"Apa hak mu melarangku?!"
"Aku istrimu, Theo... istri sah mu!"
Lagi, keributan itu yang kerap kali anak berusia sepuluh tahun itu dengar. Dia mulai mempelajari semuanya sejak dia berusia tujuh tahun. Dia mulai belajar dan mengerti alasan kenapa ibunya sangat membencinya, juga kenapa kedua orangtuanya berkelahi terus.
"Tuan muda, mari saya antar ke kamar," ajak kepala pelayan disana.
Dia mengangguk. Mata cokelatnya sekali lagi menatap ke arah kedua orangtuanya sebelum naik ke lantai dua untuk masuk ke kamarnya.
"Nanny..." panggilnya pada kepala pelayan yang sekaligus menjadi pengasuhnya sejak dia bayi.
"Ya, tuan muda,"
"Kenapa mommy dan daddy selalu bertengkar? Apa daddy tidak menyayangi mommy?" Tanya-nya.
Kepala pelayan itu hanya mengusap rambut cokelatnya. Dia mengusapnya dengan perlahan dan memberikan tatapan mengasihani padanya.
"Apa karena Ava lahir, makanya mommy dan daddy berkelahi terus?"
"Astaga! Siapa yang bilang begitu?"
Dia hanya menggeleng. Tidak berani memberitahu kepala pelayannya. Dia terkejut saat kepala pelayannya sudah berlutut di depannya.
"Tuan muda, ayah dan ibu anda sangat menyayangi anda. Mereka menunggu anda sudah sangat lama,"
"Lalu, kenapa sekarang mereka tidak saling menyayangi lagi?"
"Itu... saya juga tidak tahu, tuan muda. Tapi, saya sangat yakin, tuan besar dan nyonya sangat menyayangi anda,"
Dia mengangguk saja. Dia membiarkan kepala pelayan itu mengantarnya tidur. Setelah kepala pelayan pergi, dia duduk di atas tempat tidurnya. Matanya melihat foto yang ada di nakasnya. Tidak ada senyuman di foto itu. Dia mengeluarkan kalungnya dan melihat liontin itu tertuliskan sebuah nama.
"Varlean Rovert Koflain," gumamnya membaca nama itu.
.........
"Pagi, mommy..." sapanya dengan senyum di bibirnya namun bukanya jawaban, dia malah mendapat tamparan kuat di pipinya.
"Mommy?"
"Dasar pengkhianat!!"
Dia berlari menghampiri ibunya. Tangannya menggenggam tangan ibunya.
"Mommy... ini Ava," ujarnya.
Sang ibu menatapnya sekilas sebelum melayangkan sebuah tamparan lagi.
"Kenapa kau harus lahir?! Karena kau lahir dia jadi selingkuh dengan wanita lain!! Kau membuatnya menjauh dariku!!"
Bukan hanya satu pukulan namun, banyak pukulan yang Varlean terima. Tapi, Varlean diam saja. Terakhir dia menangis adalah saat usianya tujuh tahun. Sejak saat itu, sekuat apapun ibunya memukulnya, dia tidak lagi pernah menangis.
"Nyonya... sudah..." ujar kepala pelayan saat dia baru saja datang ke ruang makan bersama dengan beberapa pelayan lainnya.
Kepala pelayan itu menjauhkan Varlean dari ibunya. Dia mengajak Varlean menukar pakaiannya dengan yang bersih mengingat tadi ibunya sempat menyiramkan teh ke badannya. Beruntung teh itu sudah hangat, jika tidak bisa dipastikan badan Varlean akan melepuh.
"Nanny... Ava berangkat sekolah dulu,"
Kepala pelayan itu hanya bisa menatap miris ke arah tuan mudanya. Beginilah Varlean. Meski dia berasal dari keluarga berada, namun perlakuan ibunya membuatnya selalu termenung kala dia seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[KS #3] The Untold Stories of Kanzpia Series
Short StoryHanya one shoot story dari beberapa tokoh dalam Kanzpia Series yang belum pernah di ceritakan di lapak-lapak Kanzpia Series sebelumnya. Penasaran? Mari merapat bersama. Rate +16