farel tersenyum sebelum akhirnya berdeham pelan. "Gue sama anak-anak sebenernya udah pengen nanya sama lo dari lama, cuman nggak enak aja karena lo juga kayaknya belum mau cerita. Itu muka kenapa bisa babak belur sih?"

Lelaki berambut coklat dengan wajah manis itu mengangkat kedua alisnya, dia tahu Aaron bukan tipe lelaki senggol dikit bacok. Lelaki itu terlahir benar-benar manis, baik dan terkesan sempurna di mata Farel. Maka dari itu, kesannya aneh jika melihat Aaron bisa babak belur seperti itu.

"Kepeleset dari kamar mandi gue."

Farel berdecak. "Ron-Ron, mau ngibulin siapa sih lo? Gue?" lelaki itu berdeham untuk kesekian kalinya. "Boleh gue tebak nggak?"

          

Aaron diam, tak mengiyakan juga tak menolak.

"Ada hubungannya sama Gista?"

Lelaki berkeringat itu sontak menoleh mendengar nama Gista disebut, membuat Farel tertawa geli. "Iya berarti, kalo gitu muka lo."

Aaron menghela napas panjang. Mungkin menceritakan sedikit kepada Farel bukan opsi yang buruk. "Setiap kali gue ngeliat dia, gue keinget Arini. Dari cara jalannya, cara dia ngeliat orang sampe wanginya aja sama."

Farel menoleh, masih menunggu kelanjutan kata-kata Aaron. Walau sebenarnya dia ingin sekali kembali bertanya ;

Lo tau darimana wanginya si Gista?!

Namun Farel memilih bungkam, tak mau menyela ucapan sahabatnya.

"Gue aneh banget Rel. Gue nggak ngerti kenapa gue kayak gini, kita bahkan nggak deket."

"Udah?" tanya Farel memastikan. "Gue yakin at least ada sesuatu hal yang terjadi antara lo sama si Gista, sampe lo bisa dapet that felling dan berani babak belur kayak gini karena dia, yang belum lo ceritain ke kita. Atau emang lo nya yang belum siap. Tapi apapun itu, gue tau lo bukan orang yang bego. Gue kenal lo dan gue percaya sama semua keputusan yang lo bikin. Cuman, saran gue sih jangan gegabah. Jangan gampang nyimpulin sesuatu. Ikutin kata hati boleh, tapi jangan lupa lo juga punya akal sehat buat mikir."

Ucapan panjang lebar Farel membuat Aaron mengernyit geli, dia terkekeh. "Tumben bijak."

"Dih, ngeremehin lo! Lo nggak tau aja sebanyak apa orang yang udah berkonsultasi sama gue, masalah begituan mah kecil," sombong Farel seraya menjentikan jarinya.

"Emang berapa orang yang udah konsultasi sama lo?" tanya Aaron masih dengan senyuman remehnya.

Farel yang mendapati pertanyaan seperti itu langsung mengeluarkan sepuluh jarinya, pura-pura berhitung dengan serius sembari sesekali menutup mata. "Baru lo sih, hehe," jawabnya menyengir diikuti dengusan sebal dari Aaron.

Tak lama, Geri menepuk tangannya tanda break telah usai. Membuat semua siswa yang mengikuti ekstra kembali ke tengah lapangan.

Aaron baru saja akan berlari, namun sebuah tangan mengalung indah di bahunya. "Gista cantik Ron, tapi gue yakin bukan itu yang bikin lo tertarik sama dia. Jadi kalo menurut lo dia emang orang yang tepat, nggak ada salahnya 'kan buat mulai gerak?" kata Farel menutup konsultasi mereka hari ini.

Aaron diam, sedangkan Farel tersenyum.

Keduanya kemudian kembali ke tengah lapangan untuk menyelesaikan latihan mereka yang sempat tertunda.

***

Seharusnya Gista sudah pulang, tetapi rasa mual yang melandanya sejak istirahat kedua membuatnya tak mampu untuk sekedar berjalan ke parkiran.

Tadinya, dia mau menelfon pak Andi untuk segera menjemputnya karena sakit saat jam istirahat. Tapi karena dia belum membeli ponsel baru, jadilah disini dia berada.

Di wastafel kamar mandi dengan tumpahan muntah di atasnya.

Dihitung sudah lima kali dia muntah sejak tadi. Sialnya, Gista juga tidak membawa obat maagnya.

Mual dan muntah ini 100% disebabkan oleh maag akutnya. Dia seharian tidak makan atau minum. "Huek!"

Oke, ini keenam kalinya.

Setelah merasa cukup, Gista mendongak, menatap wajah kacaunya di pantulan kaca. Bersamaan dengan munculnya ketiga gadis lain dari bilik kamar mandi.

Gadis-gadis itu menatapnya nanar, ada raut kekawathiran dan ingin tau. Tapi Gista sudah tak punya cukup tenaga untuk sekedar menggertak mereka. Dia sudah benar-benar lemas.

An Angel Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang